Cetak Uang Berlebih, Berpotensi Langgar UU

Kamis, 14 Mei 2020 - 15:34 WIB
loading...
Cetak Uang Berlebih, Berpotensi Langgar UU
Pro Kontra Usulan Cetak Uang
A A A
JAKARTA - Di tengah lesunya kondisi ekonomi Indonesia, ada usulan dari Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Banggar DPR RI) agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang lebih. Usulan Banggar ini tidak main-main, BI diminta untuk cetak uang baru senilai Rp 600 triliun.

Pro kontra pun langsung merebak. Pemerintah melalui Menetri Keuangan menolak usul tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, mencetak uang memang bisa saja dilakukan oleh pemerintah. Namun jika tidak dihitung secara cermat bakal ada ancaman inflasi mengintai. Perlu dipikirkan pula supply and demand di pasar. cetak uang yang berlebihan malah akan memicu hiper inflasi, yang apada akhirnya bisa menambah warga miskin.

Sebenarnya ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh jika pemerintah bisa cetak uang banyak di saat kondisi ekonomi seperi saat ini.

Diantaranya, Pemerintah akan punya banyak amunisi untuk menjalankan bebagai program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Uang tersebut juga bisa digunakan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin.

Pemerintah pun tidak tergantung utang dari luar negeri. Di saat seperti ini hampir semua negara kondisi ekonoimnya tengah terpuruk. Jika pemerintah menerbitkan surat utang belum tentu di respon dengan baik.
Lagi pula dalam menerbitkan global bond pemerntah punya kewajiban untuk membayar bunganya. Sementara jika cetak uang sendiri, tidak ada kewajiban dari pemerintah untuk membayar bunga.

Soal inflasi yang diprediski bisa meroket hingga ratusan persen, menurut Ketua Banggar DPR RI dari Fraksi PDIP Said Abdullah, tidak perlu dikhawatirkan. “Inflasi masih bisa dikendalikan,”ujarnya. Menurut perhitungan Said, paling banter cetak uang sebesar Rp 600 triliun hanya akan menyababkan inflasi 5% hingga 6% saja. tidak sampai naik 60%-70% apalagi ratusan persen.

Saat ini isu cetak uang tidak hanya bertiup di Indonesia. Sejumah bank sentral di negara lain memang tengah membahas opsi ini. Kebijakan mencetak uang oleh bank sentral tersebut disebut dengan Modern Monetary Theory (MMT) yang saat ini pembahasannya tengah menghangat di dunia akibat pandemi Covid-19.

Selain memiliki keuntungan, cetak uang berlebih ternyata juga memiliki kekurangan. Seperti yang disampaikan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo. Kebijakan mencetak uang kemudian disalurkan kepada masyarakat tidak sesuai dengan kebijakan moneter di dalam negeri.

Menurutnya mekanisme peredaran uang diperhitungkan dengan matang karena ada undang-undang yang mengatur perencanaan percetakan dan pemusnahan uang. Mencetak uang, harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. "Itu bisa diukur berapa pertumbuhan ekonomi dan inflasi PDB,"katanya.

Artinya cetak uang berlebih berpotensi melanggar UU. Oleh karena itu, BI pun menegaskan pihaknya tidak akan mencetak uang sesuai dengan desakan dari sejumlah pihak.

Ekonom dari Indef Eko Listiyanto menyetujui keputusan Gubernur BI, yang menolak usul Banggar DPR RI untuk mencetak uang demi menambal defisit akibat wabah covid -19.Menurut Eko, cetak uang dalam jumlah besar dan melebihi kebutuhan berpotensi membuat inflasi meroket.

Ia pun mengingatkan sejarah mencatat Indonesia pernah mengalami hiperinflasi hingga 600 persen pada era Orde Lama karena kebijakan cetak uang. Dia menuturkan injeksi likuiditas atau quantitative easing (QE) yang dilakukan BI tidak perlu dengan mencetak uang baru.

Pencetakan uang baru, lanjutnya, akan menyebabkan pemerintah tidak dapat menjaga lonjakan inflasi. Pasalnya, pemerintah akan kesulitan untuk menyerap kelebihan likuiditas di lapangan ketika ekonomi pulih kembali kala wabah Covid-19 terhenti.

Ekonom Indef lainnya Bhima Yudhistira menambahkan, Pemerintah Indonesia tidak bisa disamakan dengan Pemerintahan Amerika. Jika Amerika cetak dolar, uang hijau ini dipercaya untuk pembayaran ekspor dan impor. Bila Indonesia cetak uang berlebih, Rupiah tidak sekuat US$.

Usulan cetak uang Rp 600 triliun ini sama saja dengan upaya bunuh diri. “Siapa yang mau menyerap rupiah sebanyak itu?" tegas Bhima.

Pengamat Ekonomi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Setia Mulyawan punya pandangan sendiri soal usulan cetak uang ini. Menurutnya Cetak uang sebesar Rp.600 triliun yang akan digunakan untuk menutup kebutuhan anggaran penanganan pandemi Covid-19 harus disikapi dengan hati-hati.

Uang bukan instrumen yang berdiri sendiri. Uang memiliki fungsi sebagai alat tukar atas barang dan jasa. Apabila, jumlah uang beredar diperbanyak dengan cara mencetak uang tanpa mempertimbangkan produktivitas masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa, maka nilai uang akan turun drastis.

(eko)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1603 seconds (0.1#10.140)