Era Baru Bisnis: Kolaborasi
loading...
A
A
A
PANDEMI Covid-19 memaksa para pengusaha beradaptasi dengan model bisnis baru. Kolaborasi dan pemanfaatan information and communication technology (ICT) pun tak terelakkan lagi.
Perekonomian dunia dan tentu saja, Indonesia, mendadak lesu akibat penyebaran virus Sars Cov-II. Ini berimplikasi pada kelangsungan perusahaan-perusahaan baik besar maupun kecil. Ada yang bisa bertahan, ada pula yang gulur tikar. Beragam cara dilakukan untuk bisa tetap menjalankan bisnis, antara lain, pengurangan karyawan dan biaya operasional.
Pandemi ini tidak memukul semua sektor bisnis. Ada usaha malah yang tumbuh, seperti jasa pada sektor ICT, pertanian, kesehatan, dan tentu saja, kebutuhan pokok. Peneliti bidang Ekonomi The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) M Rifki Fadilah mengatakan, pandemi ini mengubah cara bisnis perusahaan yang tadinya bersaing menjadi berkolaborasi.
“Mereka saling melengkapi, kolaborasi. Ditambah lagi, saat ini masuk dalam global value chain. Satu negara itu tidak bisa memproduksi barang sendiri, membutuhkan dari negara lain. Saling bekerja sama dalam memenuhi komponen-komponen. Misalnya, mau buat handphone, komponen-komponen tidak hanya dari satu negara,” ujarnya, Kamis (04/02/2021).
Pengamat bisnis Universitas Indonesia Fithra Faisal mengungkapkan, usaha di sektor pertanian tetap tumbuh karena masa panen. Kemudian, pandemi ini menyadarkan orang-orang tentang pentingnya kesehatan. Maka, perusahaan-perusahaan farmasi dan penyedia alat-alat kesehatan menangguk untung.
“Pelaku usaha ICT itu mengalami kenaikan (keuntungan) ratusan persen. Oleh karena itu, yang ingin survive dan mendapatkan keuntungan harus bisa terhubung dengan platform digital. Trennya ke arah itu. Kita lihat bagaimana transaksi e-commerce dan fintek yang meningkat signifikan. Pariwisata agak sulit meskipun dihubungkan dengan online. Mereka itu menjual pengalaman,” tuturnya.
Laporan e-Conomy SEA yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan ekonomi digital Indonesia pada 2020 mencapai USD44 miliar. Pada 2025, jumlah transaksi di ranah digital diprediksi mencapai USD124 miliar. Ranah digital menjadi arena baru meraup cuan.
Fithra menjelaskan, ICT itu hanya hub-nya saja dalam sebuah rantai usaha. Perusahaan-perusahaan yang sudah ada dan berada di sektor lain bisa meningkatkan pendapatan. Asal menggunakan ICT juga karena pandemi membuat kegiatan orang-orang dibatasi. Banyak orang melakukan berbagai aktivitasnya dari rumah dan secara daring, mulai dari bekerja, belajar, hingga belanja kebutuhan hidupnya.
Pakar manajemen Wahyu Setyobudi mengatakan, pandemi ini menyebabkan penurunan permintaan pasar. Semua perusahaan terdampak. Selain penyusutan permintaan, perekonomian dunia dalam situasi tidak pasti. Dia menyebut pandemi ini akan menghadirkan empat gelombang terhadap perusahaan-perusahaan.
Pertama, gelombang pertama pada periode Maret-Mei 2020 itu menghajar perusahaan-perusahaan yang kondisi keuangan sudah buruk sebelum pandemi. Itu yang teriak-teriak kekuatan finansialnya hanya sampai Juli 2020. Pandemi ini hadir mendadak, tak satu pun perusahaan yang melakukan persiapan.
“Yang rasio utangnya tinggi, itu akan berjibaku membayar itu dulu. Sekarang demand dan pendapatan drop, enggak mungkin bertahan. Yang lain bisa menyesuaikan diri, agak sehat mulai melakukan efisiensi, seperti pengurangan karyawan dan perumahan,” terangnya.
