Selain Judi Online, Pemerintah Diharap Juga Perangi Mafia Rokok Ilegal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Centre for Strategic and Indonesia Public Policy (CSIPP) mengapresiasi upaya tegas pemerintah memberantas judi online . Hal ini menyusul dibentuknya Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring, sebagaimana tertuang dalam Keppres No 21/2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring yang ditetapkan 14 Juni 2024.
Satgas judi online dibentuk untuk mengoptimalkan pencegahan dan penegakan hukum perjudian daring secara efektif dan efisien. Peneliti CSIPP Agus Surono berharap satgas judi online yang sudah direstui Presiden Jokowi mampu bekerja secara extra ordinary mengingat masa pemerintahan Jokowi tak lama lagi akan berakhir.
"Satgas judi online diharapkan bisa bekerja secara efektif dan tepat sasaran sehingga akan menjadi 'kado' jelang berakhirnya pemerintahan Jokowi," kata Agus Surono, Kamis (20/6/2024).
Di lain sisi, Agus Surono mengingatkan Jokowi untuk memiliki keberanian memberantas mafia rokok ilegal yang makin masif peredarannya di Indonesia. Pasalnya, rokok ilegal merugikan negara.
"Kami mendorong pemerintah melalui Kementerian Keuangan mampu merumuskan arah kebijakan cukai yang mampu menjaga keberlangsungan usaha ekosistem pertembakauan di Tanah Air," tandasnya.
Merujuk kajian CSIPP, selama empat tahun berturut turut, tarif cukai dikatrol sangat eksesif yang menyebabkan rokok ilegal sangat marak. “Kelihatan sekali terjadi pembiaran atas praktik mafia produsen rokok ilegal yang sangat merugikan rokok legal,” kritiknya.
Agus memberikan gambaran, dengan dinaikkan tarif cukai, maka, jarak harga antara rokok legal dengan rokok ilegal semakin jauh. Jauhnya jarak rokok legal dengan rokok ilegal, tentu menguntungkan pemain rokok ilegal.
"Sebab, mereka tidak membayar cukai, Pajak Daerah, PPN, yang angkanya mencapai 70-83% per satu batangnya. Dengan dinaikkannya tarif cukai pemain rokok ilegal pun semakin mendominasi," ujarnya.
Sementara beban yang ditanggung produsen rokok legal pun semakin berat. Dari tarif cukai saja, jika diakumulasi dalam empat tahun ini telah terjadi kenaikan hingga 58%.
Pada lima tahun terakhir, tingkat peredaran rokok ilegal kerap beriringan dengan kenaikan harga rokok atas kebijakan tarif cukai. Pada 2019 saat tidak ada kenaikan cukai, tingkat peredaran rokok ilegal menurun dari tahun sebelumnya. Selanjutnya pada 2020, ketika terjadi kenaikan cukai, tingkat peredaran rokok ilegal juga mengalami peningkatan.
"Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dapat berdampak signifikan terhadap peredaran rokok ilegal. Perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai," terangnya.
Saat ini, kenaikan harga rokok telah melebihi batas maksimum dan membahayakan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) yang terbukti melalui penurunan jumlah pabrikan rokok terutama golongan 1. Di sisi lain, rokok ilegal memiliki perputaran penjualan yang lebih cepat daripada rokok berpita cukai. ”Ini karena rokok ilegal lebih diminati oleh konsumen karena harganya yang lebih murah daripada rokok yang legal (berpita cukai)," jelasnya.
Upaya mengendalikan peredaran rokok ilegal di tengah tekanan kenaikan tarif cukai dan harga rokok bukanlah hal yang mudah. Perlu kerja sama antara berbagai pihak, termasuk menyamakan persepsi atau metodologi dalam melakukan perhitungan rokok ilegal untuk dapat menentukan formula kebijakan penanganan rokok ilegal yang lebih efektif.
"Diperlukan sinergi multi stakeholders yang diharapkan dapat menurunkan angka peredaran rokok ilegal, sekaligus menciptakan keadilan dan keseimbangan berusaha dalam industri hasil tembakau," tandasnya.
Diketahui, berbagai kajian rokok ilegal pernah dilakukan oleh sejumlah lembaga riset. Sebut saja, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). INDEF pernah melakukan simulasi, jika peredaran rokok ilegal 2% saja kerugian negara mencapai Rp1,75 triliun, dan kalau 5% Rp4,38 triliun minimal.
Hasil kajian Lembaga Survei Indodata menyatakan, sebanyak 28,12% perokok di Indonesia pernah atau sedang mengkonsumsi rokok ilegal. Jika dikonversi dengan pendapatan negara, maka potensi pajak yang hilang sebesar Rp 53,18 triliun. Ini membuktikan bahwa penyebaran rokok ilegal di Indonesia sudah sangat masif.
