Maskapai Racik Ulang Strategi Bisnis
loading...
A
A
A
SINGAPURA - Tahun 2020 merupakan masa di mana keterpurukan melanda industri penerbangan di seluruh dunia. Maskapai harus berkontemplasi memikirkan inovasi dan cara bertahan.
Sejumlah maskapai penerbangan di dunia mulai mengubah haluan bisnis dengan mengembangkan inovasi model bisnis di tengah pandemi korona yang melumpuhkan perekonomian sebagian besar negara di dunia. Dengan memanfaatkan brand mewah dan bergengsi, sejumlah maskapai tetap eksis untuk menghidupi keuangan perusahaan. (Baca: Kehebatan Seseorang Bisa Diukur dari 3 Perkara Ini)
Maskapai penerbangan pun dipaksa berpikir out of the box. AirAsia misalnya. Mereka mengenalkan platform digital IKHLAS untuk wisatawan Muslim. Selain itu, maskapai yang berkantor pusat di Kuala Lumpur itu meluncurkan layanan akikah digital melalui sebuah platform yang memenuhi keperluan gaya hidup muslim di bawah naungan airasia.com di tengah terpuruknya bisnis penerbangan akibat pandemi Covid-19.
"Selaras dengan pengembangan bisnis digital Grup AirAsia, Ikhlas, hari ini melancarkan satu lagi layanan baru yaitu akikah," ujar Direktur Ikhlas, Ikhlas Kamarudin kepada media di Kuala Lumpur, beberapa waktu lalu.
Yang menarik adalah, bisnis akikah tersebut beroperasi lintas negara. Kamarudin mengungkapkan, layanan akikah mencakup lebih dari 35 negara di seluruh dunia termasuk Thailand, Kemboja, Vietnam, Laos, Myanmar, Filipina, Indonesia, Bangladesh, Sri Lanka, India, Palestina, Pakistan dan banyak lagi dengan tarif relatif terjangkau
Maskapai terkenal lainnya, Singapore Airlines, juga memutar otak merespons lesunya permintaan penerbangan di masa pandemi. Maskapai yang terkenal dengan layanan primanya itu memberikan kesempatan makan siang di pesawat Airbus A380 yang parkir di bandara utama Changi. (Baca juga: Banyak Kaum Santri Sudah Berperan di Kancah Internasional)
Ide tersebut ternyata disambut antuisias. Terbukti dari larisnya tiket makan bertarif USD496 dolar (Rp7,5 juta) untuk dua hari pertama yang terjual habis dalam waktu setengah jam.
"Yang dilakukan Singapore Airlines menjual makanan merupakan strategi marketing untuk tetap fokus menjaga pasar penumpang kelas premium," kata Faizal Yahya, peneliti senior Institute of Policy Studies, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, dilansir Channel News Asia.
Dengan tarif makan di pesawat dengan harga yang cukup fantastis, menurut Yahya, hal itu merupakan upaya Singapore Airlines untuk menjaga branding merek premium yang disandangnya.
Sama seperti Singapore Airlines, pandemi juga memaksa maskapai Thai Airways harus menyulap kantor pusatnya menjadi restoran sejak awal September lalu. Konsep restoran yang digunakan fokus pada pesawat. Restoran itu didekorasi dengan beberapa bagian dan kursi pesawat. Makanan yang dihadirkan juga seperti makanan selama penerbangan.
“Setiap hari, restoran bertema pesawat itu mampu menyediakan 2.000 makanan,” kata Direktur Manajer Katering Thai Airways, Varangkana Luerojvong, kepada Reuters. (Baca juga: Covid-19 Sebabkan Otak Menua 10 Tahun)
Dia mengungkapkan, lengkah tersebut bisa menjadi menambah pendapatan selama pandemi. Dinilai sukses, Thai Airways juga akan mengubah kantor lainnya untuk menjadi restoran.
Strategi unik lainnya juga dilakukan oleh maskapai EVA Air yang berkantor pusat di Taiwan. Maskapai itu mengenalkan program penerbangan tanpa tujuan.