Mereka yang bisa efisiensi ini masuk ke gelombang dua. Namun, fundamentalnya keropos. Keuangannya terlihat bagus. Perusahaan-perusahaan ini biasanya memiliki beban biaya pada operasional yang besar. Pada saat permintaan besar, semua biaya yang inefisiensi itu bisa tertutup. Ketika pendapatan turun, pengeluaran yang selama ini tidak perlu menjadi masalah.
Pada gelombang tiga yang terjadi pada Agustus-September, menurutnya, perusahaan-perusahaan itu sudah bisa beradaptasi dengan pandemi. Namun, perusahaan-perusahaan memiliki kekakuan dengan masih mengandalkan model bisnis lama. Padahal, perusahaan lain mengalihkan bisnisnya atau melihat peluang yang bisa digarap di tengah pandemi.
Contohnya, PT Sritex itu membuat alat pelindung diri. Itu bagian dari beradaptasi dengan lingkungan baru. Perusahaan yang masih menggunakan model bisnis lama ini akan tamat pada gelombang ketiga ini. Dia menerangkan gelombang pada ini fase adaptasi, tapi waktunya masih lama sekitar 1-2 tahun ke depan.
Para pelaku usaha itu mulai mengambil langkah bekerja sama dengan pesaing. Lanskap dan pola bisnisnya memakai cara baru. Sebelum pandemi sudah ada yang mempraktikkan, yakni Blue Bird dengan perusahaan transportasi daring. Awalnya, mereka bersaing keras. Kini bekerja sama. “Akhirnya, dua-duanya hidup dan dua-duanya gede,” ucapnya.
Wahyu menjelaskan, pelaku usaha yang masih memikirkan diri sendiri dan kompetisi tidak akan survive pada gelombang terakhir ini. Mindset lama itu yang di dalam industri pesaing dan di luar itu memberikan tekanan. Kadang-kadang muncul usaha bagaimana mengalahkan pesaing Kalau perlu mematikan pesaing.
“Era baru ini sifatnya lebih kolaboratif. Contohnya, makan roti sendiri itu (bisanya) kecil. Kalau bersama temannya bisa makin gede. Jadi dapat lebih besar (juga). Kalau enggak mau kerja sama, malah enggak dapat roti. Sekarang harus kolaborasi untuk jadi konsorsium gede. Kalau enggak akan ketinggalan,” paparnya.
Wahyu menyatakan pandemi ini justru bisa jadi kesempatan Indonesia untuk bersaing negara lain. Menurut World Economic Forum, pandemi adalah the great reset. Ibarat balapan Formula I ketika ada kecelakaan, semua akan memulai balapan dari jarak yang berdekatan. Tidak berjauhan seperti sebelumnya.
“Indonesia masih menarik? Tentu saja karena Indonesia punya sumber daya alam yang tinggi. Itu tidak bisa dinafikan apalagi kita fokus di nikel untuk baterai listrik. Dunia sedang tertuju pada Indonesia. Sumber daya manusia (SDM) kita memang tidak merata, tapi ada yang bagus. Ada yang kurang banget. Jadi, human capital yang bagus banyak karena jumlah SDM-nya banyak,” katanya.
Senada itu dengan itu, Fithra menyatakan Indonesia harus memanfaatkan China Factor dan Relocation Factor. Dia menerangkan, ekonomi China sudah tumbuh, tetapi membutuhkan barang-barang dari ASEAN. China banyak mengimpor bahan baku dari ASEAN. Ini memang tren jangka pendek. Peluang lain datang dari Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang mulai mengalihkan basis produksinya dari China.
