Warteg Tergulung Pandemi

Kamis, 18 Februari 2021 - 05:47 WIB
loading...
A A A
Namun, Sobirin tak mau membuka berapa omzet sebelum dan selama pandemi ini. Dia hanya mengatakan pendapatannya jauh berkurang. Pernah selepas pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi, pendapatan dan biaya operasional tak sebanding. Benar-benar tekor.

Sebagai solusi untuk mengurangi pengeluaran, Soborin memutuskan mengurangi menu dan karyawan. Tapi beberapa komponen produksi seperti gas, minyak, dan bumbu, tak bisa dikurangi. “Kalau sekarang pemerintah melarang ada kerumunan. Enggak dilarang pun, di warteg enggak ada kerumunan. Harapannya, krisis ini cepat selesai. Imbasnya luar biasa, semua terdampak,” katanya.

Ketua Koordinator Komunitas Warung Tegal Nusantara (Korwantara) Mukroni berterus terang mengkhawatirkan kondisi pedagang warteg. Diungkapkannya, pada awal 2020 jumlah warteg yang tutup sekitar 25%. Jumlahnya dipastikan terus membengkak. Bahkan dia memperkirakan 50% atau setara dengan 20.000 warteg yang ada di Jabodetabek terpaksa menutup usahanya.

Mukroni menunjuk, salah satu faktor yang membuat warteg tutup adalah pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diberlakukan pada awal masa pandemi tahun 2020. Lalu, kata dia, kini berlanjut dengan istilah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang diterapkan pada awal Januari lalu.

Aturan ini membuat konsumen warteg menurun dan tidak bisa bebas untuk makan di tempat karena kapasitasnya dibatasi hanya boleh 25%. Inilah yang membuat pengunjung warteg sepi.

"Konsumen kita kebanyakan masyarakat menengah ke bawah, mereka saat makan di tempat juga tidak hanya makan tetapi juga ingin sambil beristirahat sambil minum kopi. Jadi tidak hanya sekadar makan, dan sebelum adanya pandemi ini warteg memang selalu diramaikan dengan itu," ungkapnya saat di hubungi Koran SINDO.



Tidak hanya karena pemberlakuan PPKM, faktor lain yang membuat pengusaha warteg terpaksa menutup usahanya karena banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan bisnis skala menengah hingga besar. Pengaruh PHK ini membuat jumlah pekerja yang datang ke tempat bekerjanya pun berkurang.

"Seperti saat ini, warteg saya yang berada di kawasan Cilandak sudah sepi. Biasanya dalam sehari saya bisa menghabiskan 1 karung beras atau sekitar 50 kilo, sekarang hanya setengahnya saja. Karyawan pun sudah semakin berkurang, yang tadinya bisa mempekerjakan 6 orang, saat ini hanya 3 orang saja," kata Mukroni

Kondisi demikian diperparah dengan menurunnya daya beli masyarakat menengah akibat pandemi ini. Masyarakat pun dinilai lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uangnya, termasuk untuk membeli makanan di luar.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3184 seconds (0.1#10.140)