Kisah Pemuda Raup Omzet Ratusan Juta dari Bisnis Biodiesel
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Gorengan merupakan makanan favorit hampir seluruh masyarakat Indonesia. Namun persoalannya, minyak goreng yang digunakan di pedagang kaki lima sering kali sudah melalui pemanasan berulang, sehingga membahayakan kesehatan.
Di sisi lain, minyak goreng bekas pakai atau minyak jelantah punya nilai ekonomi yang tinggi, jika dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar biodiesel. Yang lebih menggiurkan, omzet usaha dari minyak jelantah ini bisa mencapai ratusan juta rupiah, tetapi belum banyak orang yang memanfaatkan limbah dapur ini untuk industri biodiesel.
Andi Hilmi adalah salah satu pengusaha muda yang mampu melihat peluang tersebut, bahkan sejak ia masih sekolah di jenjang SMA. Milenial asal Makassar ini telah mempunyai usaha biodiesel berskala industri bernama GenOil sebelum berusia 21 tahun. "Ketika itu kami mengembangkan puluhan diversifikasi energi. Namun, yang paling ideal adalah biodiesel," ujar Andi.
Andi terpikir untuk membuat biodiesel dari minyak jelantah karena melihat ketika itu terjadi kelangkaan BBM yang hampir merata di Indonesia. Tak jauh dari kotanya, banyak nelayan tak bisa melaut, karena tak kebagian bahan bakar.
"Saya berusaha mencari pengganti energi terbarukan agar bisa digunakan oleh para nelayan. Prinsip saya, karya yang kita buat harus sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Ketika itu, biodiesel bisa menjawab masalah kelangkaan bahan bakar yang mengancam kedaulatan energi di masa mendatang," kata Andi, yang dalam satu bulan bisa meraih omzet sekitar Rp200 juta.
Untuk menjalin jejaring, Andi pernah bergabung dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dimana tujuan Andil untuk mencari teman-teman yang memiliki visi serupa.
"Saya bercerita tentang impian saya merintis bisnis biodiesel ini, berharap ada yang mau membangun bersama-sama. Hingga akhirnya saya menemukan teman yang percaya kepada saya,” kata Andi, yang pernah memenangkan kompetisi Ideas for Indonesia dan diberangkatkan ke Inggris untuk belajar di berbagai forum.
Pada forum-forum tersebut, Andi mendapatkan banyak teman dari luar negeri. Andi mendapatkan banyak insight dari pengalaman teman-teman barunya. Tak sedikit pula teman dari negara asing itu yang kemudian menawarkan berbagai bentuk kerja sama.
Suatu kali ia kesulitan mendapat jelantah, karena adanya mafia yang mengumpulkan jelantah untuk dipakai ulang. Ia lalu mempelajari model bank sampah.
“Berbekal berbagai analisis, kami membuat bank minyak jelantah RT/RW, yang efektif sampai hari ini. Kami memberi fasilitas, seperti check point dan jerigen, untuk kemudahan masyarakat. Dengan sistem ini, kami mengintegrasi satu kota” ucapnya.
Namun, untuk membuat bank minyak jelantah yang ideal, diperlukan biaya tidak sedikit dan Andi mengajak perusahaan besar untuk bekerja sama membuat bank minyak jelantah. Banyak perusahaan besar berskala nasional dan multinasional yang tertarik, karena mereka bisa menerapkan CSR, sekaligus mendapat ruang untuk branding.
Dia juga membuat bank sampah di sekitar 20 sekolah, menyasar 500 siswa yang berarti membidik 500 rumah tangga. Setiap tiga hari mereka mengumpulkan segelas jelantah dalam wadah yang bisa dipakai ulang. "Tabungan jelantah siswa itu hanya bisa dicairkan dalam bentuk program ekstrakurikuler berbasis lingkungan,” tuturnya.
Edukasi soal bahaya minyak goreng daur ulang dilakukan oleh Andi dan timnya. Menurut timnya, ketika memasak, sebetulnya hanya 30 persen minyak goreng yang terserap, sisanya menjadi limbah. Oleh karena itu, pihaknya mengajak masyarakat menabung minyak jelantah yang nantinya tabungan minyak jelantah ini ditukar dengan minyak goreng baru. “Dengan begitu, mereka terbiasa mengonsumsi minyak goreng yang sehat. Di sisi lain, kami juga mendapatkan bahan baku untuk produksi,” kata Andi.
Andi juga mengedukasi nelayan yang awalnya enggan menggunakan biodiesel karena warnanya berbeda dari solar, sehingga mereka khawatir kapal jadi rusak. Andi memastikan, selain harganya lebih murah daripada solar, biodiesel juga tidak akan merusak mesin kapal. Tidak hanya membangun bisnis bersama lima teman, dia juga merekrut lebih dari dua puluh mantan preman untuk bantu mencari bahan baku.
"Kami mengedukasi mereka tentang bahaya minyak goreng bekas yang disalahgunakan, dan mengajak mereka menjadi agen lingkungan. Mereka pergi ke tukang-tukang gorengan untuk mengumpulkan minyak jelantah agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Mereka pun mendapatkan penghasilan yang memadai,” kata Andi.
Selain itu, dia juga memberdayakan masyarakat untuk mengumpulkan jelantah dan memberi upah berdasarkan sistem profit sharing. Setiap satu kilogram jelantah, Andi memberi Rp1.000. “Cara ini menumbuhkan sumber pendapatan baru. Dengan mengintegrasi sistem bank minyak jelantah di satu kota, ada potensi terciptanya 6.000 lapangan kerja baru,” tegasnya.
