Ekonom: Kenaikan PPN Sembako, Pendidikan dan Kesehatan Rugikan Rakyat Kecil!

Kamis, 10 Juni 2021 - 11:48 WIB
loading...
Ekonom: Kenaikan PPN...
Ekonom Achmad Nur Hidayat menentang rencana kenaikan PPN untuk sembako, jasa pendidikan dan kesehatan. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Ekonom Achmad Nur Hidayat mengingatkan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% untuk sembako dan pengenaan PPN untuk jasa pendidikan, jasa kesehatan akan langsung berkaitan dengan laju inflasi tahun ini dan tahun depan.

"Meski pemberlakukan kenaikan tarif PPN tidak diberlakukan tahun 2021, namun rencana kenaikan pajak tersebut dapat memicu inflasi 2021. Rencana kenaikan PPN terhadap sembako akan mendorong masyarakat membeli sembako di luar kebutuhan karena takut harganya naik akibat PPN 12%. Potensi kenaikan inflasi 2021-nya berkisar naik 1-2.5%, sehingga inflasi 2021 bisa mencapai 2,18% sampai 4,68%," Ujar Direktur Eksekutif Narasi Institute tersebut di Jakarta, Kamis (10/6/2021).



Selain menimbulkan inflasi yang memberatkan konsumen secara umum, menurut Achmad, kenaikan PPN 12% terhadap sembako dari produksi pertanian juga akan menyebabkan petani kecil kehilangan kesejahteraan dan akhirnya makin miskin di tengah pandemi.

"Kenaikan PPN 12% terhadap sembako juga menyebabkan petani kecil makin miskin karena makin sulit menjual produknya disaat konsumen makin mengerem belanja imbas kenaikan PPN tersebut," ujarnya.

Pemerintah merencanakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada kelompok bahan kebutuhan pokok atau sembako dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.

Sementara untuk kategori jasa, pemerintah akan mengenakan PPN pada 11 kelompok jasa yang saat ini masih bebas PPN. Salah satunya yaitu jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial; jasa pengiriman surat dengan prangko; jasa keuangan; jasa asuransi.

Achmad Nur Hidayat melihat pasar sembako Indonesia dan pasar retail sangat sensitif terhadap isu kenaikan harga akibat perpajakan ini. Pengusaha sembako dan retail mayoritas adalah pengusaha menengah kecil. Masyarakat kelas menengah kecil merasa RUU KUP ditargetkan untuk mereka padahal mereka sudah berkontribusi banyak untuk penerimaan pajak dan saatnya mereka menerima kelonggaran pajak di saat ekonomi sedang lesu.

Ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN barang kebutuhan pokok ini. Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12%. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5%, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1%.

Achmad pun mempertanyakan aspek keadilan ekonomi dari rencana penerapan PPN sembako, pendidikan dan kesehatan tersebut. "Kelompok kelas menengah atas yang pendidikan dan kesehatan di luar negeri mereka tidak terkena dampak rencana kenaikan PPN tersebut, sementara kelas menengah bawah yang belanja sembakonya, pendidikannya dan kesehatannya di dalam negeri malah yang paling terdampak dari rencana reformasi pajak tersebut. Dimana keadilan ekonominya jika begitu?" cetusnya.



Achmad pun menyarankan agar Menkeu Sri Mulyani menarget kelompok perusahaan teknologi global dan 1% WNI berpendapatan teratas yang masih menyimpan dananya repatriasinya di luar negeri.

"Patut diingat bahwa tax amnesty 2017 kemarin tidak diikuti dana repatriasi masuk ke dalam negeri dari target dana repatriasi Rp1.000 triliun hanya terealisasi Rp147 triliun," ujarnya.

Dia mengatakan, kelompok WNI berpenghasilan top 1% tidak semua ikut tax amnesty 2017 kemarin. Menurutnya, bila audit pajak dilakukan terhadap kelompok WNI tersebut, pemerintah masih dapat tambahan penerimaan negara dari pemberlakuan sanksi sekitar 200% dari aset mereka.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1187 seconds (0.1#10.140)