Ini Cara BPH Migas untuk Pastikan Penyaluran BBM sesuai Aturan

Rabu, 16 September 2020 - 09:06 WIB
loading...
Ini Cara BPH Migas untuk...
Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) M. Fanshurullah Asa di Jakarta, Selasa (15/09/2020)
A A A
JAKARTA - Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) M. Fanshurullah Asa menyatakan Digitalisasi SPBU merupakan program yang dibangun oleh PT. Pertamina (Persero) bekerja sama dengan PT. Telkom Indonesia berdasarkan Penugasan Pemerintah. Hal ini dinyatakan Ifan, sapaan M. Fanshurullah Asa dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI pada Selasa (15/09/2020).

Ia memaparkan tujuan program ini untuk meningkatkan akuntabilitas data penyaluran BBM kepada konsumen di seluruh SPBU, khususnya SPBU yang menyalurkan Jenis BBM Tertentu (JBT)/solar subsidi dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP)/premium penugasan.

“Hingga tanggal 12 September 2020, sebanyak 5.058 SPBU telah terpasang ATG (progress 91,7%), 5.024 SPBU (progress 91%) dan sebanyak 2.383 SPBU telah terintegrasi pada dashboard. Sebaran progress digitalisasi dengan tingkat kepatuhan input nomor polisi kendaraan seluruh SPBU rata-rata 39%.” Jelas Ifan

Sejak dimulainya program digitalisasi SPBU pada tanggal 31 Agustus 2018, program ini telah mengalami 4 kali revisi target penyelesaian yaitu dari target awal tanggal 31 Desember 2018 s.d target revisi ke-4 yaitu pada Bulan Agustus 2020.

“Dapat kami sampaikan kepada Anggota Dewan, bahwa sebagai catatan :
1. BPH Migas tidak terlibat dalam penentuan spesifikasi maupun anggaran program digitalisasi SPBU;
2. Manfaat IT Nozzle dalam rangka pengawasan BBM menggunakan teknologi yang handal sehingga tepat sasaran dan tepat volume terutama pada BBM Subsidi (JBT: Solar) dan BBM Penugasan (JBKP: Premium);” tegas Ifan.

Kemudian terkait program BBM 1 Harga dijelaskan oleh Ifan bahwa dalam rangka mewujudkan keadilan energi melalui Program BBM 1 Harga, sejak tahun 2017 s.d 11 September 2020 telah beroperasi sebanyak 175 penyalur (165 Pertamina dan 10 AKR). Hingga Tahun 2024 diharapkan terbangun sebanyak 500 penyalur BBM 1 harga.

Untuk Tahun 2020, ditargetkan terbangun 83 penyalur BBM 1 Harga, dan hingga saat ini telah beroperasi 5 penyalur. Selebihnya, 15 penyalur dalam tahap perizinan Pemda, 61 penyalur tahap pembangunan dan 2 penyalur tahap evaluasi PT Pertamina (Persero). Dari 175 penyalur yang telah beroperasi, volume total yang disalurkan sejak Tahun 2017 sampai dengan awal September 2020 adalah sebesar 134.830 KL untuk Solar dan 283.363 KL untuk Premium.

“Dapat kami sampaikan juga bahwa rasio penyebaran penyalur BBM di Indonesia khususnya di luar Pulau Jawa adalah 502,90 km untuk 1 penyalur. Dalam rangka menjamin ketersediaan BBM dan mengurangi kesenjangan jarak penyalur, perlu adanya pembangunan Sub Penyalur dan mini SPBU, seperti Pertashop oleh Pertamina dan Mikrosite oleh Exxon” tambah Ifan.

“Izinkan kami melaporkan juga terkait pengawasan terhadap penyelewengan BBM. Sejak tahun 2016-2020, BPH Migas telah membantu Kepolisian dalam memberikan Keterangan Ahli sebanyak 1.513 dengan penyelamatan BBM sebesar 11.784.074 liter” pungkas Ifan.

Setelah pemaparan dan penjelasan dari Kepala BPH Migas, Pimpinan rapat memberikan kesempatan kepada Anggota Komisi VII DPR RI untuk memberikan tanggapan, pernyataan, dan pertanyaan.

Salah satunya disampaikan oleh Anggota Komisi VII DPR RI H Rudy Mas'ud yang menyoroti tugas BPH Migas yang belum dapat dilaksanakan yaitu mengatur dan menetapkan cadangan BBM Nasional.

