Manfaatkan Pandemi Covid-19 untuk Berinvestasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi corona (Covid-19) tidak menghalangi generasi milenial atau yang sering disebut sebagai kaum rebahan untuk meraih tambahan pemasukan. Namun hal itu tergantung pada cara dan tempat menyimpannya. Dalam kondisi seperti saat ini instrumen investasi dapat dimanfaatkan untuk membuat uang “berkeringat” atau bekerja untuk Anda.
Dalam masa pandemi ini Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Dimas Ardhinugraha menyarankan agar anak muda/milenial menyimpan uangnya di tempat yang aman. Meskipun klise dan remeh, ada dua maling yang tidak terlihat dan diam-diam mengintai simpanan, yaitu inflasi dan investasi bodong. (Baca: Keajaiban Surah Al-Fatihah Menyembuhkan Penyakit dan Penawar Racun)
"Tidak sedikit yang terjebak di sini. Tergiur janji-janji untung yang fenomenal dengan tingkat risiko yang katanya kecil. Namun akhirnya malah kejeblos dalam investasi bodong dan uangnya hilang," ujar Dimas di Jakarta kemarin.
Begitu juga inflasi yang berisiko menggerogoti uang yang disimpan di bawah bantal atau celengan selama bertahun-tahun. Dampaknya daya beli uang yang disimpan malah akan turun. Tidak sedikit orang yang beranggapan tabungan sebagai tempat yang aman dari incaran maling. "Padahal inflasi juga mengincar uang yang disimpan di tabungan dalam jangka panjang," katanya.
Selain harus memilih tempat yang aman untuk menyimpan uang, menurut Dimas, masyarakat terutama generasi muda harus memahami risiko investasi. Karena pada dasarnya semua instrumen investasi memiliki risiko. Karena itu pilihlah tingkat risiko yang sesuai.
Jangan fokus pada imbal hasil tinggi, tetapi malah membuat khawatir dan tidur tidak nyenyak. Karena dalam investasi berlaku prinsip high risk dengan high return. "Jadi kalau Anda dijanjikan imbal hasil tinggi, tentunya Anda harus siap mental untuk menanggung tingkat risiko kerugian yang tinggi dan sebaliknya," tegasnya.
Dia mengungkapkan, salah satu prinsip utama dalam investasi adalah “jangan taruh semua telur dalam satu keranjang”. Artinya alokasikan investasi dalam beberapa instrumen investasi. Tujuannya adalah untuk meminimalkan risiko apabila ada hal yang tidak terduga. (Baca juga: Miris, UU Ciptaker Tempatkan Pendidikan Sebagai Komoditas yang Diperdagangkan)
Menurutnya reksa dana dapat jadi pertimbangan. Instrumen ini dikelola oleh manajer investasi profesional dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sehingga pengelolaan investasi dilakukan secara hati-hati. Instrumen tersebut juga memiliki variasi jenis kelas aset dengan risiko berbeda, dari yang konservatif hingga agresif.
Reksa dana juga menerapkan prinsip diversifikasi di mana portofolio investasi reksa dana berisi berbagai jenis saham, obligasi, atau instrumen pasar uang. "Bagi investor pemula, saya sarankan ke reksa dana pasar uang untuk mencoba investasi di reksa dana. Karena tingkat risikonya konservatif, tetapi imbal hasilnya bisa diadu dengan deposito bank," papar Dimas.
Dia juga menegaskan dalam kondisi saat ini, jangan biarkan uang banyak rebahan atau sekadar ditabung. Manfaatkan reksa dana pasar uang untuk membuat uang keringetan alias bekerja keras. Reksa dana pasar uang aman karena diawasi oleh OJK.
"Selain risikonya rendah, juga bersifat likuid sekaligus atau dapat dicairkan kapan pun tanpa biaya. Anda hanya perlu menghubungi perusahaan manajer investasi atau agen penjual efek reksa dana,” tuturnya. (Baca juga: Pandemi, Jangan Stop Vaksin Anak)
Perencana keuangan Andhika Diskartes mengatakan, kesadaran untuk memulai investasi muncul saat pandemi. Hal ini dikarenakan masyarakat mulai merasakan dampak dari pandemi virus korona pada keuangan mereka.
