Jaga Ekonomi Akibat Dampak Corona, Keringanan Pajak Disiapkan
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah stimulus berupa keringanan pajak disiapkan untuk mengurangi dampak penyebaran virus corona Covid-19. Insentif tersebut berlaku untuk pajak penghasilan 21 (PPh 21), PPh 22 dan PPh 25.
Namun bentuk keringanan perpajakan tersebut secara detail belum disampaikan. Hanya saja kebijakan ini menjadi angin segar di tengah kekhawatiran masyarakat yang kini lebih waspada akibat meluasnya penyebaran visus corona.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kelonggaran pajak itu diharapkan bisa menangkis dampak wabah virus corona terhadap perekonomian nasional.
"Jadi semuanya itu adalah stimulus di tengah tekanan yang diakibatkan virus corona (Covid-19) di mana Pasal 21 sudah kita siapkan. Pasal 25 disiapkan. Pasal 22 bea masuk pajak impor juga disiapkan dan restitusi dipercepat dalam rangka cashflow," kata Sri Mulyani di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Jakarta, kemarin.
Sekadar informasi, PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dipungut atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain yang berhubungan dengan pekerjaan. Adapun PPh Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan Badan atas Kegiatan Impor Barang Konsumsi. (Baca: Realisasi Penerimaan Meleset, Insentif Pajak Jalan Terus)
PPh 22 merupakan peraturan pemungutan pajak penghasilan badan dari wajib pajak yang melakukan kegiatan impor atau dari pembeli atas penjualan barang mewah. Adapun PPh Pasal 25 Pajak baik orang pribadi maupun badan yang memiliki kegiatan usaha diwajibkan membayar angsuran pajak penghasilan setiap bulannya.
Sri Mulyani melanjutkan, desain insentif tersebut sudah siap dan tinggal menunggu kebijakan dari Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian. Kebijakan yang dimaksud adalah terkait berapa lama waktu implementasi dan untuk sektor apa saja yang diberlakukan.
"Tinggal strategi ekonomi. Ini bukan masalah Menteri Keuangan. Kita bersama Menko dan menteri lain diharapkan bisa menyampaikan ke Presiden Jokowi assessment berdasarkan situasi terkini dan strategi support policy yang akan dilakukan," katanya.
Mantan Direktur Bank Dunia itu juga menambahkan, penerimaan PPh dari wajib pajak orang pribadi dan badan tetap menunjukkan pertumbuhan yang positif. Hal ini bisa memberikan stimulus pada ekonomi Indonesia.
“Saya kira penerimaan pajak kita tahun ini akan tetap terjaga meski perkembangan ekonomi masih dalam situasi yang tidak baik sejak Januari. Kita berharap ada penerimaan yang bisa diandalkan," ungkapnya.
Insentif di sektor fiskal sebelumnya juga disampaikan oleh pemerintah sebagai upaya mengurangi dampak negatif akibat virus korona ke sektor ekonomi domestik. Salah satunya adalah menaikkan batas restitusi bagi wajib pajak badan hingga Rp5 miliar, dari saat ini Rp1 miliar.
Restitusi adalah permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak kepada negara. Kelebihan pembayaran pajak ini merupakan hak bagi wajib pajak. Kenaikan restitusi yang dipercepat ini bertujuan untuk menambah uang masuk bagi perusahaan. Memang disadari dampak dari restitusi yang dipercepat ini juga akan menekan penerimaan negara.
“Saya kira penerimaan pajak kita tahun ini akan tetap terjaga meski perkembangan ekonomi masih dalam situasi yang tidak baik sejak Januari. Kita berharap ada penerimaan yang bisa diandalkan," jelasnya.
Selain di sektor perpajakan, pemerintah juga memberikan sejumlah insentif lain untuk menggerakkan perekonomian yang tertekan akibat isu virus corona. Di sektor perhubungan misalnya, sempat mencuat rencana pemberian diskon pesawat untuk mendorong sektor pariwisata. (Baca juga: Rupiah Merayap Tipis di Akhir Sesi, Dolar AS Balik Hantam Yen dan Euro)
Di sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memberlakukan pelonggaran likuiditas agar untuk memberikan ruang yang lebih ke perbankan untuk bisa memberikan kredit. Kalangan industri juga diberi stimulus berupa kemudahan impor bahan baku berupa pengurangan tarif.
Sementara itu pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan bahwa skema keringanan pajak di tengah serangan virus harus diperjelas. Hal itu untuk menghindari kesimpangsiuran di kalangan wajib pajak.
