Pakai Aset Beku Rusia, Pinjaman Rp769,5 Triliun ke Ukraina Tersendat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Amerika Serikat atau AS disebut berada di balik tersendatnya proses penyelesaian rencana G7 untuk memberikan pinjaman hingga USD50 miliar yang setara Rp769,5 triliun (Kurs Rp15.390/USD) kepada Ukraina. Pinjaman itu akan dibayarkan kembali kepada sekutu Barat, dengan bunga dari aset- aset Rusia yang dibekukan di lembaga-lembaga keuangan Barat.
Namun kabar terbaru seperti dilansir Euractiv, rencana memberikan pinjaman ke Ukraina harus tertunda. Diketahui Uni Eropa dan AS bersama-sama membekukan aset Rusia sekitar USD300 miliar pada awal perang Ukraina di 2022.
Sejak saat itu, negara-negara Barat mempertimbangkan untuk menggunakan dana tersebut untuk membantu Ukraina. Gagal menyetujui penyitaan uang secara langsung, G7 akhirnya pada bulan Juni, memutuskan untuk memberi pinjaman USD50 miliar ke Ukraina, untuk kemudian pembayaran utang tersebut lewat bunga dari aset Rusia yang dibekukan.
Dana itu akan berasal dari bunga yang dikumpulkan oleh aset Rusia yang tidak bergerak di Barat, sebuah langkah yang disebut Moskow sebagai tindakan ilegal.
Namun menurut sumber Euractiv, AS telah menghambat proses penyelesaian rencana karena kekhawatiran atas pembayaran, yang tergantung pada seberapa permanen pembekuan aset.
Di bawah aturan Uni Eropa, blok tersebut harus memperbarui sanksi yang menargetkan aset Rusia setiap enam bulan, dan membutuhkan persetujuan bulat dari semua 27 negara anggota untuk melakukannya.
Sumber-sumber diplomatik yang dikutip oleh outlet berita mengklaim bahwa Hongaria, yang saat ini memegang kepresidenan Uni Eropa bergilir selama enam bulan, pada titik tertentu dapat memveto memperpanjang pembekuan.
Washington telah menuntut aset Rusia untuk tetap dibekukan meskipun ada potensi ketidaksepakatan di dalam blok tersebut. Demikian klaim yang berasal dari sumber-sumber Euractiv.
Sehingga Barat dapat memanfaatkan dana yang tidak bergerak selama yang dibutuhkan. Misalnya, sumber mengatakan, AS menyarankan untuk mengalihkan mekanisme sanksi blok UE menjadi 12 bulan atau lebih.
Menurut laporan sebelumnya oleh Financial Times, duta besar Uni Eropa telah membahas beberapa proposal yang bertujuan untuk meredakan kekhawatiran AS, termasuk memperpanjang pembaruan sanksi menjadi tiga tahun atau bahkan tanpa batas waktu. Namun, sejauh ini tampaknya tidak ada kemajuan yang dibuat dalam hal itu.
Sementara itu, Ukraina semakin tidak sabar atas uang yang dijanjikan. Perdana Menteri Denis Shmigal pada hari Selasa bersikeras bahwa uang itu harus diterima pada akhir tahun.
Dia juga menekankan bahwa Kiev ingin pinjaman itu bebas bunga dan "diberikan kepada Ukraina tanpa syarat apa pun."
Dari sisi Moskow, pembekuan aset dikecam sebagai "pencurian," dan berulang kali memperingatkan bahwa memanfaatkan dananya sebagai tindakan ilegal dan dapat menciptakan preseden berbahaya, menghancurkan kredibilitas sistem keuangan Barat.
Dana yang dibekukan itu diperkirakan menghasilkan bunga USD3 miliar per tahun atau lebih. Pinjaman USD50 miliar itu akan dibayar dengan pendapatan bunga selama 10 tahun atau lebih, atau sampai Rusia membayar ganti rugi.
Namun kabar terbaru seperti dilansir Euractiv, rencana memberikan pinjaman ke Ukraina harus tertunda. Diketahui Uni Eropa dan AS bersama-sama membekukan aset Rusia sekitar USD300 miliar pada awal perang Ukraina di 2022.
Sejak saat itu, negara-negara Barat mempertimbangkan untuk menggunakan dana tersebut untuk membantu Ukraina. Gagal menyetujui penyitaan uang secara langsung, G7 akhirnya pada bulan Juni, memutuskan untuk memberi pinjaman USD50 miliar ke Ukraina, untuk kemudian pembayaran utang tersebut lewat bunga dari aset Rusia yang dibekukan.
Dana itu akan berasal dari bunga yang dikumpulkan oleh aset Rusia yang tidak bergerak di Barat, sebuah langkah yang disebut Moskow sebagai tindakan ilegal.
Namun menurut sumber Euractiv, AS telah menghambat proses penyelesaian rencana karena kekhawatiran atas pembayaran, yang tergantung pada seberapa permanen pembekuan aset.
Di bawah aturan Uni Eropa, blok tersebut harus memperbarui sanksi yang menargetkan aset Rusia setiap enam bulan, dan membutuhkan persetujuan bulat dari semua 27 negara anggota untuk melakukannya.
Sumber-sumber diplomatik yang dikutip oleh outlet berita mengklaim bahwa Hongaria, yang saat ini memegang kepresidenan Uni Eropa bergilir selama enam bulan, pada titik tertentu dapat memveto memperpanjang pembekuan.
Washington telah menuntut aset Rusia untuk tetap dibekukan meskipun ada potensi ketidaksepakatan di dalam blok tersebut. Demikian klaim yang berasal dari sumber-sumber Euractiv.
Sehingga Barat dapat memanfaatkan dana yang tidak bergerak selama yang dibutuhkan. Misalnya, sumber mengatakan, AS menyarankan untuk mengalihkan mekanisme sanksi blok UE menjadi 12 bulan atau lebih.
Menurut laporan sebelumnya oleh Financial Times, duta besar Uni Eropa telah membahas beberapa proposal yang bertujuan untuk meredakan kekhawatiran AS, termasuk memperpanjang pembaruan sanksi menjadi tiga tahun atau bahkan tanpa batas waktu. Namun, sejauh ini tampaknya tidak ada kemajuan yang dibuat dalam hal itu.
Sementara itu, Ukraina semakin tidak sabar atas uang yang dijanjikan. Perdana Menteri Denis Shmigal pada hari Selasa bersikeras bahwa uang itu harus diterima pada akhir tahun.
Dia juga menekankan bahwa Kiev ingin pinjaman itu bebas bunga dan "diberikan kepada Ukraina tanpa syarat apa pun."
Dari sisi Moskow, pembekuan aset dikecam sebagai "pencurian," dan berulang kali memperingatkan bahwa memanfaatkan dananya sebagai tindakan ilegal dan dapat menciptakan preseden berbahaya, menghancurkan kredibilitas sistem keuangan Barat.
Dana yang dibekukan itu diperkirakan menghasilkan bunga USD3 miliar per tahun atau lebih. Pinjaman USD50 miliar itu akan dibayar dengan pendapatan bunga selama 10 tahun atau lebih, atau sampai Rusia membayar ganti rugi.
(akr)