Sebelumnya masyarakat masih cuek untuk mulai berinvestasi karena mereka merasa keuangannya baik-baik saja. Padahal akibat pandemi, ada banyak masyarakat yang terkena pemotongan gaji hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Begitu pandemi ini muncul, orang mulai mengelola duit, mulai soal investing. Ketika model ini muncul, orang yang mengelola keuangan. Sebelumnya habit ini belum terbangun karena oh iya saya baik-baik saja, saya enggak ada masalah dengan kehidupan yang selama ini terjadi,” tutur Andhika.
Menurut Andhika, sebelum pandemi banyak masyarakat yang masih meminjam uang bank untuk kebutuhan konsumtif. Padahal tanpa disadari, likuiditas yang dimiliki tidak setinggi gaya hidupnya.
“Sudahlah ambil uang ke bank, untuk hal konsumtif dan sebagainya, tanpa ada likuiditas yang cukup tinggi. Gaya hidupnya tinggi, likuiditasnya rendah,” jelasnya. (Baca juga: Selandia Baru Berhasil Lenyapkan Covid-19 untuk Kedua Kalinya)
Sebenarnya, lanjut Andhika, jika keuangan dalam kondisi normal tidak menjadi masalah. Karena tidak ada PHK dan pengurangan gaji.
“Nah itu sebenarnya masalah yang muncul di 2020. Sebetulnya kalau income orang itu sama, enggak ada penurunan, maka hal itu enggak jadi masalah. Faktanya enggak begitu, pengurangan gaji muncul, PHK muncul, dan berbagai konflik keuangan muncul, akhirnya jadi bom waktu,” urainya.
Menurut Andhika, hal ini menjadi tamparan positif bagi para investor pemula. Pasalnya, masyarakat bisa mengetahui dampak dari gaya hidup yang tinggi jika tak disertai likuiditas yang seimbang.
“Langsung naik 12% akhirnya bom waktu terjadi. Akhirnya habitnya baru terasa sekarang. Ini jadi tamparan positif buat teman-teman yang belajar investasi. Jadi tahu, oh iya manajemen duit itu penting, karena kalau enggak, mereka merepotkan sekelilingnya gitu," ucapnya. (Baca juga: Demo Meletus di Berbagai Daerah, Satgas Ingatkan Ancaman Covid-19)
Sementara itu Direktur Mandiri Sekuritas Theodora VN Manik mengatakan selama masa pandemi ini dirinya melihat minat masyarakat dalam berinvestasi meningkat. Khususnya untuk mengamankan dana darurat.
Hal itu, kata dia, terlihat dari peningkatan partisipasi investor ritel di Mandiri Sekuritas. Data perseroan menunjukkan hingga kuartal ketiga 2020, Mandiri Sekuritas melayani lebih dari 160.000 nasabah ritel. Angka tersebut meningkat 45% dari periode yang sama tahun lalu.
"Upaya edukasi dan pelatihan investasi juga berdampak positif pada aktivitas transaksi di mana nilai rata-rata transaksi harian nasabah ritel Mandiri Sekuritas terus meningkat," jelasnya.
Menurut dia, investor ritel, terutama di masa pandemi seperti sekarang ini, berperan penting dalam menopang pertumbuhan pasar modal Indonesia. Kemudahan akses, termasuk pengetahuan dan keterampilan berinvestasi, layanan digital, serta berinvestasi melalui perusahaan efek tepercaya turut mendorong kenaikan jumlah partisipasi investor ritel di Indonesia," ujarnya. (Lihat videonya: pedagang Tanaman Hias Raup Untung di tengah Pandemi Covid-19)
Sebelumnya data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat jumlah investor pasar modal hingga Juli 2020 mencapai 3 juta atau meningkat 22% dari periode yang sama tahun lalu (year on year/YoY).
