Simalakama Pengangkatan Staf Ahli buat Direksi BUMN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat badan usaha milik negara dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto menyebut, ada kemungkinan tidak semua direksi perseroan pelat merah menerapkan Surat Edaran (SE) Menteri BUMN Erick Thohir terkait dengan pengangkatan staf ahli bagi direksi. Itu karena posisi staf ahli bukan sebagai mandatory.
"Saya perhatikan bahwa tidak semua direksi BUMN mempekerjakan staf ahli, karena posisi ini bukan posisi yang mandatory," ujar Toto saat dihubungi, Jakarta, Selasa (8/9/2020). ( Baca juga:Kang Emil Gimana Nih? Saham Jasa Marga Jadi Terpeleset )
Dia menilai, implementasi atas aturan baru tersebut hanya akan dilakukan bagi BUMN yang kompleksitas persoalannya besar dan membutuhkan akses jaringan eksternal yang kuat. Di luar itu, kemungkinan penunjukan staf ahli bagi direksi perseroan tidak dibutuhkan.
Hal serupa juga akan terjadi pada sisi gaji atau honorarium yang akan diterima staf ahli. Toto berpendapat, besaran gaji yang telah ditetapkan Erick Thohir dalam SE maksimal senilai Rp 50 juta dinilai tergantung pada kompleksitas yang dihadapi perusahaan negara. Artinya, angka Rp 50 juta juga relatif terkait dengan kondisi keuangan setiap perseroan negara.
Bila, perseroan memiliki kas keuangan yang mumpuni, maka membayar per orang staf ahli senilai Rp 50 juta dinilai cukup dan wajar saja. "Gaji maksimal Rp 50 juta itu relatif dikaitkan dengan kompleksitas urusan yang dihadapi BUMN. Kalau misalnya, staf ahli direksi di lingkungan perusahaan sekelas Pertamina atau PLN, ya saya kira wajar saja pada angka tersebut," kata dia.
Karena itu, Toto melihat kebijakan Erick Thohir perihal pengangkatan staf ahli bagi sejumlah perseroan pelat merah dinilai tepat. Aturan itu disebut menerbitkan sejumlah praktik yang sebelumnya sudah berjalan guna mencapai sisi pemerintahan yang baik.
"Ya, saya kira aturan ini baik dalam rangka memperbaiki praktik yang ada yang selama ini mungkin belum diatur. Istilahnya, menertibkan praktik yang selama ini sudah jalan supaya bisa lebih jelas aspek governance-nya," ujar Toto.
Hal berbeda justru disampaikan Mantan Sekretaris BUMN, Said Didu. Dia mengutarakan, staf ahli tidak dibutuhkan bagi BUMN. Itu karena staf ahli dan direksi sama-sama jabatan profesional. Bila, ada direksi yang menggunakan staf ahli, maka secara tidak langsung sudah mengkonfirmasi bahwa direksi BUMN bukan orang yang menguasai bidang yang ditempuh saat ini.
"Berarti dengan mengizinkan pengangkatan ini berarti Pak Menteri mengkonfirmasi bahwa yang diangkat menjadi direksi BUMN adalah bukan ahlinya, karena itu mengizinkan staf ahli," kata Said.
Said menjelaskan, langkah Erick untuk mengizinkan pengangkatan staf ahli direksi terbilang kontradiksi. Satu sisi, Erick memangkas banyak direksi, namun di sisi lainnya dia memberikan peluang bagi orang luar untuk masuk dalam BUMN. Padahal kata Said, di dalam internal BUMN sendiri banyak orang yang cukup menguasai bidangnya masing-masing. ( Baca juga:Ekspos Kasus Jaksa Pinangki dengan KPK, Kejagung: Bukti Kami Tak Menutupi )
"Staf ahli itukan macam-macam definisinya, pertanyaan saya, apakah umpamanya, ahli perkebunan diangkat jadi dirut, apakah masih butuh ahli. Apakah ada ahli yang lebih hebat dari orang yang sudah bekerja 25 tahun di perkebunan. Apakah ada ahli yang lebih hebat dari seseorang yang sudah bekerja di Garuda selama 25 tahun," katanya.
