Pantas Investor Sepi, Rupanya ini Biang Keladinya...

Senin, 19 Oktober 2020 - 06:00 WIB
loading...
Pantas Investor Sepi, Rupanya ini Biang Keladinya...
Kawasan industri. FOTO:Sindonews
A A A
JAKARTA - Sejatinya tak ada yang salah dengan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Sebab tujuan utama dari UU yang sedang dirundung demo itu sugguh mulia: menyedot investasi sebesar-besarnya. Jika investasi datang otomatis lapangan kerja terbuka lebar. Sayang, pemerintah dan DPR agaknya terlalu percaya diri dengan mengesahkan UU itu secara terburu-buru. Tanpa sosialisasi secara pantas ke masyarakat, tanpa kordinasi yang baik dengan pihak-pihak berkepentingan dan tanpa komunikasi yang efektif dengan rakyat, RUU itu pun disahkan oleh DPR pada 5 Oktober silam.

(Baca juga : Guru Dipenggal karena Kartun Nabi Muhammad Picu Demo Besar di Prancis )

Alhasil, sejumlah organisasi buruh yang sejak awal menerima informasi samar-samar mengenai nasib mereka yang bakal terjerembab pasca berlakunya UU itu, langsung turun ke jalan. Bahu membahu dengan mahasiswa, aktivis pro demokrasi dan tokoh-tokoh oposisi, mereka menggelar aksi menuntut pencabutan UU di sejumlah kota besar.

(Baca juga : Kisah Serda Sahidin, Latih Fisik Anak hingga Jadi Perwira )

Sayang, demo itu lantas ditunggangi para pengail di air keruh. Aksi anarkis pun tak terelakkan. Sejumlah fasilitas publik, antara lain shelter MRT hangus dibakar sekelompok massa.

Seandainya pemerintah dan DPR membahas RUU sebagaimana lazimnya bakal perundang-undangan dengan membuka partisipasi publik, kesalahpahaman tentu tak akan meruyak.

(Baca juga : Strategi Tipu Muslihat yang Berhasil Memenangkan 8 Peperangan Besar )

Apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur. Hingga akhir pekan lalu demo menentang UU Cipta Kerja terus berlangsung. Entah sampai kapan.

Padahal, seperti sudah disebutkan, kericuhan ini terjadi hanya karena masalah sosialisasi, kordinasi dan komunikasi. Bila semua pihak diajak berembuk, siapa pun akan mahfum, negeri ini sangat membutuhkan investasi. Selama ini investasi ogah menclok ke negara kita, antara lain disebabkan birokrasi yang ribet. Sekalipun pemerintah pusat sudah mempermudah perizinan, biasanya calon investor akan terbentur birokrasi di daerah. Dan masalah ini agaknya sudah sedemikian parah.

Ini terbukti dengan rilis yang disampaikan oleh Lembaga Konsultan dan Riset TMF Group, Jumat (16/10) pekan lalu. Global Business Complexity Index periode 2020 negara kita menurut TMF menduduki urutan pertama. Artinya kemudahan berusaha di Indonesia paling rumit dibandingkan negara lain.

Indonesia menempati peringkat pertama mengalahkan Brasil, Argentina, Bolivia, Yunani, China, Nicaragua, Kolombia, Malaysia, dan Ekuador. Mengutip laporan tersebut hal ini karena undang-undang yang ada di Indonesia. "Peraturan ini dianggap kuno oleh investor asing dan tetap menjadi penghalang utama investasi di Indonesia," tulis laporan tersebut.

TMF juga menyoroti UU Ketenagakerjaan di Indonesia yang masih melindungi tenaga kerja dari eksploitasi sehingga sulit untuk perusahaan mengambil tindakan tegas terhadap pegawai yang berkinerja buruk.
Selain itu, daftar negatif investasi yang saat ini membatasi persentase kepemilikan asing di masing-masing industri juga jadi salah satu masalah utama yang menghambat bisnis di Indonesia.

Tim TMF Group Indonesia Alvin Christian menyatakan sesungguhnya Indonesia saat ini merupakan tempat yang menarik dan menguntungkan untuk pasar. "Dengan adanya peraturan yang memberi kemudahan berbisnis ini akan menjadi lebih menarik," jelas dia. Indeks ini menilai kompleksitas bisnis di 77 negara di dunia.

Ada pun negara-negara yang dinilai paling ramah bagi investor, menurut TMF, antara lain, Amerika Serikat, Jamaica, Denmark, British Virgin Island, Belanda, El Salvador dan Irlandia.

