Neraca Perdagangan Surplus Indikasi Ekonomi RI Bisa Bertahan?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kinerja perdagangan Indonesia di tengah pandemi Covid-19 malah moncer. Selama lima bulan beruntun (Mei—September) neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca dagang surplus mulai Mei 2020 yang mencapai USD2,1 miliar. Sementara pada Juni surplus USD1,27 miliar, berlanjut Juli surplus USD3,26 miliar, Agustus surplus USD2,33 miliar, dan September 2020 surplus USD2,44 miliar.
Indonesia antara lain mengalami surplus perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) mencapai USD1,08 miliar, India sebesar USD562 miliar, dan Filipina sebesar USD491 miliar. Sedangkan defisit perdagangan terjadi dengan China yang mencapai USD879 miliar, Ukraina USD140 miliar, dan Brasil USD119 miliar. (Baca: Inilah Tabiat Buruk Suami yang Harus Dijauhi)
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, surplus terjadi karena nilai ekspor yang lebih besar jika dibandingkan dengan nilai impor. BPS mencatat nilai ekspor pada September sebesar USD14,01 miliar, sementara nilai impornya USD11,57 miliar.
“Selama lima bulan berturut-turut kita kembali surplus sejak Mei dan di September. Bahkan, surplus September lebih besar dibandingkan Agustus dan lainnya,” ujar Suhariyanto dalam video virtual kemarin.
Suhariyanto menjelaskan, kenaikan ekspor pada September terutama didorong oleh sektor migas yang tumbuh 17,43%, sedangkan nonmigas tumbuh 6,47%. Meski tumbuh dibandingkan bulan sebelumnya, ekspor secara tahunan atau year on year masih tercatat turun 0,51%. “Ekspor migas turun 12,44%, sedangkan nonmigas naik 0,21%,” katanya.
Berdasarkan sektornya, menurut dia, pertanian tumbuh paling kencang mencapai 20,84% dibandingkan Agustus atau 16,22% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan terutama terjadi pada produk hortikultura seperti komoditas sayuran, buah-buahan, kopi, lada, serta hasil tanaman. (Baca juga: Pendidikan Guru Penggerak Diikuti 2.800 Guru)
“Sektor pertanian pada bulan September tahun 2020 itu tumbuh bagus sekali. Berdasarkan month to month (M to M) naik 20,84% dan year on year (YoY) juga mengalami peningkatan sebesar 16,22%,” ujar Suhariyanto.
Kepala BPS juga mengatakan, kontribusi sektor pertanian pada September 2020 terhadap total nilai ekspor mengalami peningkatan sebesar 0,41% dibandingkan September 2019. Nilai ekspor September 2019 tercatat berkontribusi sebesar 2,5%, sedangkan pada September 2020 sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 2,95%. “Tentunya kita berharap ke depan ekspor sektor pertanian ini akan semakin bertambah lagi,” tandas Suhariyanto.
Ekspor industri pengolahan juga tumbuh 7,37% dibandingkan Agustus. Kenaikan berasal dari ekspor pada komoditas besi dan baja, minyak kelapa sawit, kendaraan bermotor, serta pulp. Sementara itu, sektor pertambangan masih mencatatkan penurunan sebesar 4,1%. “Ekspor pertambangan terus turun karena permintaan untuk batu bara turun. Harga batu bara juga turun cukup dalam mencapai 17% dibanding tahun lalu,” katanya.
Impor pada September juga didorong oleh sektor migas yang mencatatkan kenaikan sebesar 23,9% dibandingkan Agustus, sedangkan impor nonmigas naik 6,18%. Meski demikian, dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau year on year, impor pada September masih tercatat turun 18,88%. “Karena ada penurunan pada impor migas dan nonmigas,” ujarnya. (Baca juga: Jaga Kesehatan Mata, Batasi Anak Main Gadget)
Kenaikan impor terbesar terjadi pada komponen mesin dan peralatan mekanis. Kemudian disusul oleh besi dan baja, mesin dan perlengkapan elektrik, serta kendaraan lainnya. Sementara impor biji kerak dan abu logam, pupuk, kereta api dan bagiannya, barang tekstil jadi lainnya, serta tembakau dan rokok menurun. “Peningkatan impor terbesar dari Jepang, Korea Selatan, China, dan Ukraina,” katanya.