EVA melayani penerbangan pada Hari Ayah khusus memutari Pulau Taiwan. Beberapa maskapai lain seperti Qantas, Tigerair, ANA, HK Express juga menawarkan layanan yang sama. Mereka sengaja menjual tiket penerbangan dengan rute hanya berkeliling di udara sejumlah negara, untuk kemudian kembali ke tempat asalnya.
“Saya merasa saya tidak pernah pergi dengan pesawat sejak lama. Saya pikir ini merupakan kesempatan spesial,” kata Chen Shu-tzu, 43, penumpang Tigerair yang ikut terbang di udara Pulau Jeju.
Apa yang dilakukan maskapai-maskapai tersebut tentu bukan tanpa asalan. Mereka mencari cara agar tetap bertahan dari krisis sekaligus menjaga agar penyebaran Covid-19 bisa tetap terkendali. "Kita menjamin penumpang tetap aman dan sehat," demikian keterangan HK Express dilansir South China Morning Post. (Baca juga: Dengan Kondisi Sekarang, Habib Rizieq Sebaiknya Jangan Pulang Dahulu)
Nasib Maskapai Domestik
Sebelumnya, pendapatan maskapai penerbangan dunia diperkirakan anjlok sebesar USD314 miliar pada 2020. Hal itu disebabkan lockdown dan larangan bepergian setelah mewabahnya virus korona di seluruh dunia sejak awal tahun ini.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) telah memperingatkan bahwa ratusan ribu pekerjaan penerbangan dapat berisiko akibat pandemi Covid-19. Asosiasi, yang mewakili 290 maskapai, mengatakan mereka memperkirakan lalu lintas tahun ini menjadi 66% di bawah level penerbangan pada 2019. Selanjutnya, Asosiasi Maskapai Asia Pasifik juga menyatakan pembatasan dan kontrol perbatasan saat pandemi menyebabkan perjalanan internasional turun mencapai 97,5%.
Di dalam negeri, nasib perusahaan-perusahaan penerbangan di masa pandemi juga tidak jauh berbeda. Masih terbatasnya jumlah penerbangan di rute domestik maupun internasional membuat maskapai nasional harus melakukan efisiensi besar-besaran. (Baca juga: LIstrik Mati, Konsumen Bisa Ajukan Kompensasi ke PLN)
Yang teranyar adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) 700 pekerja kontrak Garuda Indonesia mulai 1 November kemarin. Sebelumnya, ratusan karyawan tersebut sejak Mei 2020 lalu telah menjalani kebijakan unpaid leave karena imbas turunnya permintan layanan penerbangan pada masa pandemi.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengakui, kebijakan tersebut merupakan keputusan sulit yang terpaksa diambil setelah melakukan berbagai upaya penyelamatan untuk memastikan keberlangsungan perusahaan di tengah tantangan dampak pandemi Covid-19.
"Sejak awal, kepentingan karyawan merupakan prioritas utama yang selalu kami kedepankan. Ketika maskapai lain mulai mengimplementasikan kebijakan pengurangan karyawan, kami terus berupaya mengoptimalkan langkah strategis guna memastikan perbaikan kinerja dan masa depan bisnis," kata Irfan di Jakarta, Selasa (27/10).
Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja mengatakan, operator penerbangan di Indonesia masih perlu mewaspadai krisis akibat pandemi Covid-19. Caranya, dengan realistis melihat kondisi saat ini.
“Saya ingin menekankan bahwa maskapai harus realistis saat ini di tengah Pandemi Covid-19. Kita tidak bisa memungkiri industri penerbangan khususnya maskapai paling berdampak akibat Covid-19. Maskapai global pun kondisinya sama dan ini merata,” ungkapnya dihubungi SINDO Media di Jakarta. (Baca juga: Korban Tewas Gempa Turki Tembus 40 Jiwa)
Namun, kata dia, apabila dibandingkan maskapai global lainnya, maskapai di Indonesia masih punya peluang bertahan. Dia beralasan, Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan kesempatan yang harus dimanfaatkan.
