AS Mengobarkan Perang Dunia Ekonomi, Sepertiga Negara di Bumi Tersandera Sanksi Barat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah AS ( Amerika Serikat ) telah menjatuhkan sanksi Barat kepada sepertiga negara di Bumi, yang 60% di antaranya merupakan negara miskin. Hal ini terungkap dalam sebuah laporan komprehensif di Washington Post seperti dilansir G/E.
Washington sepertinya sedang mengobarkan perang dunia ekonomi . Amerika Serikat memiliki 15.373 sanksi aktif per April 2024. Sejauh ini tidak ada negara lain yang mendekati jumlah sanksi yang diterapkan oleh AS.
Pada posisi kedua ada Swiss dengan 5.062 sanksi; diikuti oleh Uni Eropa dengan 4.808; Inggris mencapai 4.360 sanksi; Kanada dengan 4.292; dan Australia sebanyak 3.023. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa disingkat sebagai PBB hanya memiliki 875 sanksi aktif per April 2024.
Seperti diketahui bahwa agar sanksi menjadi legal menurut hukum internasional, maka sanksi harus disetujui oleh Dewan Keamanan PBB. Hal ini berarti bahwa sebagian besar sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan sekutu Baratnya merupkan tindakan ilegal.
Sanksi tanpa persetujuan PBB dikenal sebagai "tindakan koersif sepihak", dan resolusi Majelis Umum PBB secara rutin mengecamnya sebagai aksi kriminal.
Dalam laporannya, Washington Post mengakui bahwa sanksi ilegal AS telah menghancurkan ekonomi negara-negara yang relatif kecil seperti Venezuela, Kuba, Suriah, dan Irak.
Menurut surat kabar itu, sanksi AS terhadap Venezuela "berkontribusi pada kontraksi ekonomi, yang diperkirakantiga kali lebih besar dari yang disebabkan oleh Depresi Hebat di Amerika Serikat", dan memiliki efek "memperburuk salah satu keruntuhan ekonomi masa damai terburuk dalam sejarah modern".
Sebuah memo Departemen Luar Negeri yang dideklasifikasi dari tahun 1960 mengungkap niat dari kebijakan sanksi AS. Dokumen itu membahas popularitas pemerintahan sayap kiri Fidel Castro di Kuba, menyusul revolusi melawan diktator sayap kanan yang didukung AS pada tahun 1959. Dengan menyimpulkan bahwa "mayoritas orang Kuba mendukung Castro".
"Satu-satunya cara untuk mengurangi dukungan internal adalah melalui ketidakpuasan dan kesulitan ekonomi," kata memo itu.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker TĂĽrk mengunjungi Venezuela pada tahun 2023 dan mengkritik sanksi yang dijatuhkan AS dan Eropa secara ilegal terhadap negara Amerika Selatan itu. Pemimpin hak asasi manusia PBB itu mengatakan, langkah-langkah pemaksaan sepihak ini harus dicabut.
Ia juga memperingatkan, bahwa sanksi mereka "telah memperburuk krisis ekonomi dan menghambat hak asasi manusia".
Meskipun sanksi Barat telah menyebabkan dampak ekonomi yang parah dan penderitaan manusia yang ekstrem di negara-negara yang relatif kecil, sanksi tersebut mungkin telah mencapai batasnya.
Negara-negara besar seperti China dan Rusia telah terbukti "terlalu besar untuk dikenai sanksi". Sanksi Barat terpantau belum mampu menghancurkan ekonomi Rusia, meski dihantam gelombang sanksi.
Tekanan Barat justru menjadi bentuk proteksionisme terbalik, mendorong industrialisasi substitusi impor dan membantu China dan Rusia mengembangkan teknologi domestik mereka sendiri untuk menjadi lebih mandiri.
Bahkan beberapa ekonom Barat yang hawkish telah mengakui bahwa perang ekonomi AS di Eurasia telah "menjadi bumerang". Mereka khawatir bahwa hegemoni Barat mulai memudar, karena Beijing dan Moskow, dalam aliansi dengan Global South, menantang dominasi dolar dan mengembangkan alternatif untuk sistem keuangan global yang dikendalikan AS.