“Cadangan nasional kita hanya 20 hari, mestinya idealnya diatas 60 hari. Pada saat harga minyak turun kemarin, harusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kapasitas cadangan BBM nasional, ini seharsunya yang kita pikirkan. perbaikan tangki dan storage menjadi prioritas dari Indonesia Barat hingga Indonesia Timur. Ini mestinya BPH Migas bersuara kencang” tegas H Rudy Mas'ud.

Senada dengan H Rudy Mas'ud, Anggota Komisi VII DPR RI Willy Yosep mengatakan, dengan realitas Indonesia yang tidak memiliki cadangan energi nasional, ini menjadi masalah serius yang perlu dituntaskan. "Cadangan nasional sangat menakutkan kalau tidak sampai 60 hari atau 20 hari tidak sampai. Salah satu tugas Komisi VII yang artinya jangan sampai jadi bom waktu yang langsung kena kita," ungkapnya.

Terkait dengan pembangunan infrastruktur gas bumi, Anggota Komisi VII DPR RI Saadiah Uluputty menanyakan keseriusan BPH Migas dalam mendorong program pembangaun 190 Wilayah Jaringan Distribusi yang telah diusulkan oleh 25 Badan Usaha.

“Apakah program ini belum terlaksana dengan baik karena belum ditetapkannya revisi RIJDGBN oleh Menteri ESDM, bagaimana upaya BPH Migas selain berkirim surat” tegas Saadiah Uluputty.

Menanggapi hal tersebut Kepala BPH Migas M. Fanshurullah Asa mengungkapkan pihaknya (BPH Migas) sudah kehabisan suara baik lewat media maupun Anggota Komisi VII sebelumnya untuk menyakinkan tentang pentingnya cadangan BBM Nasional.

Dimana sejak BPH Migas dibentuk, 17 tahun lalu, Indonesia belum dapat mewujudkan memiliki cadangan energi nasional seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain. yang ada saat ini adalah cadangan operasional yang dimiliki oleh Badan Usaha yang diklaim sebagai cadangan nasional. Padahal cadangan BBM nasional merupakan amanat UU 22 tahun 2001 pasal 46 ayat 3.

"Kendalanya dimana, cadangan BBM nasional belum bisa kami wujudkan, ada aturan mesti ada ketetapan Menteri ESDM, mau 30 hari atau standar Eropa 3 bulan atau 90 hari," katanya.

Ifan mengatakan, pada masa Menteri ESDM Ignasius Jonan, draf aturan tersebut sudah pernah dibahas yang untuk membackup cadangan BBM nasional, mewajibkan 150 badan usaha niaga umum migas dengan cadangan minimal selama 30 hari.

Namun, dia mengungkapkan hingga saat ini peraturan tersebut tak kunjung terbit karena adanya sejumlah pertimbangan dari Menteri ESDM sebelumnya. "Menteri masih menahan, menteri sebelumnya, dengan agumen ini akan jadi beban badan usaha, akan dibebankan harga jual BBM. tapi kalau melihat kepentingan ketahanan BBM, ketahanan energi negara kita bisa kena bencana, ini menjadi keharusan apalagi ini amanah UU Migas," jelasnya.

Lebih lanjut, untuk memiliki cadangan energi nasional, Ifan mengatakan harus ada konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah nantinya. Untuk cadangan energi selama 1 hari, berdasarkan simulasi BPH Migas dibutuhkan anggaran sekitar Rp1 triliun.

Dengan demikian, Ifan berpendapat perlu opsi semacam investasi dari badan usaha niaga. Selanjutnya terkait usulan pembangunan tangki dan depo di daerah 3 T atau Indonesia timur, Ifan sependapat pembangunan tersebut. Menurutnya hal ini dapat mengurangi operasional badan usaha, mengurangi biaya angkut, sehingga harga jual lebih kompetitif.

"Bahkan kami punya opsi dengan dana iuran BPH Migas Rp1,3 triliun, dana BPH Migas bisa dibuat depot-depot diwilayah 3 T yang mewajibkan badan usaha mengisi di sana. uang ini balik lagi ke Negara. PNBP ini mempunyai multiplayer effect pada pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan PNBP juga," Jelasnya.
(atk)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0539 seconds (0.1#10.140)