“Ditandai impor dari negara ASEAN cukup signifikan. Mereka tidak tergantung dari China. Ini bisa dimanfaatkan setidaknya untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, apabila bisa menangkap momentumnya,” pungkasnya. (F W Bahtiar)
Lihat Juga: Temui Bos Perusahaan Raksasa di AS, Presiden Prabowo: Mereka Percaya dengan Ekonomi Indonesia
Perekonomian dunia dan tentu saja, Indonesia, mendadak lesu akibat penyebaran virus Sars Cov-II. Ini berimplikasi pada kelangsungan perusahaan-perusahaan baik besar maupun kecil. Ada yang bisa bertahan, ada pula yang gulur tikar. Beragam cara dilakukan untuk bisa tetap menjalankan bisnis, antara lain, pengurangan karyawan dan biaya operasional.
Pandemi ini tidak memukul semua sektor bisnis. Ada usaha malah yang tumbuh, seperti jasa pada sektor ICT, pertanian, kesehatan, dan tentu saja, kebutuhan pokok. Peneliti bidang Ekonomi The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) M Rifki Fadilah mengatakan, pandemi ini mengubah cara bisnis perusahaan yang tadinya bersaing menjadi berkolaborasi.
“Mereka saling melengkapi, kolaborasi. Ditambah lagi, saat ini masuk dalam global value chain. Satu negara itu tidak bisa memproduksi barang sendiri, membutuhkan dari negara lain. Saling bekerja sama dalam memenuhi komponen-komponen. Misalnya, mau buat handphone, komponen-komponen tidak hanya dari satu negara,” ujarnya, Kamis (04/02/2021).
Pengamat bisnis Universitas Indonesia Fithra Faisal mengungkapkan, usaha di sektor pertanian tetap tumbuh karena masa panen. Kemudian, pandemi ini menyadarkan orang-orang tentang pentingnya kesehatan. Maka, perusahaan-perusahaan farmasi dan penyedia alat-alat kesehatan menangguk untung.
“Pelaku usaha ICT itu mengalami kenaikan (keuntungan) ratusan persen. Oleh karena itu, yang ingin survive dan mendapatkan keuntungan harus bisa terhubung dengan platform digital. Trennya ke arah itu. Kita lihat bagaimana transaksi e-commerce dan fintek yang meningkat signifikan. Pariwisata agak sulit meskipun dihubungkan dengan online. Mereka itu menjual pengalaman,” tuturnya.
Laporan e-Conomy SEA yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan ekonomi digital Indonesia pada 2020 mencapai USD44 miliar. Pada 2025, jumlah transaksi di ranah digital diprediksi mencapai USD124 miliar. Ranah digital menjadi arena baru meraup cuan.
Fithra menjelaskan, ICT itu hanya hub-nya saja dalam sebuah rantai usaha. Perusahaan-perusahaan yang sudah ada dan berada di sektor lain bisa meningkatkan pendapatan. Asal menggunakan ICT juga karena pandemi membuat kegiatan orang-orang dibatasi. Banyak orang melakukan berbagai aktivitasnya dari rumah dan secara daring, mulai dari bekerja, belajar, hingga belanja kebutuhan hidupnya.
Baca Juga
Pakar manajemen Wahyu Setyobudi mengatakan, pandemi ini menyebabkan penurunan permintaan pasar. Semua perusahaan terdampak. Selain penyusutan permintaan, perekonomian dunia dalam situasi tidak pasti. Dia menyebut pandemi ini akan menghadirkan empat gelombang terhadap perusahaan-perusahaan.
Pertama, gelombang pertama pada periode Maret-Mei 2020 itu menghajar perusahaan-perusahaan yang kondisi keuangan sudah buruk sebelum pandemi. Itu yang teriak-teriak kekuatan finansialnya hanya sampai Juli 2020. Pandemi ini hadir mendadak, tak satu pun perusahaan yang melakukan persiapan.
“Yang rasio utangnya tinggi, itu akan berjibaku membayar itu dulu. Sekarang demand dan pendapatan drop, enggak mungkin bertahan. Yang lain bisa menyesuaikan diri, agak sehat mulai melakukan efisiensi, seperti pengurangan karyawan dan perumahan,” terangnya.
