Simulasi, Skema Simplifikasi Cukai Rokok Sumbang Penerimaan Negara Rp17,5 Triliun

Rabu, 09 September 2020 - 14:32 WIB
loading...
Simulasi, Skema Simplifikasi...
PKPM FEB UB melakukan simulasi, Andai saja roadmap simplifikasi CHT dijalankan oleh pemerintah sesuai PMK 146/2017, total potensi penerimaan negara dari skema tersebut Rp17,573 triliun. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Besarnya kontribusi industri hasil tembakau (IHT) terhadap penerimaan negara dinilai akan lebih meningkat apabila pemerintah menutup berbagai celah di kebijakan cukai rokok . Salah satunya dengan menjalankan roadmap penyederhanaan/simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau.

(Baca Juga: Faisal Basri Bongkar Siasat Pabrikan Rokok Asing Hindari Bayar Cukai Tinggi )

Ketua Tim Peneliti Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PKPM FEB UB) Abdul Ghofar menyatakan bahwa dalam penelitiannya, skema simplifikasi merupakan salah satu kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang berkontribusi positif.

“Kami melakukan simulasi, Andai saja roadmap simplifikasi CHT dijalankan oleh pemerintah sesuai PMK 146/2017, total potensi penerimaan negara dari skema tersebut adalah Rp17,573 triliun,” Kata Abdul di Jakarta, Rabu (9/9/2020).

Adapun, kata Ghofar, jika pemerintah menggunakan skema simplifikasi dengan cara memangkas layer CHT yang tadinya 10 layer menjadi 5 layer saja, potensi pendapatan cukai akan meningkat setidaknya Rp10,120 triliun.

“Hasil simulasi kami jika struktur tarif cukai disederhanakan menjadi 5 layer, pendapatan cukai negara diproyeksikan bertambah menjadi Rp237,79 triliun pada 2023,” katanya.

Ghofar mengatakan, skema simplifikasi lainnya yang bisa menjadi opsi bagi pemerintah adalah penggabungan batasan produksi sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM). Penggabungan batasan produksi segmen rokok mesin diperkirakan akan menaikkan pendapatan cukai sebesar Rp3,555 triliun.

Adapun, Indonesia dengan 10 layer tarif cukai berdasarkan golongan jumlah produksi saat ini memiliki kesempatan untuk mengevaluasinya kembali. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki struktur tarif cukai yang kompleks dengan golongan dan tarif yang banyak.

“Ternyata dengan banyaknya golongan, banyak perusahaan besar dan perusahaan asing yang memanfaatkannya untuk membayar cukai di golongan yang lebih rendah dengan tarif cukai yang lebih murah,” kata Ghofar.

(Baca Juga: Seret! Penerimaan Negara 'Ambyar' 13,5% )

Hal ini dinilai Ghofar bertentangan dengan semangat pemerintah untuk melindungi pemain/pabrikan kecil dan UMKM karena ada pemain besar yang justru bersaing di golongan pemain kecil.

"Temuannya tentang beberapa perusahaan multinasional dan perusahaan asing yang masih membayar cukai di golongan yang lebih rendah golongan 2, yakni Japan Tobacco dan British American Tobacco," katanya.

Wakil Dekan FEB Universitas Brawijaya ini juga mengatakan, kekhawatiran sebagian pihak terkait terkonsentrasinya pasar atau peluang oligopoli juga tidak akan terjadi. “Hasil analisis kami, pasar tidak akan terkonsentrasi karena simplifikasi,” katanya.

Bahkan, lanjutnya, persaingan usaha menjadi lebih adil karena perusahaan besar akan bersaing dengan perusahaan besar. "Sedangkan perusahaan menengah kecil dan rumahan yang berjumlah ratusan pabrik di golongan 2 SKM akan bersaing dengan sesama mereka, bukan dengan perusahaan asing yang modalnya besar," ujarnya.

Dalam diseminasi tersebut, Ghofar juga menyebutkan celah lain pada kebijakan cukai IHT yaitu masih dimungkinkanya produsen rokok menjual produknya di bawah 85% harga jual eceran (HJE). “Dari data yang kami punya, sebenarnya potential loss dari diskon rokok cukup besar, potential loss pemerintah itu sekitar Rp3,898 triliun, “ katanya.

Menanggapi temuan ini, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika berpendapat bahwa simplifikasi struktur tarif cukai bisa menjadi opsi yang ideal dalam kebijakan CHT. “Simplifikasi bisa menjadi opsi ideal dengan syarat bahwa kebijakan ini dapat mencegah moral hazard, seperti praktik penghindaran cukai itu termasuk moral hazard,” katanya.

Erani juga mengatakan, syarat lain untuk menjalankan simplifikasi yakni kebijakan ini harus dapat menciptakan lapangan bermain (playing field) di mana perusahaan rokok dapat bersaing sehat dengan perusahaan yang selevel dengannya. “Terakhir, simplifikasi bisa menjadi pilihan jika kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan negara,” pungkasnya.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1488 seconds (0.1#10.140)