BI Disarankan Lebih Agresif Sokong Dunia Usaha

Senin, 04 Mei 2020 - 14:53 WIB
loading...
BI Disarankan Lebih Agresif Sokong Dunia Usaha
Bank Indonesia (BI) didorong lebih agresif mendukung dunia usaha agar mampu bertahan di tengah tekanan dampak pandemi Covid-19 saat ini. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Negara-negara terdampak Covid 19 terus berupaya untuk secara gradual bertahan dan bangkit dari kemungkinan pandemi krisis ekonomi. Disrupsi yang dihasilkan dari upaya mengatasi pandemi Covid-19 terjadi dibanyak sektor selain kesehatan itu sendiri.

Di pertengahan April, sedikitnya 83.546 perusahaan di sektor formal terdampak pandemi Covid-19, dengan total 1,5 juta pekerja di-PHK atau dirumahkan. Sedangkan, yang terdampak di sektor informal sebanyak 30.794 perusahaan, dengan lebih dari 443.000 di-PHK atau dirumahkan. Produksi dan konsumsi nasional yang menopang PDB terdisrupsi di berbagai sektor usaha.

Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Ahmad M Ali mengatakan situasi yang saat ini terjadi akan mengkhawatirkan jika tidak ada mitigasi dan langkah terukur yang segera diambil. "Yang terjadi saat ini bukan hanya stok bahan baku terbatas yang dialami industri. Negara buyer pun menunda pembeliannya bahkan ada yang bersiap menghentikan pesanan. Kalau tidak ada langkah bersama baik di nasional maupun internasional, akan lebih banyak lagi penderitaan yang dihadapi teman-teman pengusaha dan pekerja. Produksi nasional benar-benar terganggu," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (4/5/2020).

Dia menjelaskan perlu ada insentif yang benar-benar menyasar keberlangsungan usaha. Menurutnya, problem yang dihadapi dunia usaha selain soal pajak penghasilan yang sudah pasti turun karena pembelian juga menurun, adalah soal likuiditas keuangan. Apalagi banyak penerimaan yang semestinya dibukukan perusahaan menjadi tertunda atau batal.

"Keringanan pajak dan relaksasi kredit UMKM yang ditetapkan Perppu 1/2020 itu bagus. Namun belum cukup untuk tetap bisa menggerakkan usaha. Harus ada insentif yang diberikan untuk membantu kelancaran likuiditas usaha. Hal ini bisa disampaikan melalui bank sebagai leverage dunia usaha," ucapnya.

Ahmad Ali yang juga Ketua Fraksi NasDem DPR mengatakan, dunia usaha akan sangat terbantu jika Bank Indonesia memberikan dukungan terhadap bank komersial sasaran. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan Bank Indonesia benar-benar tepat sasaran.

“BI bisa misalnya memberikan sokongan dana pinjaman berbunga rendah, misalnya 4% per tahun, bagi bank yang mengelola kredit UMKM. Dengan proyeksi perbaikan ekonomi nasional secara bertahap pada tahun 2021-2022, BI bisa mensupport bank dengan tenor paling cepat 18 bulan dan skema pembayaran bunga per triwulan,” dia mencontohkan.

Ali mengatakan dengan kebijakan moneter dari Bank Indonesia yang demikian setidaknya pengusaha akan memiliki ruang keuangan perusahaan yang lebih fleksibel untuk mendukung keberlangsungan usaha. Dengan kebijakan moneter yang demikian maka menurutnya APBN juga tidak akan terganggu.

"Jika BI mengeluarkan kebijakan moneter seperti saya sebutkan, setidaknya pengusaha akan terbantu untuk memperoleh pembebasan pembayaran bunga dan angsuran pokok selama satu tahun dari bank. Atau di lain pihak akan memperoleh bantuan berupa pengurangan bunga bank menjadi 6% per tahun selama 1 tahun," paparnya.

