Menurut dia, ini membutuhkan investasi sekitar USD5-6 miliar per tahun. "Artinya, kalau 15 GW yang diperlukan maka setiap tahun membutuhkan tambahan 2-3 GW kapasitas pembangkit baru," ujarnya dalam jumpa pers virtual IETD 2020, Senin (30/11/2020).
Menurut dia, meski wacana transisi energi juga semakin populer dalam dua tahun terakhir, namun wacana ini belum berubah menjadi urgensi dan prioritas dalam strategi dan rencana pembangunan energi di Tanah Air.
(Baca juga: Cek, Inilah 15 Proyek Strategis Nasional Sektor Energi yang Diteken Jokowi )
Baca Juga:
Berdasarkan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) yang dikeluarkan IESR tahun lalu, kapasitas terpasang energi terbarukan hingga akhir tahun 2019 hanya mencapai sedikit di atas 10 GW dengan bauran energi terbarukan di pembangkitan listrik berkisar di angka 12,2%.
Rata-rata penambahan kapasitas energi terbarukan hanya 400 MW per tahun, hanya seperdelapan dari yang seharusnya dibangun untuk mencapai target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
(Baca juga: Pak Luhut! Ekspor Benih Lobster Sebaiknya Distop )
Investasi energi terbarukan mengalami stagnansi dan semua target energi terbarukan, baik dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ataupun RUEN untuk tahun 2019, juga tidak tercapai.
"Kalau ingin mencapai status dekarbonisasi atau alignment dengan Paris Agreement yang sudah diratifikasi, maka sebenarnya pada 2050 kita perlu tingkatkan pembangunan energi terbarukan hingga mencapai 70%," paparnya.
(ind)