Washington sepertinya sedang mengobarkan perang dunia ekonomi . Amerika Serikat memiliki 15.373 sanksi aktif per April 2024. Sejauh ini tidak ada negara lain yang mendekati jumlah sanksi yang diterapkan oleh AS.
Pada posisi kedua ada Swiss dengan 5.062 sanksi; diikuti oleh Uni Eropa dengan 4.808; Inggris mencapai 4.360 sanksi; Kanada dengan 4.292; dan Australia sebanyak 3.023. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa disingkat sebagai PBB hanya memiliki 875 sanksi aktif per April 2024.
Seperti diketahui bahwa agar sanksi menjadi legal menurut hukum internasional, maka sanksi harus disetujui oleh Dewan Keamanan PBB. Hal ini berarti bahwa sebagian besar sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan sekutu Baratnya merupkan tindakan ilegal.
Sanksi tanpa persetujuan PBB dikenal sebagai "tindakan koersif sepihak", dan resolusi Majelis Umum PBB secara rutin mengecamnya sebagai aksi kriminal.
Dalam laporannya, Washington Post mengakui bahwa sanksi ilegal AS telah menghancurkan ekonomi negara-negara yang relatif kecil seperti Venezuela, Kuba, Suriah, dan Irak.
Menurut surat kabar itu, sanksi AS terhadap Venezuela "berkontribusi pada kontraksi ekonomi, yang diperkirakantiga kali lebih besar dari yang disebabkan oleh Depresi Hebat di Amerika Serikat", dan memiliki efek "memperburuk salah satu keruntuhan ekonomi masa damai terburuk dalam sejarah modern".
Sebuah memo Departemen Luar Negeri yang dideklasifikasi dari tahun 1960 mengungkap niat dari kebijakan sanksi AS. Dokumen itu membahas popularitas pemerintahan sayap kiri Fidel Castro di Kuba, menyusul revolusi melawan diktator sayap kanan yang didukung AS pada tahun 1959. Dengan menyimpulkan bahwa "mayoritas orang Kuba mendukung Castro".
"Satu-satunya cara untuk mengurangi dukungan internal adalah melalui ketidakpuasan dan kesulitan ekonomi," kata memo itu.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker TĂĽrk mengunjungi Venezuela pada tahun 2023 dan mengkritik sanksi yang dijatuhkan AS dan Eropa secara ilegal terhadap negara Amerika Selatan itu. Pemimpin hak asasi manusia PBB itu mengatakan, langkah-langkah pemaksaan sepihak ini harus dicabut.
Ia juga memperingatkan, bahwa sanksi mereka "telah memperburuk krisis ekonomi dan menghambat hak asasi manusia".
Meskipun sanksi Barat telah menyebabkan dampak ekonomi yang parah dan penderitaan manusia yang ekstrem di negara-negara yang relatif kecil, sanksi tersebut mungkin telah mencapai batasnya.
Negara-negara besar seperti China dan Rusia telah terbukti "terlalu besar untuk dikenai sanksi". Sanksi Barat terpantau belum mampu menghancurkan ekonomi Rusia, meski dihantam gelombang sanksi.
Tekanan Barat justru menjadi bentuk proteksionisme terbalik, mendorong industrialisasi substitusi impor dan membantu China dan Rusia mengembangkan teknologi domestik mereka sendiri untuk menjadi lebih mandiri.
Bahkan beberapa ekonom Barat yang hawkish telah mengakui bahwa perang ekonomi AS di Eurasia telah "menjadi bumerang". Mereka khawatir bahwa hegemoni Barat mulai memudar, karena Beijing dan Moskow, dalam aliansi dengan Global South, menantang dominasi dolar dan mengembangkan alternatif untuk sistem keuangan global yang dikendalikan AS.
(akr)