Target Berat Penerimaan Pajak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi virus corona (Covid-19) memberikan tekanan hebat terhadap sektor perpajakan tahun ini. Sejumlah upaya ektensifikasi seperti pengenaan pajak terhadap perusahaan asing penyedia layanan berbasis internet tampaknya belum menunjukkan hasil signifikan.
Per 31 Agustus lalu, realisasi penerimaan pajak tercatat baru mencapai Rp676,9 triliun atau 56,5% terhadap target Anggaran Pendapaan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang sudah diubah sesuai Perpres No 72/2020 senilai Rp1.198,8 triliun. Sebelumnya, pada APBN 2020 target penerimaan pajak ditetapkan Rp1.577,6 trilun. (Baca: Alasan Febri Mengundurkan Diri, Kondisi KPK Sudah Berubah)
Angka penerimaan pajak pada tahun ini jauh menurun dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp802,5 triliun. Dengan demikian, terjadi konstraksi penerimaan pajak sebesar 15,6%. Realisasi penerimaan pajak pada tahun ini berasal dari PPh Migas sebeasr Rp21,6 triliun, dan Pajak Nonmigas Rp655,3 triliun.
Adapun realisasi penerimaan bea cukai hingga 31 Agustus 2020 tercatat Rp121,2 triliun atau 58,9% dari target Rp205,7 triliun. Realisasi ini mencatatkan pertumbuhan 1,8% dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp119,0 triliun. Dengan demikian
realisasi penerimaan perpajakan hingga Agustus 2020 tercatat senilai Rp798,1 triliun atau 56,8% dari target Rp1.404,5 triliun.
“Ini mencatatkan kontraksi 13,4% dibandingkan realisasi akhir Agustus 2019 senilai Rp921,5 triliun," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta baru-baru ini.
Turunnya penerimaan pajak hingga delapan bulan pertama 2020 itu tentu saja bukan kabar baik. Pasalnya, apabila penerimaan minim, maka kebutuhan pendanaan pada APBN bakal membengkak. Hal ini untuk menutup kebutuhan anggaran pemulihan ekonomi dan kesehatan yang terdampak Covid-19.
Di sisi lain, penurunan penerimaan pajak dinilai wajar karena hampir semua sektor usaha mengalami perlambatan. Imbasnya, penerimaan dari sejumlah sektor seperti industri pengolahan, perdagangan, konstruksi dan real estate terkontraksi di atas 15%. Penurunan terbesar dialami sektor pertambangan sebesar 35%. Sementara sektor transportasi turun 10,4%. (Baca juga: Siapa yang Berhak Memandikan Jenazah Perempuan?)
Sementara itu, data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutan, defisit APBN 2020 per 31 Agustus lalu mencapai Rp500,5 triliun atau 48,2% dari patokan dalam APBN 2020 senilai Rp1.039,2 triliun. Realisasi defisit anggaran itu setara dengan 3,05% produk domestik bruto (PDB).
Defisit ini disumbang dari pendapatan negara mencapai Rp1.034,1 triliun atau mengalami pertumbuhan negatif 13,1% dibandingkan realisasi tahun lalu sampai Agustus 2019. Sedangkan untuk belanja negara tercatat lebih besar hingga Rp1.534,7 triliun.
Menurut Sri Mulyani, merosotnya pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan sektor perpajakan dan PNBP mengalami kontraksi secara berturut-turut sebesar 13,39% dan 13,48% (yoy). "Komponen pendapatan negara dari perpajakan dan PNBP masing-masing capaian realisasinya terhadap APBN Perpres 72/2020 tercatat mencapai 56,82% dan 78,90%," katanya
Di sisi lain, penanganan pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional membutuhkan pembiayaan yang cukup besar yang sebagiannya dipenuhi oleh pembiayaan. "Kita ingin APBN tetap kredibel," tandas dia.
Pajak Digital
Sebagai upaya menggenjot penerimaan pajak, tahun ini pemerintah melalui Ditjen Pajak Kemenkeu terus melakukan perluasan objek pajak yang selama ini belum tersentuh. Upaya ini salah satunya melalui pengenaan pajak pertambahan nilai atas produk digital. (Baca juga: Penting Deteksi Dini dan Gejala Pikun)
Dalam pelaksanaanya, Ditjen Pajak telah menetapkan 37 perusahaan asing sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Pengenaan pajak digital tersebut akan mulai diberlakukan pada Oktober mendatang. Adapun beberapa perusahaan tersebut antara lain Amazon Web Services Inc; Google Asia Pacific Pte. Ltd; Google Ireland Ltd, Google LLC; Netflix International B.V.; dan Spotify AB. Mereka akan menjadi pemungut pajak gelombang pertama.
