Menteri ESDM: Kami Ditetapkan dengan Target yang Ambisius Menuju Energi Bersih
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan bahwa Indonesia telah memiliki beberapa kebijakan transisi energi yang melibatkan masyarakat, yang sudah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan yang pertama adalah reformasi subsidi energi, sekaligus menjaga keterjangkauan dan keamanan pasokan energi.
Hal tersebut disampaikan pada gelaran Global Commission on People-Centred Clean Energy Transitions, yang diselenggarakan oleh International Energy Agency (IEA), Senin (15/3). ( Baca juga:Dorong Investasi, Pemerintah Serap Masukan Kontraktor Migas )
"Indonesia telah bertransformasi dari rezim subsidi energi yang tidak efisien dan membebani menjadi kebijakan yang lebih efektif dan efisien dengan memanfaatkan lebih banyak sumber energi dalam negeri, terutama gas alam dan energi terbarukan untuk mengurangi masalah neraca perdagangan," ujarnya dikutip dalam siaran pers, Selasa (16/3/2021).
Di samping itu, pemerintah juga telah menjalankan program mandatori biodiesel 30% (B30). Program ini sangat penting untuk mengurangi impor bahan bakar fosil. Pemerintah tidak hanya memanfaatkan kelapa sawit sebagai sumber bahan bakar nabati sebagai alat untuk mengurangi emisi, tetapi juga mencari peluang untuk pembangunan ekonomi yang lebih besar.
"Transisi energi kami ditetapkan dengan target yang ambisius menuju energi bersih. Saat ini Indonesia tengah mengembangkan co-firing biomassa pada beberapa pembangkit listrik, dan berusaha untuk memperluas skala penggunaan teknologi ini. Kami juga mengevaluasi potensi kombinasi antara clean coal technology, co-firing biomassa, dan CCS/CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage)," jelas Arifin.
Saat ini Indonesia juga sangat ingin berpartisipasi dalam pengembangan kendaraan listrik dan industri energi lanjutan. Transisi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan membutuhkan banyak sumber daya mineral, sebagai sumber daya pada industri teknologi bersih dan terbarukan.
"Strategi kami juga berfokus untuk meningkatkan industri ekstraktif yang memiliki nilai tambah, termasuk industri mineral guna mendukung pengembangan industri dalam negeri, inovasi teknologi, dan penciptaan lapangan kerja," lanjutnya.
Pada kesempatan tersebut, Arifin mengatakan, agenda ini penting, tidak hanya untuk mempercepat pengurangan emisi, namun juga untuk melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam proses transisi energi.
Dia berharap komisi ini akan melibatkan negara-negara untuk melakukan kerja sama dan kemitraan konstruktif pada transisi energi. Indonesia pun terbuka untuk membangun kemitraan dalam pengembangan program industri ekstraktif hilir.
Komisi ini juga perlu melibatkan banyak partisipasi negara berkembang atau ekonomi berkembang. Hal tersebut akan menjadi masukan penting menuju COP26 Glasgow tahun ini. ( Baca juga:Sidang Perdana Dimulai, Polisi Bubarkan Kerumunan Simpatisan Habib Rizieq dan Wartawan )
Menurut dia, proses transisi energi memberlakukan standar yang lebih canggih pada lingkungan, sosial dan tata kelola. Oleh karena itu, negara berkembang akan menghadapi beberapa tantangan di sektor pendanaan.
"Tetapi bukan hanya dukungan keuangan, komisi ini juga akan membantu negara-negara dengan seperangkat rekomendasi kebijakan, studi dan penilaian manfaat sosio-ekonomi, politik-ekonomi dan teknologi dari transisi yang adil dalam konteks yang lebih luas," tandasnya.
Lihat Juga: Gotong Royong Bangun Jargas, Solusi Kurangi Beban Subsidi Energi lewat Optimalisasi Gas Domestik
Hal tersebut disampaikan pada gelaran Global Commission on People-Centred Clean Energy Transitions, yang diselenggarakan oleh International Energy Agency (IEA), Senin (15/3). ( Baca juga:Dorong Investasi, Pemerintah Serap Masukan Kontraktor Migas )
"Indonesia telah bertransformasi dari rezim subsidi energi yang tidak efisien dan membebani menjadi kebijakan yang lebih efektif dan efisien dengan memanfaatkan lebih banyak sumber energi dalam negeri, terutama gas alam dan energi terbarukan untuk mengurangi masalah neraca perdagangan," ujarnya dikutip dalam siaran pers, Selasa (16/3/2021).
Di samping itu, pemerintah juga telah menjalankan program mandatori biodiesel 30% (B30). Program ini sangat penting untuk mengurangi impor bahan bakar fosil. Pemerintah tidak hanya memanfaatkan kelapa sawit sebagai sumber bahan bakar nabati sebagai alat untuk mengurangi emisi, tetapi juga mencari peluang untuk pembangunan ekonomi yang lebih besar.
"Transisi energi kami ditetapkan dengan target yang ambisius menuju energi bersih. Saat ini Indonesia tengah mengembangkan co-firing biomassa pada beberapa pembangkit listrik, dan berusaha untuk memperluas skala penggunaan teknologi ini. Kami juga mengevaluasi potensi kombinasi antara clean coal technology, co-firing biomassa, dan CCS/CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage)," jelas Arifin.
Saat ini Indonesia juga sangat ingin berpartisipasi dalam pengembangan kendaraan listrik dan industri energi lanjutan. Transisi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan membutuhkan banyak sumber daya mineral, sebagai sumber daya pada industri teknologi bersih dan terbarukan.
"Strategi kami juga berfokus untuk meningkatkan industri ekstraktif yang memiliki nilai tambah, termasuk industri mineral guna mendukung pengembangan industri dalam negeri, inovasi teknologi, dan penciptaan lapangan kerja," lanjutnya.
Pada kesempatan tersebut, Arifin mengatakan, agenda ini penting, tidak hanya untuk mempercepat pengurangan emisi, namun juga untuk melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam proses transisi energi.
Dia berharap komisi ini akan melibatkan negara-negara untuk melakukan kerja sama dan kemitraan konstruktif pada transisi energi. Indonesia pun terbuka untuk membangun kemitraan dalam pengembangan program industri ekstraktif hilir.
Komisi ini juga perlu melibatkan banyak partisipasi negara berkembang atau ekonomi berkembang. Hal tersebut akan menjadi masukan penting menuju COP26 Glasgow tahun ini. ( Baca juga:Sidang Perdana Dimulai, Polisi Bubarkan Kerumunan Simpatisan Habib Rizieq dan Wartawan )
Menurut dia, proses transisi energi memberlakukan standar yang lebih canggih pada lingkungan, sosial dan tata kelola. Oleh karena itu, negara berkembang akan menghadapi beberapa tantangan di sektor pendanaan.
"Tetapi bukan hanya dukungan keuangan, komisi ini juga akan membantu negara-negara dengan seperangkat rekomendasi kebijakan, studi dan penilaian manfaat sosio-ekonomi, politik-ekonomi dan teknologi dari transisi yang adil dalam konteks yang lebih luas," tandasnya.
Lihat Juga: Gotong Royong Bangun Jargas, Solusi Kurangi Beban Subsidi Energi lewat Optimalisasi Gas Domestik
(uka)