Berdasarkan kelompok penggunaan barangnya, kenaikan impor terutama terjadi pada barang modal dan bahan baku yang masing-masing meningkat 19,01% dan 7,23% dibandingkan Agustus. Impor barang modal tercatat sebesar USD2,13 miliar dan bahan baku USD8,23 miliar.
Sementara itu, impor konsumsi turun 6,12% menjadi USD1,12 miliar. Secara kumulatif Januari—September, menurut Suhariyanto, total impor mencapai USD103,68, masih menurun 18,15% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara total ekspor mencapai USD117,19 miliar. “Secara kumulatif, neraca perdagangan kita surplus USD13,51 miliar,” ucapnya. (Baca juga: Ombudsman Surati Kapolri, Minta Pendekatan Persuasif dalam Unjuk Rasa)
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, perbaikan ekspor bulanan didukung oleh peningkatan aktivitas manufaktur dari mitra dagang utama Indonesia seperti kawasan Eropa AS, Jepang, India, Korea. Sementara di sisi yang lain, impor pada September masih dipengaruhi oleh kontraksi aktivitas manufaktur domestik.
Sementara itu, ekonom Core Piter Abdullah mengatakan, neraca perdagangan yang kembali mencetak surplus menjadi kabar baik. Tentunya, terang dia, hal ini menunjukkan ada indikasi perekonomian Indonesia masih bisa bertahan.
“Saya kira surplus neraca perdagangan ini menjadi indikasi perekonomian Indonesia masih bertahan di tengah pandemi. Surplus berturut-turut ini, saya kira membantu memperbaiki transaksi berjalan sekaligus men-support stabilitas nilai tukar rupiah,” kata Piter kemarin.
Dia melanjutkan, surplus pada September 2020 disebabkan pertumbuhan ekspor yang lebih besar dari pertumbuhan impor. Adapun pertumbuhan ekspor ini disebabkan kenaikan harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). (Lihat videonya: Satukan tekad untuk Memenangkan Perang Melawan Covid-19)
“Pertumbuhan lebih ekspor disebabkan oleh kenaikan harga komoditas, utamanya CPO di tengah mulai membaiknya permintaan global karena perekonomian China yang sudah mulai bangkit,” terangnya.
Lalu, pertumbuhan impor didorong oleh mulai menggeliatnya industri ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan. “Ini efeknya cukup positif untuk ekonomi Indonesia,” jelasnya. (Rina Anggraeni)
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca dagang surplus mulai Mei 2020 yang mencapai USD2,1 miliar. Sementara pada Juni surplus USD1,27 miliar, berlanjut Juli surplus USD3,26 miliar, Agustus surplus USD2,33 miliar, dan September 2020 surplus USD2,44 miliar.
Indonesia antara lain mengalami surplus perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) mencapai USD1,08 miliar, India sebesar USD562 miliar, dan Filipina sebesar USD491 miliar. Sedangkan defisit perdagangan terjadi dengan China yang mencapai USD879 miliar, Ukraina USD140 miliar, dan Brasil USD119 miliar. (Baca: Inilah Tabiat Buruk Suami yang Harus Dijauhi)
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, surplus terjadi karena nilai ekspor yang lebih besar jika dibandingkan dengan nilai impor. BPS mencatat nilai ekspor pada September sebesar USD14,01 miliar, sementara nilai impornya USD11,57 miliar.
“Selama lima bulan berturut-turut kita kembali surplus sejak Mei dan di September. Bahkan, surplus September lebih besar dibandingkan Agustus dan lainnya,” ujar Suhariyanto dalam video virtual kemarin.
Suhariyanto menjelaskan, kenaikan ekspor pada September terutama didorong oleh sektor migas yang tumbuh 17,43%, sedangkan nonmigas tumbuh 6,47%. Meski tumbuh dibandingkan bulan sebelumnya, ekspor secara tahunan atau year on year masih tercatat turun 0,51%. “Ekspor migas turun 12,44%, sedangkan nonmigas naik 0,21%,” katanya.
Berdasarkan sektornya, menurut dia, pertanian tumbuh paling kencang mencapai 20,84% dibandingkan Agustus atau 16,22% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan terutama terjadi pada produk hortikultura seperti komoditas sayuran, buah-buahan, kopi, lada, serta hasil tanaman. (Baca juga: Pendidikan Guru Penggerak Diikuti 2.800 Guru)
“Sektor pertanian pada bulan September tahun 2020 itu tumbuh bagus sekali. Berdasarkan month to month (M to M) naik 20,84% dan year on year (YoY) juga mengalami peningkatan sebesar 16,22%,” ujar Suhariyanto.