Dia menegaskan, di banyak negara yang mengalami penurunan ekonomi tajam, bank sentral negara juga aktif mengajukan langkah-langkah penanganan potensi bahaya ekonomi yang lebih dalam. Bank Sentral secara aktif mengeluarkan kebijakan moneter yang terukur yang diharapkan dapat membantu kembalinya suasa ekonomi negara.

"Bukan hanya Amerika yang bank sentralnya aktif dalam penanganan ekonomi akibat pandemi. Inggris, Jerman, Prancsil dan lainnya pun demikian. Alternatif kebijakan memberi sokongan pinjaman berbunga rendah dan pembebasan pembayaran bunga dan pokok pinjaman oleh pengatur sistem moneter ini lebih menjanjikan sesuai dengan karakter usaha di Indonesia," tegasnya.

Politisi NasDem ini berharap, Bank Indonesia dapat segera menerapkan kebijakan moneter yang tepat sasaran dan memiliki dampak bagi kelangsungan usaha. "Kita butuh ekonomi kita segera bergerak begitu angka pandemi ini melandai. Sebisa mungkin BI harus cepat mengeluarkan kebijakan moneter yang dimaksud," tuturnya.

World economic outlook, yang dikeluarkan IMF April 2020, merevisi proyeksi pertumbuhan PDB Indonesia hanya menjadi 0,5% ditahun 2020 dari sebelumnya 5,1%. Demikian juga angka pengangguran yang dikoreksi dari 5% menjadi 7,5%. Kondisi yang demikian bukan hanya terjadi di Emerging Country seperti Indonesia. Melainkan juga terjadi pada negara-negara Established Country, BRICS, dan G7.

Menurut legislator Sulawesi Tengah ini, proyeksi ekonomi yang mengalami penurunan harus disikapi dengan strategi yang matang dan terukur oleh setiap negara. Indonesia tidak boleh tertinggal untuk mengerapkan strategi baik yang harus diimplementasikan didalam negeri maupun dengan kerjasama luar negeri.

"Perhitungan proyeksi para ekonom dalam skema optimis maupun pesimis menunjukan penurunan PDB di semua negara terdampak covid baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena kesalinghubungan ekonomi dunia. Karena itu negara-negara mulai berkonsentrasi menjalankan sistem pertahanan ekonomi masing-masing tanpa mengesampingkan perubahan faktor global," ujarnya.

Menurutnya, dalam kondisi ekonomi yang tertekan oleh pandemi saat ini maka perlu ada langkah-langkah luar biasa yang dilakukan oleh pemerintah. Amerika Serikat misalnya mengeluarkan Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security Act (CARES Act) yang berlaku mulai 1 Maret hingga 31 Desember 2020.

Dana mencapai USD869 Miliar disiapkan dalam bentuk pinjaman, dana penjaminan dan dana cadangan Bank Sentral. Dana tersebut juga dimaksudkan agar dunia usaha tetap menjaga pekerjanya. Selain itu ada juga insentif pajak USD250 miliar dan Insentif pengangguran. "Undang-undang ini memperlihatkan konsentrasi membangun pertahanan dan pertumbuhan ekonominya. Lebih dari 11% PDB disiapkan untuk menyelamatkan ekonominya," jelasnya.

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Indonesia mengalokasikan Rp405,1 Triliun atau 2,5% Total PDB dalam kerangka penanganan dampak Covid 19. Dari total nilai tersebut Rp70 Triliun digunakan untuk relaksasi pajak dan Rp150 Triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Program pemulihan ekonomi yang dimaksud juga termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha.

"Dari kebijakan penyelamatan sektor ekonomi yang baru terdengar adalah soal 9.610 perusahaan diberikan keringanan pajak penghasilan. Perusahaan diberikan tarif 0 persen bea impor barang. Keriuhan relaksasi pembayaran cicilan kredit konsumsi. Selain itu apa. Makanya kita butuh kebijakan moneter dari Bank Indonesia yang lebih agresif," pungkasnya.
(fai)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1315 seconds (0.1#10.140)