Untuk gelombang kedua, Facebook Ireland Ltd, Facebook Payments International Ltd; Facebook Technologies International Ltd; Amazon.com Services LLC; Audible, Inc; Alexa Internet; Audible Ltd; Apple Distribution International Ltd; Tiktok Pte. Ltd; The Walt Disney Company (Southeast Asia) Pte. Ltd. Sementara gelombang ketiga adalah LinkedIn Singapore Pte. Ltd; McAfee Ireland Ltd; Microsoft Ireland Operations Ltd; Mojang AB; Novi Digital Entertainment Pte. Ltd; PCCW Vuclip (Singapore) Pte. Ltd; Skype Communications SARL; Twitter Asia Pacific Pte. Ltd; Twitter International Company; Zoom Video Communications, Inc; PT Jingdong Indonesia Pertama; PT Shopee International Indonesia.
"Ke depan akan ada 9 (perusahaan) lagi. Kami sedang berkomunikasi dengan PMSE di luar negeri. Paling tidak, sampai dengan Oktober, ada 37 PMSE luar negeri yang akan kita tunjuk sebagai pemungut PPN," kata Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo dalam keterangannya yang diunggah secara online Rabu (23/9/2020).
Pengamat pajak Bawono Kristiaji mengatakan, risiko penerimaan pajak tahun ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi di mana saat ini menghadapi berbagai masalah mulai dari rendahnya harga komoditas, kinerja manufaktur yang tertekan, dan penurunan sektor konsumsi. (Baca juga: Mapolres Yalimo Papua Diserang, Kasat Intel Terluka Parah)
“Seluruhnya itu berpengaruh pada pos-pos penerimaan pajak yang umumnya berkontribusi besar,” ujarnya kepada SINDO Media kemarin.
Dia menambahkan, dilihat dari data Kemenkeu, pajak penghasilan (PPh) sektor minyak dan gas (migas) yang sebesar Rp21,6 triliun, menunjukkan pernurunan 45,2% dibanding tahun sebelumnya. Demikian pula dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang minus 11,6% di mana sampai Agustus lalu hanya mencapai Rp255,4 triliun.
Penurunan juga dialmi sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang hanya berkontribusi Rp9,7 triliun. Kenaikan hanya terjadi di sektor PPh Orang Pribadi yang tumbuh 2,46%.
Dengan berbagai kondisi di atas, Bawono memandang, ada dua cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengejar target penerimaan pajak tahun ini. (Lihat videonya: Warga Wuhan Mulai Beraktivitas Normal Kembali)
“Pertama, mengejar pajak sektor digital, yaitu memperluas pihak yang ditunjuk jadi pemungut PPN impor digital, kepatuhan pajak dari ekosistem digital dalam negeri, dan mengenakan PPh perusahaan digital asing,” tuturnya.
Langkah kedua, menurutnya, meningkatkan kepatuhan dari kelompok high net worth individual. Dia menilai penerimaan dari sektor ini belum optimal. Penerimaan pajak yang terlihat seret tentu mengkhawatirkan. Sebab, pajak merupakan komponen utama dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). (Rina Anggraeni/FW Bahtiar)
Per 31 Agustus lalu, realisasi penerimaan pajak tercatat baru mencapai Rp676,9 triliun atau 56,5% terhadap target Anggaran Pendapaan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang sudah diubah sesuai Perpres No 72/2020 senilai Rp1.198,8 triliun. Sebelumnya, pada APBN 2020 target penerimaan pajak ditetapkan Rp1.577,6 trilun. (Baca: Alasan Febri Mengundurkan Diri, Kondisi KPK Sudah Berubah)
Angka penerimaan pajak pada tahun ini jauh menurun dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp802,5 triliun. Dengan demikian, terjadi konstraksi penerimaan pajak sebesar 15,6%. Realisasi penerimaan pajak pada tahun ini berasal dari PPh Migas sebeasr Rp21,6 triliun, dan Pajak Nonmigas Rp655,3 triliun.
Adapun realisasi penerimaan bea cukai hingga 31 Agustus 2020 tercatat Rp121,2 triliun atau 58,9% dari target Rp205,7 triliun. Realisasi ini mencatatkan pertumbuhan 1,8% dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp119,0 triliun. Dengan demikian
realisasi penerimaan perpajakan hingga Agustus 2020 tercatat senilai Rp798,1 triliun atau 56,8% dari target Rp1.404,5 triliun.
“Ini mencatatkan kontraksi 13,4% dibandingkan realisasi akhir Agustus 2019 senilai Rp921,5 triliun," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta baru-baru ini.
Turunnya penerimaan pajak hingga delapan bulan pertama 2020 itu tentu saja bukan kabar baik. Pasalnya, apabila penerimaan minim, maka kebutuhan pendanaan pada APBN bakal membengkak. Hal ini untuk menutup kebutuhan anggaran pemulihan ekonomi dan kesehatan yang terdampak Covid-19.
Di sisi lain, penurunan penerimaan pajak dinilai wajar karena hampir semua sektor usaha mengalami perlambatan. Imbasnya, penerimaan dari sejumlah sektor seperti industri pengolahan, perdagangan, konstruksi dan real estate terkontraksi di atas 15%. Penurunan terbesar dialami sektor pertambangan sebesar 35%. Sementara sektor transportasi turun 10,4%. (Baca juga: Siapa yang Berhak Memandikan Jenazah Perempuan?)