"Saya perhatikan bahwa tidak semua direksi BUMN mempekerjakan staf ahli, karena posisi ini bukan posisi yang mandatory," ujar Toto saat dihubungi, Jakarta, Selasa (8/9/2020). ( Baca juga:Kang Emil Gimana Nih? Saham Jasa Marga Jadi Terpeleset )
Dia menilai, implementasi atas aturan baru tersebut hanya akan dilakukan bagi BUMN yang kompleksitas persoalannya besar dan membutuhkan akses jaringan eksternal yang kuat. Di luar itu, kemungkinan penunjukan staf ahli bagi direksi perseroan tidak dibutuhkan.
Hal serupa juga akan terjadi pada sisi gaji atau honorarium yang akan diterima staf ahli. Toto berpendapat, besaran gaji yang telah ditetapkan Erick Thohir dalam SE maksimal senilai Rp 50 juta dinilai tergantung pada kompleksitas yang dihadapi perusahaan negara. Artinya, angka Rp 50 juta juga relatif terkait dengan kondisi keuangan setiap perseroan negara.
Bila, perseroan memiliki kas keuangan yang mumpuni, maka membayar per orang staf ahli senilai Rp 50 juta dinilai cukup dan wajar saja. "Gaji maksimal Rp 50 juta itu relatif dikaitkan dengan kompleksitas urusan yang dihadapi BUMN. Kalau misalnya, staf ahli direksi di lingkungan perusahaan sekelas Pertamina atau PLN, ya saya kira wajar saja pada angka tersebut," kata dia.
Karena itu, Toto melihat kebijakan Erick Thohir perihal pengangkatan staf ahli bagi sejumlah perseroan pelat merah dinilai tepat. Aturan itu disebut menerbitkan sejumlah praktik yang sebelumnya sudah berjalan guna mencapai sisi pemerintahan yang baik.
"Ya, saya kira aturan ini baik dalam rangka memperbaiki praktik yang ada yang selama ini mungkin belum diatur. Istilahnya, menertibkan praktik yang selama ini sudah jalan supaya bisa lebih jelas aspek governance-nya," ujar Toto.
Hal berbeda justru disampaikan Mantan Sekretaris BUMN, Said Didu. Dia mengutarakan, staf ahli tidak dibutuhkan bagi BUMN. Itu karena staf ahli dan direksi sama-sama jabatan profesional. Bila, ada direksi yang menggunakan staf ahli, maka secara tidak langsung sudah mengkonfirmasi bahwa direksi BUMN bukan orang yang menguasai bidang yang ditempuh saat ini.
"Berarti dengan mengizinkan pengangkatan ini berarti Pak Menteri mengkonfirmasi bahwa yang diangkat menjadi direksi BUMN adalah bukan ahlinya, karena itu mengizinkan staf ahli," kata Said.
Said menjelaskan, langkah Erick untuk mengizinkan pengangkatan staf ahli direksi terbilang kontradiksi. Satu sisi, Erick memangkas banyak direksi, namun di sisi lainnya dia memberikan peluang bagi orang luar untuk masuk dalam BUMN. Padahal kata Said, di dalam internal BUMN sendiri banyak orang yang cukup menguasai bidangnya masing-masing. ( Baca juga:Ekspos Kasus Jaksa Pinangki dengan KPK, Kejagung: Bukti Kami Tak Menutupi )
"Staf ahli itukan macam-macam definisinya, pertanyaan saya, apakah umpamanya, ahli perkebunan diangkat jadi dirut, apakah masih butuh ahli. Apakah ada ahli yang lebih hebat dari orang yang sudah bekerja 25 tahun di perkebunan. Apakah ada ahli yang lebih hebat dari seseorang yang sudah bekerja di Garuda selama 25 tahun," katanya.
(uka)