Hadapi 2030 Pemerintah Siapkan Tiga Jurus Kembangkan Migas Non-Konvensional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menetapkan tiga rencana dalam pengembangan migas non-konvensional (MNK). Upaya ini diharapkan dapat mendukung pencapaian target produksi minyak 1 juta barel dan gas 12 BCFD pada tahun 2030 .
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan, rencana pertama dengan revisi atau penghapusan Peraturan Menteri ESDM No. 36 Tahun 2008 dan Permen ESDM No. 5 Tahun 2012. Dalam aturan baru nantinya, wilayah kerja (WK) eksisting dapat langsung melakukan eksplorasi maupun eksploitasi MNK tanpa kontrak baru. Aturan ini juga telah disosialisasikan dengan stakeholder termasuk The Indonesian Petroleum Association (IPA) pada 17 Maret 2021.
Baca juga:Tinjau Stasiun Manggarai, Menhub: Saya Minta KCI Lebih Profesional
"Revisi aturan ini artinya di WK yang sama, tidak perlu izin baru lagi. Sudah bisa melakukan pengusahaan WK MNK. Ini perubahan yang paling mendasar," ujarnya dalam siaran pers dikutip, Jumat (14/5/2021).
Dirjen Migas mengharapkan aturan baru ini sudah dapat ditetapkan Menteri ESDM setelah Hari Raya Idulitri atau pertengahan Mei 2021. "Dari kami sudah meluncur (diserahkan) ke Sekjen ESDM untuk di proses ke Pak Menteri," tambah Tutuka.
Rencana kedua adalah pelaksanaan studi MNK di seluruh WK aktif. SKK Migas diharapkan melakukan inventarisasi WK eksplorasi atau eksploitasi. Studi pada WK tersebut untuk menentukan tingkat potensi MNK. Setelah diketahui potensinya, KKKS dapat langsung melakukan pengeboran produksi.
Rencana ketiga adalah pilot project produksi MNK di WK potensial. Pemerintah menargetkan pilot project MNK dengan aturan baru sudah dapat dilakukan pada tahun ini.
"Pilot project harus dilakukan segera. Kalau tahun ini tidak bisa, paling tidak tahun ini sudah harus bisa menentukan lokasi pilot project di mana. Pemborannya di mana," katanya.
Dia menjelaskan, ada teknologi yang dapat digunakan untuk pilot project ini, yaitu multi-stage fractured horizontal (MSFH). Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan dana komitmen kerja pasti (KKP) atau cost recovery. Estimasi biaya per sumur sekitar USD22 juta.
"Penentuan lokasi pilot project harus dikaji betul karena biayanya sangat mahal. Diharapkan dari pemboran ini kita bisa memperoleh data yang berguna. Kita akan pakai sebagai proof of concept," tutup Tutuka.
Baca juga:Omer Tabib, Tentara Pertama Israel yang Tewas Dihantam Rudal Anti-Tank Hamas
Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi MNK di Indonesia yaitu CBM sekitar 453,30 TCF dan shale gas 574 TCF.
MNK mulai dikembangkan di Indonesia tahun 2008 melalui penandatanganan WK Sekayu. Namun perkembangannya belum menggembirakan. Dari 54 kontrak WK Gas Metana Batubara yang ditandatangani mulai 2008-2012, saat ini tersisa 20 WK eksisting. Sedangkan 6 kontrak MNK yang ditandatangani 2013-2016, tersisa 4 MNK eksisting. Sementara mulai 2017 hingga saat ini, tidak terdapat tanda tangan kontrak WK MNK.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan, rencana pertama dengan revisi atau penghapusan Peraturan Menteri ESDM No. 36 Tahun 2008 dan Permen ESDM No. 5 Tahun 2012. Dalam aturan baru nantinya, wilayah kerja (WK) eksisting dapat langsung melakukan eksplorasi maupun eksploitasi MNK tanpa kontrak baru. Aturan ini juga telah disosialisasikan dengan stakeholder termasuk The Indonesian Petroleum Association (IPA) pada 17 Maret 2021.
Baca juga:Tinjau Stasiun Manggarai, Menhub: Saya Minta KCI Lebih Profesional
"Revisi aturan ini artinya di WK yang sama, tidak perlu izin baru lagi. Sudah bisa melakukan pengusahaan WK MNK. Ini perubahan yang paling mendasar," ujarnya dalam siaran pers dikutip, Jumat (14/5/2021).
Dirjen Migas mengharapkan aturan baru ini sudah dapat ditetapkan Menteri ESDM setelah Hari Raya Idulitri atau pertengahan Mei 2021. "Dari kami sudah meluncur (diserahkan) ke Sekjen ESDM untuk di proses ke Pak Menteri," tambah Tutuka.
Rencana kedua adalah pelaksanaan studi MNK di seluruh WK aktif. SKK Migas diharapkan melakukan inventarisasi WK eksplorasi atau eksploitasi. Studi pada WK tersebut untuk menentukan tingkat potensi MNK. Setelah diketahui potensinya, KKKS dapat langsung melakukan pengeboran produksi.
Rencana ketiga adalah pilot project produksi MNK di WK potensial. Pemerintah menargetkan pilot project MNK dengan aturan baru sudah dapat dilakukan pada tahun ini.
"Pilot project harus dilakukan segera. Kalau tahun ini tidak bisa, paling tidak tahun ini sudah harus bisa menentukan lokasi pilot project di mana. Pemborannya di mana," katanya.
Dia menjelaskan, ada teknologi yang dapat digunakan untuk pilot project ini, yaitu multi-stage fractured horizontal (MSFH). Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan dana komitmen kerja pasti (KKP) atau cost recovery. Estimasi biaya per sumur sekitar USD22 juta.
"Penentuan lokasi pilot project harus dikaji betul karena biayanya sangat mahal. Diharapkan dari pemboran ini kita bisa memperoleh data yang berguna. Kita akan pakai sebagai proof of concept," tutup Tutuka.
Baca juga:Omer Tabib, Tentara Pertama Israel yang Tewas Dihantam Rudal Anti-Tank Hamas
Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi MNK di Indonesia yaitu CBM sekitar 453,30 TCF dan shale gas 574 TCF.
MNK mulai dikembangkan di Indonesia tahun 2008 melalui penandatanganan WK Sekayu. Namun perkembangannya belum menggembirakan. Dari 54 kontrak WK Gas Metana Batubara yang ditandatangani mulai 2008-2012, saat ini tersisa 20 WK eksisting. Sedangkan 6 kontrak MNK yang ditandatangani 2013-2016, tersisa 4 MNK eksisting. Sementara mulai 2017 hingga saat ini, tidak terdapat tanda tangan kontrak WK MNK.
(uka)