Mereka yang bisa efisiensi ini masuk ke gelombang dua. Namun, fundamentalnya keropos. Keuangannya terlihat bagus. Perusahaan-perusahaan ini biasanya memiliki beban biaya pada operasional yang besar. Pada saat permintaan besar, semua biaya yang inefisiensi itu bisa tertutup. Ketika pendapatan turun, pengeluaran yang selama ini tidak perlu menjadi masalah.
Pada gelombang tiga yang terjadi pada Agustus-September, menurutnya, perusahaan-perusahaan itu sudah bisa beradaptasi dengan pandemi. Namun, perusahaan-perusahaan memiliki kekakuan dengan masih mengandalkan model bisnis lama. Padahal, perusahaan lain mengalihkan bisnisnya atau melihat peluang yang bisa digarap di tengah pandemi.
Contohnya, PT Sritex itu membuat alat pelindung diri. Itu bagian dari beradaptasi dengan lingkungan baru. Perusahaan yang masih menggunakan model bisnis lama ini akan tamat pada gelombang ketiga ini. Dia menerangkan gelombang pada ini fase adaptasi, tapi waktunya masih lama sekitar 1-2 tahun ke depan.
Para pelaku usaha itu mulai mengambil langkah bekerja sama dengan pesaing. Lanskap dan pola bisnisnya memakai cara baru. Sebelum pandemi sudah ada yang mempraktikkan, yakni Blue Bird dengan perusahaan transportasi daring. Awalnya, mereka bersaing keras. Kini bekerja sama. “Akhirnya, dua-duanya hidup dan dua-duanya gede,” ucapnya.
Wahyu menjelaskan, pelaku usaha yang masih memikirkan diri sendiri dan kompetisi tidak akan survive pada gelombang terakhir ini. Mindset lama itu yang di dalam industri pesaing dan di luar itu memberikan tekanan. Kadang-kadang muncul usaha bagaimana mengalahkan pesaing Kalau perlu mematikan pesaing.
“Era baru ini sifatnya lebih kolaboratif. Contohnya, makan roti sendiri itu (bisanya) kecil. Kalau bersama temannya bisa makin gede. Jadi dapat lebih besar (juga). Kalau enggak mau kerja sama, malah enggak dapat roti. Sekarang harus kolaborasi untuk jadi konsorsium gede. Kalau enggak akan ketinggalan,” paparnya.
Wahyu menyatakan pandemi ini justru bisa jadi kesempatan Indonesia untuk bersaing negara lain. Menurut World Economic Forum, pandemi adalah the great reset. Ibarat balapan Formula I ketika ada kecelakaan, semua akan memulai balapan dari jarak yang berdekatan. Tidak berjauhan seperti sebelumnya.
“Indonesia masih menarik? Tentu saja karena Indonesia punya sumber daya alam yang tinggi. Itu tidak bisa dinafikan apalagi kita fokus di nikel untuk baterai listrik. Dunia sedang tertuju pada Indonesia. Sumber daya manusia (SDM) kita memang tidak merata, tapi ada yang bagus. Ada yang kurang banget. Jadi, human capital yang bagus banyak karena jumlah SDM-nya banyak,” katanya.
Senada itu dengan itu, Fithra menyatakan Indonesia harus memanfaatkan China Factor dan Relocation Factor. Dia menerangkan, ekonomi China sudah tumbuh, tetapi membutuhkan barang-barang dari ASEAN. China banyak mengimpor bahan baku dari ASEAN. Ini memang tren jangka pendek. Peluang lain datang dari Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang mulai mengalihkan basis produksinya dari China.
“Ditandai impor dari negara ASEAN cukup signifikan. Mereka tidak tergantung dari China. Ini bisa dimanfaatkan setidaknya untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, apabila bisa menangkap momentumnya,” pungkasnya. (F W Bahtiar)
Lihat Juga: Temui Bos Perusahaan Raksasa di AS, Presiden Prabowo: Mereka Percaya dengan Ekonomi Indonesia
(wan)