Di sisi lain, minyak goreng bekas pakai atau minyak jelantah punya nilai ekonomi yang tinggi, jika dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar biodiesel. Yang lebih menggiurkan, omzet usaha dari minyak jelantah ini bisa mencapai ratusan juta rupiah, tetapi belum banyak orang yang memanfaatkan limbah dapur ini untuk industri biodiesel.
Andi Hilmi adalah salah satu pengusaha muda yang mampu melihat peluang tersebut, bahkan sejak ia masih sekolah di jenjang SMA. Milenial asal Makassar ini telah mempunyai usaha biodiesel berskala industri bernama GenOil sebelum berusia 21 tahun. "Ketika itu kami mengembangkan puluhan diversifikasi energi. Namun, yang paling ideal adalah biodiesel," ujar Andi.
Andi terpikir untuk membuat biodiesel dari minyak jelantah karena melihat ketika itu terjadi kelangkaan BBM yang hampir merata di Indonesia. Tak jauh dari kotanya, banyak nelayan tak bisa melaut, karena tak kebagian bahan bakar.
"Saya berusaha mencari pengganti energi terbarukan agar bisa digunakan oleh para nelayan. Prinsip saya, karya yang kita buat harus sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Ketika itu, biodiesel bisa menjawab masalah kelangkaan bahan bakar yang mengancam kedaulatan energi di masa mendatang," kata Andi, yang dalam satu bulan bisa meraih omzet sekitar Rp200 juta.
Untuk menjalin jejaring, Andi pernah bergabung dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dimana tujuan Andil untuk mencari teman-teman yang memiliki visi serupa.
"Saya bercerita tentang impian saya merintis bisnis biodiesel ini, berharap ada yang mau membangun bersama-sama. Hingga akhirnya saya menemukan teman yang percaya kepada saya,” kata Andi, yang pernah memenangkan kompetisi Ideas for Indonesia dan diberangkatkan ke Inggris untuk belajar di berbagai forum.
Pada forum-forum tersebut, Andi mendapatkan banyak teman dari luar negeri. Andi mendapatkan banyak insight dari pengalaman teman-teman barunya. Tak sedikit pula teman dari negara asing itu yang kemudian menawarkan berbagai bentuk kerja sama.
Suatu kali ia kesulitan mendapat jelantah, karena adanya mafia yang mengumpulkan jelantah untuk dipakai ulang. Ia lalu mempelajari model bank sampah.
“Berbekal berbagai analisis, kami membuat bank minyak jelantah RT/RW, yang efektif sampai hari ini. Kami memberi fasilitas, seperti check point dan jerigen, untuk kemudahan masyarakat. Dengan sistem ini, kami mengintegrasi satu kota” ucapnya.
Namun, untuk membuat bank minyak jelantah yang ideal, diperlukan biaya tidak sedikit dan Andi mengajak perusahaan besar untuk bekerja sama membuat bank minyak jelantah. Banyak perusahaan besar berskala nasional dan multinasional yang tertarik, karena mereka bisa menerapkan CSR, sekaligus mendapat ruang untuk branding.
Dia juga membuat bank sampah di sekitar 20 sekolah, menyasar 500 siswa yang berarti membidik 500 rumah tangga. Setiap tiga hari mereka mengumpulkan segelas jelantah dalam wadah yang bisa dipakai ulang. "Tabungan jelantah siswa itu hanya bisa dicairkan dalam bentuk program ekstrakurikuler berbasis lingkungan,” tuturnya.
Edukasi soal bahaya minyak goreng daur ulang dilakukan oleh Andi dan timnya. Menurut timnya, ketika memasak, sebetulnya hanya 30 persen minyak goreng yang terserap, sisanya menjadi limbah. Oleh karena itu, pihaknya mengajak masyarakat menabung minyak jelantah yang nantinya tabungan minyak jelantah ini ditukar dengan minyak goreng baru. “Dengan begitu, mereka terbiasa mengonsumsi minyak goreng yang sehat. Di sisi lain, kami juga mendapatkan bahan baku untuk produksi,” kata Andi.
Andi juga mengedukasi nelayan yang awalnya enggan menggunakan biodiesel karena warnanya berbeda dari solar, sehingga mereka khawatir kapal jadi rusak. Andi memastikan, selain harganya lebih murah daripada solar, biodiesel juga tidak akan merusak mesin kapal. Tidak hanya membangun bisnis bersama lima teman, dia juga merekrut lebih dari dua puluh mantan preman untuk bantu mencari bahan baku.
"Kami mengedukasi mereka tentang bahaya minyak goreng bekas yang disalahgunakan, dan mengajak mereka menjadi agen lingkungan. Mereka pergi ke tukang-tukang gorengan untuk mengumpulkan minyak jelantah agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Mereka pun mendapatkan penghasilan yang memadai,” kata Andi.
Selain itu, dia juga memberdayakan masyarakat untuk mengumpulkan jelantah dan memberi upah berdasarkan sistem profit sharing. Setiap satu kilogram jelantah, Andi memberi Rp1.000. “Cara ini menumbuhkan sumber pendapatan baru. Dengan mengintegrasi sistem bank minyak jelantah di satu kota, ada potensi terciptanya 6.000 lapangan kerja baru,” tegasnya.
(nng)