Kepala BPS juga mengatakan, kontribusi sektor pertanian pada September 2020 terhadap total nilai ekspor mengalami peningkatan sebesar 0,41% dibandingkan September 2019. Nilai ekspor September 2019 tercatat berkontribusi sebesar 2,5%, sedangkan pada September 2020 sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 2,95%. “Tentunya kita berharap ke depan ekspor sektor pertanian ini akan semakin bertambah lagi,” tandas Suhariyanto.
Ekspor industri pengolahan juga tumbuh 7,37% dibandingkan Agustus. Kenaikan berasal dari ekspor pada komoditas besi dan baja, minyak kelapa sawit, kendaraan bermotor, serta pulp. Sementara itu, sektor pertambangan masih mencatatkan penurunan sebesar 4,1%. “Ekspor pertambangan terus turun karena permintaan untuk batu bara turun. Harga batu bara juga turun cukup dalam mencapai 17% dibanding tahun lalu,” katanya.
Impor pada September juga didorong oleh sektor migas yang mencatatkan kenaikan sebesar 23,9% dibandingkan Agustus, sedangkan impor nonmigas naik 6,18%. Meski demikian, dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau year on year, impor pada September masih tercatat turun 18,88%. “Karena ada penurunan pada impor migas dan nonmigas,” ujarnya. (Baca juga: Jaga Kesehatan Mata, Batasi Anak Main Gadget)
Kenaikan impor terbesar terjadi pada komponen mesin dan peralatan mekanis. Kemudian disusul oleh besi dan baja, mesin dan perlengkapan elektrik, serta kendaraan lainnya. Sementara impor biji kerak dan abu logam, pupuk, kereta api dan bagiannya, barang tekstil jadi lainnya, serta tembakau dan rokok menurun. “Peningkatan impor terbesar dari Jepang, Korea Selatan, China, dan Ukraina,” katanya.
Berdasarkan kelompok penggunaan barangnya, kenaikan impor terutama terjadi pada barang modal dan bahan baku yang masing-masing meningkat 19,01% dan 7,23% dibandingkan Agustus. Impor barang modal tercatat sebesar USD2,13 miliar dan bahan baku USD8,23 miliar.
Sementara itu, impor konsumsi turun 6,12% menjadi USD1,12 miliar. Secara kumulatif Januari—September, menurut Suhariyanto, total impor mencapai USD103,68, masih menurun 18,15% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara total ekspor mencapai USD117,19 miliar. “Secara kumulatif, neraca perdagangan kita surplus USD13,51 miliar,” ucapnya. (Baca juga: Ombudsman Surati Kapolri, Minta Pendekatan Persuasif dalam Unjuk Rasa)
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, perbaikan ekspor bulanan didukung oleh peningkatan aktivitas manufaktur dari mitra dagang utama Indonesia seperti kawasan Eropa AS, Jepang, India, Korea. Sementara di sisi yang lain, impor pada September masih dipengaruhi oleh kontraksi aktivitas manufaktur domestik.
Sementara itu, ekonom Core Piter Abdullah mengatakan, neraca perdagangan yang kembali mencetak surplus menjadi kabar baik. Tentunya, terang dia, hal ini menunjukkan ada indikasi perekonomian Indonesia masih bisa bertahan.
“Saya kira surplus neraca perdagangan ini menjadi indikasi perekonomian Indonesia masih bertahan di tengah pandemi. Surplus berturut-turut ini, saya kira membantu memperbaiki transaksi berjalan sekaligus men-support stabilitas nilai tukar rupiah,” kata Piter kemarin.
Dia melanjutkan, surplus pada September 2020 disebabkan pertumbuhan ekspor yang lebih besar dari pertumbuhan impor. Adapun pertumbuhan ekspor ini disebabkan kenaikan harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). (Lihat videonya: Satukan tekad untuk Memenangkan Perang Melawan Covid-19)
“Pertumbuhan lebih ekspor disebabkan oleh kenaikan harga komoditas, utamanya CPO di tengah mulai membaiknya permintaan global karena perekonomian China yang sudah mulai bangkit,” terangnya.
Lalu, pertumbuhan impor didorong oleh mulai menggeliatnya industri ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan. “Ini efeknya cukup positif untuk ekonomi Indonesia,” jelasnya. (Rina Anggraeni)
(ysw)