“Sampai akhir tahun saya kira akan ada lonjakan, namun tentu tidak sebesar tahun lalu, dan tentu ini harus direspons dengan cermat oleh setiap maskapai. Yang penting lonjakan sekecil apapun dibanding bulan-bulan sebelumnya adalah momentum bertahan di tengah kondisi pandemi Covid-19,” pungkasnya.
Sementara itu, pengamat penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan bahwa sejak awal pandemi Covid-19 diprediksi industri yang paling berdampak terkena imbas adalah operator penerbangan. Fakta bahwa Garuda Indonesia yang memutus kontrak 700 pegawai dan sejumlah maskapai lain seperti AirAsia Indonesia menandakan bahwa kondisi keuangan maskapai sedang tidak baik.
“Aliran kas memang sudah bergerak karena operasional penerbangan sudah mulai terjadi tapi sepertinya masih negatif karena tingkat keterisian masih di bawah 50%. Operasional penerbangan juga berkurang jauh dibanding sebelum adanya pandemi Covid-19. Jadi maskapai butuh pendapatan yang lebih besar untuk menutupi biaya operasional,” ungkapnya.
Dia memaklumi apabila maskapai melakukan opsi pengurangan pegawai untuk mengurangi biaya. Namun, kata dia, sebaiknya langkah tersebut jangan dilakukan dengan melepas pegawai melalui PHK. “Dirumahkan saja terutama pegawai yang mempunyai spesifikasi sertifikasi tertentu. Karena pegawai tersebut sangat berharga, kalau nanti kondisi sudah normal maskapai butuh mereka,” ujar dia. (Lihat videonya: Dua Ormas Bentrok di Sukabumi, Lalu Lintas Terganggu)
Maskapai, kata Gatot, harus gencar meracik strategi lain dalam rangka meningkatkan pendapatan dengan cepat sehingga mampu menutupi biaya operasional. “Bahkan kalau perlu menaikkan tarif, sebab kenyataannya orang-orang yang terbang saat ini adalah orang-orang yang butuh terbang,” pungkasnya. (Andika H Mustaqim/Ichsan Amin/Rina Anggraeni)
Sejumlah maskapai penerbangan di dunia mulai mengubah haluan bisnis dengan mengembangkan inovasi model bisnis di tengah pandemi korona yang melumpuhkan perekonomian sebagian besar negara di dunia. Dengan memanfaatkan brand mewah dan bergengsi, sejumlah maskapai tetap eksis untuk menghidupi keuangan perusahaan. (Baca: Kehebatan Seseorang Bisa Diukur dari 3 Perkara Ini)
Maskapai penerbangan pun dipaksa berpikir out of the box. AirAsia misalnya. Mereka mengenalkan platform digital IKHLAS untuk wisatawan Muslim. Selain itu, maskapai yang berkantor pusat di Kuala Lumpur itu meluncurkan layanan akikah digital melalui sebuah platform yang memenuhi keperluan gaya hidup muslim di bawah naungan airasia.com di tengah terpuruknya bisnis penerbangan akibat pandemi Covid-19.
"Selaras dengan pengembangan bisnis digital Grup AirAsia, Ikhlas, hari ini melancarkan satu lagi layanan baru yaitu akikah," ujar Direktur Ikhlas, Ikhlas Kamarudin kepada media di Kuala Lumpur, beberapa waktu lalu.
Yang menarik adalah, bisnis akikah tersebut beroperasi lintas negara. Kamarudin mengungkapkan, layanan akikah mencakup lebih dari 35 negara di seluruh dunia termasuk Thailand, Kemboja, Vietnam, Laos, Myanmar, Filipina, Indonesia, Bangladesh, Sri Lanka, India, Palestina, Pakistan dan banyak lagi dengan tarif relatif terjangkau
Maskapai terkenal lainnya, Singapore Airlines, juga memutar otak merespons lesunya permintaan penerbangan di masa pandemi. Maskapai yang terkenal dengan layanan primanya itu memberikan kesempatan makan siang di pesawat Airbus A380 yang parkir di bandara utama Changi. (Baca juga: Banyak Kaum Santri Sudah Berperan di Kancah Internasional)
Ide tersebut ternyata disambut antuisias. Terbukti dari larisnya tiket makan bertarif USD496 dolar (Rp7,5 juta) untuk dua hari pertama yang terjual habis dalam waktu setengah jam.