Hingga Juli 2020 nilai transaksi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai Rp2.198 triliun, sementara nilai dana kelolaan (asset under management/AUM) reksa dana sebesar Rp503 triliun. (Hafid Fuad/Giri Hartomo)
Dalam masa pandemi ini Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Dimas Ardhinugraha menyarankan agar anak muda/milenial menyimpan uangnya di tempat yang aman. Meskipun klise dan remeh, ada dua maling yang tidak terlihat dan diam-diam mengintai simpanan, yaitu inflasi dan investasi bodong. (Baca: Keajaiban Surah Al-Fatihah Menyembuhkan Penyakit dan Penawar Racun)
"Tidak sedikit yang terjebak di sini. Tergiur janji-janji untung yang fenomenal dengan tingkat risiko yang katanya kecil. Namun akhirnya malah kejeblos dalam investasi bodong dan uangnya hilang," ujar Dimas di Jakarta kemarin.
Begitu juga inflasi yang berisiko menggerogoti uang yang disimpan di bawah bantal atau celengan selama bertahun-tahun. Dampaknya daya beli uang yang disimpan malah akan turun. Tidak sedikit orang yang beranggapan tabungan sebagai tempat yang aman dari incaran maling. "Padahal inflasi juga mengincar uang yang disimpan di tabungan dalam jangka panjang," katanya.
Selain harus memilih tempat yang aman untuk menyimpan uang, menurut Dimas, masyarakat terutama generasi muda harus memahami risiko investasi. Karena pada dasarnya semua instrumen investasi memiliki risiko. Karena itu pilihlah tingkat risiko yang sesuai.
Jangan fokus pada imbal hasil tinggi, tetapi malah membuat khawatir dan tidur tidak nyenyak. Karena dalam investasi berlaku prinsip high risk dengan high return. "Jadi kalau Anda dijanjikan imbal hasil tinggi, tentunya Anda harus siap mental untuk menanggung tingkat risiko kerugian yang tinggi dan sebaliknya," tegasnya.
Dia mengungkapkan, salah satu prinsip utama dalam investasi adalah “jangan taruh semua telur dalam satu keranjang”. Artinya alokasikan investasi dalam beberapa instrumen investasi. Tujuannya adalah untuk meminimalkan risiko apabila ada hal yang tidak terduga. (Baca juga: Miris, UU Ciptaker Tempatkan Pendidikan Sebagai Komoditas yang Diperdagangkan)
Menurutnya reksa dana dapat jadi pertimbangan. Instrumen ini dikelola oleh manajer investasi profesional dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sehingga pengelolaan investasi dilakukan secara hati-hati. Instrumen tersebut juga memiliki variasi jenis kelas aset dengan risiko berbeda, dari yang konservatif hingga agresif.
Reksa dana juga menerapkan prinsip diversifikasi di mana portofolio investasi reksa dana berisi berbagai jenis saham, obligasi, atau instrumen pasar uang. "Bagi investor pemula, saya sarankan ke reksa dana pasar uang untuk mencoba investasi di reksa dana. Karena tingkat risikonya konservatif, tetapi imbal hasilnya bisa diadu dengan deposito bank," papar Dimas.
Dia juga menegaskan dalam kondisi saat ini, jangan biarkan uang banyak rebahan atau sekadar ditabung. Manfaatkan reksa dana pasar uang untuk membuat uang keringetan alias bekerja keras. Reksa dana pasar uang aman karena diawasi oleh OJK.
"Selain risikonya rendah, juga bersifat likuid sekaligus atau dapat dicairkan kapan pun tanpa biaya. Anda hanya perlu menghubungi perusahaan manajer investasi atau agen penjual efek reksa dana,” tuturnya. (Baca juga: Pandemi, Jangan Stop Vaksin Anak)
Perencana keuangan Andhika Diskartes mengatakan, kesadaran untuk memulai investasi muncul saat pandemi. Hal ini dikarenakan masyarakat mulai merasakan dampak dari pandemi virus korona pada keuangan mereka.