Angka Rp 53,18 triliun itu keluar berdasarkan estimasi rentang peredaran rokok ilegal itu ada 127,53 miliar batang dan temuan hasil survei ini tidak jauh berbeda dengan perhitungan gap antara CK-1 dan Susenas yang sebesar 26,38%.
Satgas judi online dibentuk untuk mengoptimalkan pencegahan dan penegakan hukum perjudian daring secara efektif dan efisien. Peneliti CSIPP Agus Surono berharap satgas judi online yang sudah direstui Presiden Jokowi mampu bekerja secara extra ordinary mengingat masa pemerintahan Jokowi tak lama lagi akan berakhir.
"Satgas judi online diharapkan bisa bekerja secara efektif dan tepat sasaran sehingga akan menjadi 'kado' jelang berakhirnya pemerintahan Jokowi," kata Agus Surono, Kamis (20/6/2024).
Di lain sisi, Agus Surono mengingatkan Jokowi untuk memiliki keberanian memberantas mafia rokok ilegal yang makin masif peredarannya di Indonesia. Pasalnya, rokok ilegal merugikan negara.
"Kami mendorong pemerintah melalui Kementerian Keuangan mampu merumuskan arah kebijakan cukai yang mampu menjaga keberlangsungan usaha ekosistem pertembakauan di Tanah Air," tandasnya.
Merujuk kajian CSIPP, selama empat tahun berturut turut, tarif cukai dikatrol sangat eksesif yang menyebabkan rokok ilegal sangat marak. “Kelihatan sekali terjadi pembiaran atas praktik mafia produsen rokok ilegal yang sangat merugikan rokok legal,” kritiknya.
Agus memberikan gambaran, dengan dinaikkan tarif cukai, maka, jarak harga antara rokok legal dengan rokok ilegal semakin jauh. Jauhnya jarak rokok legal dengan rokok ilegal, tentu menguntungkan pemain rokok ilegal.
"Sebab, mereka tidak membayar cukai, Pajak Daerah, PPN, yang angkanya mencapai 70-83% per satu batangnya. Dengan dinaikkannya tarif cukai pemain rokok ilegal pun semakin mendominasi," ujarnya.
Sementara beban yang ditanggung produsen rokok legal pun semakin berat. Dari tarif cukai saja, jika diakumulasi dalam empat tahun ini telah terjadi kenaikan hingga 58%.
Pada lima tahun terakhir, tingkat peredaran rokok ilegal kerap beriringan dengan kenaikan harga rokok atas kebijakan tarif cukai. Pada 2019 saat tidak ada kenaikan cukai, tingkat peredaran rokok ilegal menurun dari tahun sebelumnya. Selanjutnya pada 2020, ketika terjadi kenaikan cukai, tingkat peredaran rokok ilegal juga mengalami peningkatan.
"Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dapat berdampak signifikan terhadap peredaran rokok ilegal. Perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai," terangnya.
Saat ini, kenaikan harga rokok telah melebihi batas maksimum dan membahayakan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) yang terbukti melalui penurunan jumlah pabrikan rokok terutama golongan 1. Di sisi lain, rokok ilegal memiliki perputaran penjualan yang lebih cepat daripada rokok berpita cukai. ”Ini karena rokok ilegal lebih diminati oleh konsumen karena harganya yang lebih murah daripada rokok yang legal (berpita cukai)," jelasnya.
Upaya mengendalikan peredaran rokok ilegal di tengah tekanan kenaikan tarif cukai dan harga rokok bukanlah hal yang mudah. Perlu kerja sama antara berbagai pihak, termasuk menyamakan persepsi atau metodologi dalam melakukan perhitungan rokok ilegal untuk dapat menentukan formula kebijakan penanganan rokok ilegal yang lebih efektif.
"Diperlukan sinergi multi stakeholders yang diharapkan dapat menurunkan angka peredaran rokok ilegal, sekaligus menciptakan keadilan dan keseimbangan berusaha dalam industri hasil tembakau," tandasnya.
Diketahui, berbagai kajian rokok ilegal pernah dilakukan oleh sejumlah lembaga riset. Sebut saja, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). INDEF pernah melakukan simulasi, jika peredaran rokok ilegal 2% saja kerugian negara mencapai Rp1,75 triliun, dan kalau 5% Rp4,38 triliun minimal.
Hasil kajian Lembaga Survei Indodata menyatakan, sebanyak 28,12% perokok di Indonesia pernah atau sedang mengkonsumsi rokok ilegal. Jika dikonversi dengan pendapatan negara, maka potensi pajak yang hilang sebesar Rp 53,18 triliun. Ini membuktikan bahwa penyebaran rokok ilegal di Indonesia sudah sangat masif.
Angka Rp 53,18 triliun itu keluar berdasarkan estimasi rentang peredaran rokok ilegal itu ada 127,53 miliar batang dan temuan hasil survei ini tidak jauh berbeda dengan perhitungan gap antara CK-1 dan Susenas yang sebesar 26,38%.
(poe)