"Yang dilakukan Singapore Airlines menjual makanan merupakan strategi marketing untuk tetap fokus menjaga pasar penumpang kelas premium," kata Faizal Yahya, peneliti senior Institute of Policy Studies, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, dilansir Channel News Asia.
Dengan tarif makan di pesawat dengan harga yang cukup fantastis, menurut Yahya, hal itu merupakan upaya Singapore Airlines untuk menjaga branding merek premium yang disandangnya.
Sama seperti Singapore Airlines, pandemi juga memaksa maskapai Thai Airways harus menyulap kantor pusatnya menjadi restoran sejak awal September lalu. Konsep restoran yang digunakan fokus pada pesawat. Restoran itu didekorasi dengan beberapa bagian dan kursi pesawat. Makanan yang dihadirkan juga seperti makanan selama penerbangan.
“Setiap hari, restoran bertema pesawat itu mampu menyediakan 2.000 makanan,” kata Direktur Manajer Katering Thai Airways, Varangkana Luerojvong, kepada Reuters. (Baca juga: Covid-19 Sebabkan Otak Menua 10 Tahun)
Dia mengungkapkan, lengkah tersebut bisa menjadi menambah pendapatan selama pandemi. Dinilai sukses, Thai Airways juga akan mengubah kantor lainnya untuk menjadi restoran.
Strategi unik lainnya juga dilakukan oleh maskapai EVA Air yang berkantor pusat di Taiwan. Maskapai itu mengenalkan program penerbangan tanpa tujuan.
EVA melayani penerbangan pada Hari Ayah khusus memutari Pulau Taiwan. Beberapa maskapai lain seperti Qantas, Tigerair, ANA, HK Express juga menawarkan layanan yang sama. Mereka sengaja menjual tiket penerbangan dengan rute hanya berkeliling di udara sejumlah negara, untuk kemudian kembali ke tempat asalnya.
“Saya merasa saya tidak pernah pergi dengan pesawat sejak lama. Saya pikir ini merupakan kesempatan spesial,” kata Chen Shu-tzu, 43, penumpang Tigerair yang ikut terbang di udara Pulau Jeju.
Apa yang dilakukan maskapai-maskapai tersebut tentu bukan tanpa asalan. Mereka mencari cara agar tetap bertahan dari krisis sekaligus menjaga agar penyebaran Covid-19 bisa tetap terkendali. "Kita menjamin penumpang tetap aman dan sehat," demikian keterangan HK Express dilansir South China Morning Post. (Baca juga: Dengan Kondisi Sekarang, Habib Rizieq Sebaiknya Jangan Pulang Dahulu)
Nasib Maskapai Domestik
Sebelumnya, pendapatan maskapai penerbangan dunia diperkirakan anjlok sebesar USD314 miliar pada 2020. Hal itu disebabkan lockdown dan larangan bepergian setelah mewabahnya virus korona di seluruh dunia sejak awal tahun ini.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) telah memperingatkan bahwa ratusan ribu pekerjaan penerbangan dapat berisiko akibat pandemi Covid-19. Asosiasi, yang mewakili 290 maskapai, mengatakan mereka memperkirakan lalu lintas tahun ini menjadi 66% di bawah level penerbangan pada 2019. Selanjutnya, Asosiasi Maskapai Asia Pasifik juga menyatakan pembatasan dan kontrol perbatasan saat pandemi menyebabkan perjalanan internasional turun mencapai 97,5%.