Sementara itu, data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutan, defisit APBN 2020 per 31 Agustus lalu mencapai Rp500,5 triliun atau 48,2% dari patokan dalam APBN 2020 senilai Rp1.039,2 triliun. Realisasi defisit anggaran itu setara dengan 3,05% produk domestik bruto (PDB).
Defisit ini disumbang dari pendapatan negara mencapai Rp1.034,1 triliun atau mengalami pertumbuhan negatif 13,1% dibandingkan realisasi tahun lalu sampai Agustus 2019. Sedangkan untuk belanja negara tercatat lebih besar hingga Rp1.534,7 triliun.
Menurut Sri Mulyani, merosotnya pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan sektor perpajakan dan PNBP mengalami kontraksi secara berturut-turut sebesar 13,39% dan 13,48% (yoy). "Komponen pendapatan negara dari perpajakan dan PNBP masing-masing capaian realisasinya terhadap APBN Perpres 72/2020 tercatat mencapai 56,82% dan 78,90%," katanya
Di sisi lain, penanganan pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional membutuhkan pembiayaan yang cukup besar yang sebagiannya dipenuhi oleh pembiayaan. "Kita ingin APBN tetap kredibel," tandas dia.
Pajak Digital
Sebagai upaya menggenjot penerimaan pajak, tahun ini pemerintah melalui Ditjen Pajak Kemenkeu terus melakukan perluasan objek pajak yang selama ini belum tersentuh. Upaya ini salah satunya melalui pengenaan pajak pertambahan nilai atas produk digital. (Baca juga: Penting Deteksi Dini dan Gejala Pikun)
Dalam pelaksanaanya, Ditjen Pajak telah menetapkan 37 perusahaan asing sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Pengenaan pajak digital tersebut akan mulai diberlakukan pada Oktober mendatang. Adapun beberapa perusahaan tersebut antara lain Amazon Web Services Inc; Google Asia Pacific Pte. Ltd; Google Ireland Ltd, Google LLC; Netflix International B.V.; dan Spotify AB. Mereka akan menjadi pemungut pajak gelombang pertama.
Untuk gelombang kedua, Facebook Ireland Ltd, Facebook Payments International Ltd; Facebook Technologies International Ltd; Amazon.com Services LLC; Audible, Inc; Alexa Internet; Audible Ltd; Apple Distribution International Ltd; Tiktok Pte. Ltd; The Walt Disney Company (Southeast Asia) Pte. Ltd. Sementara gelombang ketiga adalah LinkedIn Singapore Pte. Ltd; McAfee Ireland Ltd; Microsoft Ireland Operations Ltd; Mojang AB; Novi Digital Entertainment Pte. Ltd; PCCW Vuclip (Singapore) Pte. Ltd; Skype Communications SARL; Twitter Asia Pacific Pte. Ltd; Twitter International Company; Zoom Video Communications, Inc; PT Jingdong Indonesia Pertama; PT Shopee International Indonesia.
"Ke depan akan ada 9 (perusahaan) lagi. Kami sedang berkomunikasi dengan PMSE di luar negeri. Paling tidak, sampai dengan Oktober, ada 37 PMSE luar negeri yang akan kita tunjuk sebagai pemungut PPN," kata Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo dalam keterangannya yang diunggah secara online Rabu (23/9/2020).
Pengamat pajak Bawono Kristiaji mengatakan, risiko penerimaan pajak tahun ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi di mana saat ini menghadapi berbagai masalah mulai dari rendahnya harga komoditas, kinerja manufaktur yang tertekan, dan penurunan sektor konsumsi. (Baca juga: Mapolres Yalimo Papua Diserang, Kasat Intel Terluka Parah)
“Seluruhnya itu berpengaruh pada pos-pos penerimaan pajak yang umumnya berkontribusi besar,” ujarnya kepada SINDO Media kemarin.
Dia menambahkan, dilihat dari data Kemenkeu, pajak penghasilan (PPh) sektor minyak dan gas (migas) yang sebesar Rp21,6 triliun, menunjukkan pernurunan 45,2% dibanding tahun sebelumnya. Demikian pula dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang minus 11,6% di mana sampai Agustus lalu hanya mencapai Rp255,4 triliun.
Penurunan juga dialmi sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang hanya berkontribusi Rp9,7 triliun. Kenaikan hanya terjadi di sektor PPh Orang Pribadi yang tumbuh 2,46%.
Dengan berbagai kondisi di atas, Bawono memandang, ada dua cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengejar target penerimaan pajak tahun ini. (Lihat videonya: Warga Wuhan Mulai Beraktivitas Normal Kembali)
“Pertama, mengejar pajak sektor digital, yaitu memperluas pihak yang ditunjuk jadi pemungut PPN impor digital, kepatuhan pajak dari ekosistem digital dalam negeri, dan mengenakan PPh perusahaan digital asing,” tuturnya.
Langkah kedua, menurutnya, meningkatkan kepatuhan dari kelompok high net worth individual. Dia menilai penerimaan dari sektor ini belum optimal. Penerimaan pajak yang terlihat seret tentu mengkhawatirkan. Sebab, pajak merupakan komponen utama dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). (Rina Anggraeni/FW Bahtiar)
(ysw)