Pemerintah di negara-negara yang paling disukai pelaku bisnis, menurut TMF, pada umumnya berupaya terbuka dengan investor asing agar roda perekonomian bergerak. Kadang pemerintah juga memberikan insentif untuk para calon investor. Selain itu juga dibutuhkan lingkungan yang bersahabat dengan investasi asing.

Apa yang disampaikan TMF sejalan dengan pemeringkatan yang disusun oleh World Economic Forum (WEF) 2019. Regulasi investasi yang rumit menempatkan Indonesia di peringkat 45 dari 50 untuk daya saing global. Skor Indonesia menurut laporan itu 64,6, turun tipis 0,3 dari tahun sebelumnya.

Regulasi rumit tercermin dari tumpang tindihnya aturan di kementerian/lembaga. Sebaliknya para tetangga kita, seperti Thailand dan Malaysia makin agresif menawarkan berbagai kemudahan.

Tentu saja data itu layak disesali. Apalagi WEF mengakui kekuatan Indonesia ada di pasarnya yang mendapat nilai 82,4 dan stabilitas ekonomi (90). Semangat budaya bisnis Indonesia juga mendapat apresiasi WEF dengan memberi skor 69,6 dan sistem keuangan yang stabil mencapai nilai 64. Kemudian, adopsi teknologi tinggi mencapai skor 55,4, mengingat pembangunan dan kualitas aksesnya masih relatif rendah. Sedangkan, terkait kapasitas inovasi Indonesia, WEF menilai sudah bertumbuh meski masih terbatas dengan skor 37,7.

Menurut WEF Singapura menduduki posisi pertama di dunia, sebagai negara yang memiliki daya saing terbaik dengan skor 84,8.
Di Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi keempat setelah Singapura, Malaysia di peringkat 27, dan Thailand (40). Sedangkan, Filipina di peringkat 64 dan Vietnam berada di peringkat 67.

Meski berada di bawah Indonesia, WEF menyebut Vietnam merupakan negara yang memiliki indeks paling meningkat dengan skor naik 3,5 menjadi 61,5 dengan posisi melompati 10 level, dari posisi sebelumnya di peringkat 77.

Jasa konsultan perizinan sebagian besar mengalir ke birokrat

Separah itukah kondisi Indonesia bagi pelaku bisnis? “Memang,” cetus seorang konsultan perizinan gedung untuk kegiatan usaha yang minta identitasnya dirahasiakan saat berbincang dengan Sindonews, Jumat pekan lalu.

Ia mengungkapkan, untuk pembangunan satu gedung, investor harus melalui 40 meja. Mulai dari izin prinsip, izin lokasi, ketetapan rencana kota, izin prinsip pemanfaatan ruang, gambar pra perencanaan arsitektur, izin mendirikan bangunan, izin lingkungan. Lantas setelah gedung selesai dibangun, pemgusaha wajib mengurus sertifikat laik fungsi.

Hitung punya hitung, menurutnya, dana yang harus disiapkan invetor untuk mendirikan sebuah bangunan mencapai Rp25 miliar. “Tapi ini untuk pembayaran jasa konsultan perizinan yang sebagian besar mengalir ke birokrat,” sahutnya seraya menambahkan,”itu belum termasuk biaya retribusinya. ”

Sebenarnya, ia melanjutkan, biaya retribusi paling banter menghabiskan Rp2 miliar. Nah, ongkos perizinan akan membengkak jika memerlukan keputusan khusus, misalnya membangun pabrik di lokasi yang berstatus bukan zona industri atau mendirikan mal di lokasi non kawasan niaga. ‘Di sini perlu keputusan kepala daerah yang secara khusus mengatur perubahan pemanfaatan ruang,” bebernya.

Soal keputusan kepala daerah, ia mengingatkan, saat Ahok menjadi Gubernur DKI, semua biaya itu didorong dalam bentuk retribusi tambahan. “Sekarang balik lagi jadi sumber pendapatan birokrat,” tuturnya.

Alhasil, kalau tidak ada pengecualian, izin tak semahal itu, kendati menurut perhitungannnya tetap tidak bisa dibilang murah. “Untuk mengurus IMB, walaupun tidak ada pelanggaran sama sekali harus siap Rp500 juta,” ungkapnya sambal tertawa kecil saat mengakhiri perbincangan.
(rza)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0943 seconds (0.1#10.140)