“Apakah penundaan atau bagaimana. Karena di tahun 2008, pernah ada seperti ini karena utang pemerintah. Tetap dipotong yang bayar pemerintah dan uangnya dikembalikan pada pemerintah,” ujarnya. (Rina Anggraeni/Ichsan Amin)
Namun bentuk keringanan perpajakan tersebut secara detail belum disampaikan. Hanya saja kebijakan ini menjadi angin segar di tengah kekhawatiran masyarakat yang kini lebih waspada akibat meluasnya penyebaran visus corona.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kelonggaran pajak itu diharapkan bisa menangkis dampak wabah virus corona terhadap perekonomian nasional.
"Jadi semuanya itu adalah stimulus di tengah tekanan yang diakibatkan virus corona (Covid-19) di mana Pasal 21 sudah kita siapkan. Pasal 25 disiapkan. Pasal 22 bea masuk pajak impor juga disiapkan dan restitusi dipercepat dalam rangka cashflow," kata Sri Mulyani di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Jakarta, kemarin.
Sekadar informasi, PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dipungut atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain yang berhubungan dengan pekerjaan. Adapun PPh Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan Badan atas Kegiatan Impor Barang Konsumsi. (Baca: Realisasi Penerimaan Meleset, Insentif Pajak Jalan Terus)
PPh 22 merupakan peraturan pemungutan pajak penghasilan badan dari wajib pajak yang melakukan kegiatan impor atau dari pembeli atas penjualan barang mewah. Adapun PPh Pasal 25 Pajak baik orang pribadi maupun badan yang memiliki kegiatan usaha diwajibkan membayar angsuran pajak penghasilan setiap bulannya.
Sri Mulyani melanjutkan, desain insentif tersebut sudah siap dan tinggal menunggu kebijakan dari Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian. Kebijakan yang dimaksud adalah terkait berapa lama waktu implementasi dan untuk sektor apa saja yang diberlakukan.
"Tinggal strategi ekonomi. Ini bukan masalah Menteri Keuangan. Kita bersama Menko dan menteri lain diharapkan bisa menyampaikan ke Presiden Jokowi assessment berdasarkan situasi terkini dan strategi support policy yang akan dilakukan," katanya.
Mantan Direktur Bank Dunia itu juga menambahkan, penerimaan PPh dari wajib pajak orang pribadi dan badan tetap menunjukkan pertumbuhan yang positif. Hal ini bisa memberikan stimulus pada ekonomi Indonesia.
“Saya kira penerimaan pajak kita tahun ini akan tetap terjaga meski perkembangan ekonomi masih dalam situasi yang tidak baik sejak Januari. Kita berharap ada penerimaan yang bisa diandalkan," ungkapnya.
Insentif di sektor fiskal sebelumnya juga disampaikan oleh pemerintah sebagai upaya mengurangi dampak negatif akibat virus korona ke sektor ekonomi domestik. Salah satunya adalah menaikkan batas restitusi bagi wajib pajak badan hingga Rp5 miliar, dari saat ini Rp1 miliar.
Restitusi adalah permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak kepada negara. Kelebihan pembayaran pajak ini merupakan hak bagi wajib pajak. Kenaikan restitusi yang dipercepat ini bertujuan untuk menambah uang masuk bagi perusahaan. Memang disadari dampak dari restitusi yang dipercepat ini juga akan menekan penerimaan negara.
“Saya kira penerimaan pajak kita tahun ini akan tetap terjaga meski perkembangan ekonomi masih dalam situasi yang tidak baik sejak Januari. Kita berharap ada penerimaan yang bisa diandalkan," jelasnya.
Selain di sektor perpajakan, pemerintah juga memberikan sejumlah insentif lain untuk menggerakkan perekonomian yang tertekan akibat isu virus corona. Di sektor perhubungan misalnya, sempat mencuat rencana pemberian diskon pesawat untuk mendorong sektor pariwisata. (Baca juga: Rupiah Merayap Tipis di Akhir Sesi, Dolar AS Balik Hantam Yen dan Euro)
Di sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memberlakukan pelonggaran likuiditas agar untuk memberikan ruang yang lebih ke perbankan untuk bisa memberikan kredit. Kalangan industri juga diberi stimulus berupa kemudahan impor bahan baku berupa pengurangan tarif.
Sementara itu pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan bahwa skema keringanan pajak di tengah serangan virus harus diperjelas. Hal itu untuk menghindari kesimpangsiuran di kalangan wajib pajak.
“Apakah penundaan atau bagaimana. Karena di tahun 2008, pernah ada seperti ini karena utang pemerintah. Tetap dipotong yang bayar pemerintah dan uangnya dikembalikan pada pemerintah,” ujarnya. (Rina Anggraeni/Ichsan Amin)
(ysw)