Di dalam negeri, nasib perusahaan-perusahaan penerbangan di masa pandemi juga tidak jauh berbeda. Masih terbatasnya jumlah penerbangan di rute domestik maupun internasional membuat maskapai nasional harus melakukan efisiensi besar-besaran. (Baca juga: LIstrik Mati, Konsumen Bisa Ajukan Kompensasi ke PLN)
Yang teranyar adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) 700 pekerja kontrak Garuda Indonesia mulai 1 November kemarin. Sebelumnya, ratusan karyawan tersebut sejak Mei 2020 lalu telah menjalani kebijakan unpaid leave karena imbas turunnya permintan layanan penerbangan pada masa pandemi.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengakui, kebijakan tersebut merupakan keputusan sulit yang terpaksa diambil setelah melakukan berbagai upaya penyelamatan untuk memastikan keberlangsungan perusahaan di tengah tantangan dampak pandemi Covid-19.
"Sejak awal, kepentingan karyawan merupakan prioritas utama yang selalu kami kedepankan. Ketika maskapai lain mulai mengimplementasikan kebijakan pengurangan karyawan, kami terus berupaya mengoptimalkan langkah strategis guna memastikan perbaikan kinerja dan masa depan bisnis," kata Irfan di Jakarta, Selasa (27/10).
Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja mengatakan, operator penerbangan di Indonesia masih perlu mewaspadai krisis akibat pandemi Covid-19. Caranya, dengan realistis melihat kondisi saat ini.
“Saya ingin menekankan bahwa maskapai harus realistis saat ini di tengah Pandemi Covid-19. Kita tidak bisa memungkiri industri penerbangan khususnya maskapai paling berdampak akibat Covid-19. Maskapai global pun kondisinya sama dan ini merata,” ungkapnya dihubungi SINDO Media di Jakarta. (Baca juga: Korban Tewas Gempa Turki Tembus 40 Jiwa)
Namun, kata dia, apabila dibandingkan maskapai global lainnya, maskapai di Indonesia masih punya peluang bertahan. Dia beralasan, Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan kesempatan yang harus dimanfaatkan.
“Sampai akhir tahun saya kira akan ada lonjakan, namun tentu tidak sebesar tahun lalu, dan tentu ini harus direspons dengan cermat oleh setiap maskapai. Yang penting lonjakan sekecil apapun dibanding bulan-bulan sebelumnya adalah momentum bertahan di tengah kondisi pandemi Covid-19,” pungkasnya.
Sementara itu, pengamat penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan bahwa sejak awal pandemi Covid-19 diprediksi industri yang paling berdampak terkena imbas adalah operator penerbangan. Fakta bahwa Garuda Indonesia yang memutus kontrak 700 pegawai dan sejumlah maskapai lain seperti AirAsia Indonesia menandakan bahwa kondisi keuangan maskapai sedang tidak baik.
“Aliran kas memang sudah bergerak karena operasional penerbangan sudah mulai terjadi tapi sepertinya masih negatif karena tingkat keterisian masih di bawah 50%. Operasional penerbangan juga berkurang jauh dibanding sebelum adanya pandemi Covid-19. Jadi maskapai butuh pendapatan yang lebih besar untuk menutupi biaya operasional,” ungkapnya.
Dia memaklumi apabila maskapai melakukan opsi pengurangan pegawai untuk mengurangi biaya. Namun, kata dia, sebaiknya langkah tersebut jangan dilakukan dengan melepas pegawai melalui PHK. “Dirumahkan saja terutama pegawai yang mempunyai spesifikasi sertifikasi tertentu. Karena pegawai tersebut sangat berharga, kalau nanti kondisi sudah normal maskapai butuh mereka,” ujar dia. (Lihat videonya: Dua Ormas Bentrok di Sukabumi, Lalu Lintas Terganggu)
Maskapai, kata Gatot, harus gencar meracik strategi lain dalam rangka meningkatkan pendapatan dengan cepat sehingga mampu menutupi biaya operasional. “Bahkan kalau perlu menaikkan tarif, sebab kenyataannya orang-orang yang terbang saat ini adalah orang-orang yang butuh terbang,” pungkasnya. (Andika H Mustaqim/Ichsan Amin/Rina Anggraeni)
(ysw)