Sebelumnya masyarakat masih cuek untuk mulai berinvestasi karena mereka merasa keuangannya baik-baik saja. Padahal akibat pandemi, ada banyak masyarakat yang terkena pemotongan gaji hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Begitu pandemi ini muncul, orang mulai mengelola duit, mulai soal investing. Ketika model ini muncul, orang yang mengelola keuangan. Sebelumnya habit ini belum terbangun karena oh iya saya baik-baik saja, saya enggak ada masalah dengan kehidupan yang selama ini terjadi,” tutur Andhika.
Menurut Andhika, sebelum pandemi banyak masyarakat yang masih meminjam uang bank untuk kebutuhan konsumtif. Padahal tanpa disadari, likuiditas yang dimiliki tidak setinggi gaya hidupnya.
“Sudahlah ambil uang ke bank, untuk hal konsumtif dan sebagainya, tanpa ada likuiditas yang cukup tinggi. Gaya hidupnya tinggi, likuiditasnya rendah,” jelasnya. (Baca juga: Selandia Baru Berhasil Lenyapkan Covid-19 untuk Kedua Kalinya)
Sebenarnya, lanjut Andhika, jika keuangan dalam kondisi normal tidak menjadi masalah. Karena tidak ada PHK dan pengurangan gaji.
“Nah itu sebenarnya masalah yang muncul di 2020. Sebetulnya kalau income orang itu sama, enggak ada penurunan, maka hal itu enggak jadi masalah. Faktanya enggak begitu, pengurangan gaji muncul, PHK muncul, dan berbagai konflik keuangan muncul, akhirnya jadi bom waktu,” urainya.
Menurut Andhika, hal ini menjadi tamparan positif bagi para investor pemula. Pasalnya, masyarakat bisa mengetahui dampak dari gaya hidup yang tinggi jika tak disertai likuiditas yang seimbang.
“Langsung naik 12% akhirnya bom waktu terjadi. Akhirnya habitnya baru terasa sekarang. Ini jadi tamparan positif buat teman-teman yang belajar investasi. Jadi tahu, oh iya manajemen duit itu penting, karena kalau enggak, mereka merepotkan sekelilingnya gitu," ucapnya. (Baca juga: Demo Meletus di Berbagai Daerah, Satgas Ingatkan Ancaman Covid-19)
Sementara itu Direktur Mandiri Sekuritas Theodora VN Manik mengatakan selama masa pandemi ini dirinya melihat minat masyarakat dalam berinvestasi meningkat. Khususnya untuk mengamankan dana darurat.
Hal itu, kata dia, terlihat dari peningkatan partisipasi investor ritel di Mandiri Sekuritas. Data perseroan menunjukkan hingga kuartal ketiga 2020, Mandiri Sekuritas melayani lebih dari 160.000 nasabah ritel. Angka tersebut meningkat 45% dari periode yang sama tahun lalu.
"Upaya edukasi dan pelatihan investasi juga berdampak positif pada aktivitas transaksi di mana nilai rata-rata transaksi harian nasabah ritel Mandiri Sekuritas terus meningkat," jelasnya.
Menurut dia, investor ritel, terutama di masa pandemi seperti sekarang ini, berperan penting dalam menopang pertumbuhan pasar modal Indonesia. Kemudahan akses, termasuk pengetahuan dan keterampilan berinvestasi, layanan digital, serta berinvestasi melalui perusahaan efek tepercaya turut mendorong kenaikan jumlah partisipasi investor ritel di Indonesia," ujarnya. (Lihat videonya: pedagang Tanaman Hias Raup Untung di tengah Pandemi Covid-19)
Sebelumnya data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat jumlah investor pasar modal hingga Juli 2020 mencapai 3 juta atau meningkat 22% dari periode yang sama tahun lalu (year on year/YoY).
Hingga Juli 2020 nilai transaksi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai Rp2.198 triliun, sementara nilai dana kelolaan (asset under management/AUM) reksa dana sebesar Rp503 triliun. (Hafid Fuad/Giri Hartomo)
(ysw)