Ahli Epidemiologi: Seharusnya Vaksin AstraZeneca Diuji Coba Dulu di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, mengatakan terdapat sejumlah kandidat vaksin Covid-19 yang rencananya akan dipergunakan di Indonesia. Namun vaksin-vaksin tersebut belum tentu aman untuk masyarakat. ( Ahli Buka-Bukaan Soal Kabar Suntik Chip Lewat Vaksin COVID-19 )
Sejauh ini ada tiga varian vaksin Covid-19 yang akan dipergunakan di Indonesia, selain dari Sinovac. Ketiga vaksin tersebut antara lain Pfizer, AstraZeneca, dan Novavax. Pfizer dan AstraZeneca memiliki klaim efikasi atau keampuhan yang tinggi, yakni lebih dari 70% untuk Astrazeneca, dan 90% untuk Pfizer. Sementara itu Novavax, belum mengklaim efikasi.
Meski klaim efikasi ketiga vaksin tergolong tinggi, belum tentu semua jenis vaksin itu aman dan ampuh untuk melawan virus corona yang berkembang di masyarakat Indonesia. Pasalnya, belum ada data uji klinis yang mengikutsertakan masyarakat Indonesia.
"Seharusnya vaksin tersebut diuji coba dulu di Indonesia, baru bisa dikatakan aman. Kalau hanya menggunakan referensi (data pasca vaksinasi) dari negara lain, saya no comment," kata Masdalina dalam keterangan resminya, Sabtu (2/2/2020).
Perlu diketahui, jika pengembang vaksin Covid-19 asal Inggris, AstraZeneca, telah mengumumkan berdasarkan data awal dari uji coba fase III, bahwa kandidat vaksinnya memiliki tingkat efektivitas rata-rata sebesar 70%.
Namun, sejumlah pakar mempertanyakan sejumlah aspek dari data yang telah dipublikasikan AstraZeneca, terutama berkaitan dengan perbedaan dosis dan jumlah relawan uji coba. Merunut kejadian ini, Masdalina juga menyinggung soal Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang mungkin terjadi di Indonesia setelah melakukan vaksinasi Covid-19.
Sementara itu, ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menjelaskan, vaksin Covid-19 semestinya tetap ampuh mendeteksi virus corona dalam tubuh, meski telah bermutasi. Namun hal tersebut tetap harus dibuktikan melalui kajian ilmiah.
"Secara teoritis harusnya bisa mendeteksi karena vaksin menargetkan keseluruhan bodi dari protein spike virus. Walaupun ada sebagian bodi bermutasi, antibodi yang muncul karena vaksin masih bisa mengenali bagian dari bodi spike yang lain. We will see, seperti apa ke depan," terang Ahmad. ( Baca juga:Komitmen Terapkan Anti Korupsi, SIG Raih Sertifikasi ISO 37001:2016 )
Seperti yang sudah diberitakan, Pemerintah Indonesia melalui PT Bio Farma telah menandatangani kerja sama pembelian 50 juta dosis vaksin Covid-19 dari AstraZeneca. Hal ini disebut memberi variasi yang cukup dalam hal vaksin untuk rakyat.
Sejauh ini ada tiga varian vaksin Covid-19 yang akan dipergunakan di Indonesia, selain dari Sinovac. Ketiga vaksin tersebut antara lain Pfizer, AstraZeneca, dan Novavax. Pfizer dan AstraZeneca memiliki klaim efikasi atau keampuhan yang tinggi, yakni lebih dari 70% untuk Astrazeneca, dan 90% untuk Pfizer. Sementara itu Novavax, belum mengklaim efikasi.
Meski klaim efikasi ketiga vaksin tergolong tinggi, belum tentu semua jenis vaksin itu aman dan ampuh untuk melawan virus corona yang berkembang di masyarakat Indonesia. Pasalnya, belum ada data uji klinis yang mengikutsertakan masyarakat Indonesia.
"Seharusnya vaksin tersebut diuji coba dulu di Indonesia, baru bisa dikatakan aman. Kalau hanya menggunakan referensi (data pasca vaksinasi) dari negara lain, saya no comment," kata Masdalina dalam keterangan resminya, Sabtu (2/2/2020).
Perlu diketahui, jika pengembang vaksin Covid-19 asal Inggris, AstraZeneca, telah mengumumkan berdasarkan data awal dari uji coba fase III, bahwa kandidat vaksinnya memiliki tingkat efektivitas rata-rata sebesar 70%.
Namun, sejumlah pakar mempertanyakan sejumlah aspek dari data yang telah dipublikasikan AstraZeneca, terutama berkaitan dengan perbedaan dosis dan jumlah relawan uji coba. Merunut kejadian ini, Masdalina juga menyinggung soal Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang mungkin terjadi di Indonesia setelah melakukan vaksinasi Covid-19.
Sementara itu, ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menjelaskan, vaksin Covid-19 semestinya tetap ampuh mendeteksi virus corona dalam tubuh, meski telah bermutasi. Namun hal tersebut tetap harus dibuktikan melalui kajian ilmiah.
"Secara teoritis harusnya bisa mendeteksi karena vaksin menargetkan keseluruhan bodi dari protein spike virus. Walaupun ada sebagian bodi bermutasi, antibodi yang muncul karena vaksin masih bisa mengenali bagian dari bodi spike yang lain. We will see, seperti apa ke depan," terang Ahmad. ( Baca juga:Komitmen Terapkan Anti Korupsi, SIG Raih Sertifikasi ISO 37001:2016 )
Seperti yang sudah diberitakan, Pemerintah Indonesia melalui PT Bio Farma telah menandatangani kerja sama pembelian 50 juta dosis vaksin Covid-19 dari AstraZeneca. Hal ini disebut memberi variasi yang cukup dalam hal vaksin untuk rakyat.
(uka)