Beda Nasib dengan Garuda, SIA Diramal Bakal Dominasi Pasar Asia Tenggara
loading...
A
A
A
SINGAPURA - Maskapai Singapore Airlines Ltd (SIA) , yang ditopang dana USD16 miliar (sekitar Rp224 triliun) yang terkumpul sejak awal pandemi Covid-19, berkat dukungan investor negara, diyakini berada dalam posisi dominan di antara para maskapai pesaingnya di Asia Tenggara.
Sejatinya, krisis Covid-19 telah mengancam kelangsungan hidup maskapai penerbangan penghubung yang tidak memiliki pasar domestik seperti SIA, Cathay Pacific Airways, dan Emirates. Namun, dukungan kuat pemerintahnya mampu membuat SIA bertahan dari badai pandemi yang menerpa.
Seperti dikatakan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong tahun lalu, pemerintah siap melakukan apa saja untuk memastikan SIA berhasil melewati pandemi. Pemegang saham mayoritasnya, badan investasi milik pemerintah, Temasek Holdings, mengucurkan salah satu paket penyelamatan terbesar untuk maskapai penerbangan di dunia.
Berkat upaya itu, SIA memiliki cukup dana untuk melanjutkan operasionalnya setidaknya dua tahun lagi tanpa pemangkasan, dan bahkan mampu memodernisasi armadanya untuk menghemat bahan bakar dan mengurangi biaya perawatan, di saat maskapai lainnya terpaksa harus mengurangi armada pesawatnya.
"Krisis ini menunjukkan betapa pentingnya memiliki investor negara yang kaya sebagai pendukung utama," kata seorang bankir, yang berbicara secara anonim seperti dikutip Reuters, Jumat (9/7/2021).
Tumpukan uang yang dimiliki SIA membuat iri rival seperti Thai Airways dan Garuda Indonesia, yang hanya mendapat sedikit dukungan pemerintah. Banyak saingan SIA harus memangkas armada ke tingkat yang pada akhirnya akan melemahkan hub mereka, dan mengirim lebih banyak lalu lintas penghubung ke Singapura.
"Pada dasarnya apa yang coba dilakukan oleh maskapai-maskapai ini adalah mereka berusaha untuk menghindari para debiturnya," ujar Direktur Jenderal Asosiasi Maskapai se-Asia Pasifik Subhas Menon.
Di bagian lain, SIA justru meningkatkan armadanya dan memperkuat maskapai penerbangan murahnya, Scoot. Di Eropa dan Amerika Utara, perjalanan liburan telah membawa pemulihan ke sektor penerbangan. Jika hal yang sama berlaku di Asia, maka maskapai murah akan menjadi sangat penting bagi maskapai penerbangan.
Setelah memangkas jumlah pesawat tua dan 20% stafnya tahun lalu, SIA berada di bawah tekanan yang tidak terlalu mendesak untuk melakukan lebih banyak perampingan. CEO Goh Choon Phong pada bulan Mei menggambarkan PHK tahun lalu sebagai "proses yang sangat menyakitkan" dan mengatakan tidak ada rencana untuk pemangkasan lebih lanjut.
Terlepas dari itu, para analis memperkirakan perlu waktu 12 hingga 18 bulan sebelum perjalanan udara secara luas pulih di kawasan Asia.
"Mereka dapat bertahan selama dua atau tiga tahun tanpa menghasilkan uang," kata Ketua Pusat Penerbangan CAPA Emeritus Peter Harbison. "Tetapi pada tahap tertentu Anda akan bertanya, 'apakah itu benar-benar layak? Bukankah seharusnya Anda mengambil langkah yang sulit?"
Menjawab pertanyaan itu, penerbitan obligasi konversi SIA baru-baru ini senilai 6,2 miliar dolar Singapura diberikan kepada pemegang saham selain Temasek, menunjukkan bahwa investor negara lebih sabar daripada yang lain dalam mencapai pengembalian.
Seorang perwakilan SIA mengatakan likuiditas yang meningkat sejak awal pandemi memungkinkan maskapai itu untuk memperkuat posisi keuangannya dan melakukan investasi yang diperlukan untuk mengamankan "posisi terdepan dalam industri".
SIA menangguhkan pengeluaran sebesar 4 miliar dolar Singapura untuk pesawat baru selama tiga tahun setelah mencapai kesepakatan dengan produsen Airbus SE dan Boeing Co. Tetapi karena pesanan pra-krisis yang besar, SIA tetap menghabiskan 3,7 miliar dolar Singapura untuk pesawat baru dan menambah setidaknya 19 pesawat ke armadanya tahun ini, termasuk 13 pesawat berbadan lebar meski permintaannya sedikit.
Sebagai pembanding, masakapai Lufthansa Jerman yang lebih besar dan memiliki pendapatan hampir empat kali lebih banyak setiap tahunnya sebelum krisis Covid-19, memiliki anggaran belanja modal hanya sekitar 1,5 miliar euro (USD1,77 miliar) selama 2021.
Bantalan keuangan yang dimiliki SIA membuat maskapai itu lebih sulit untuk mengatur ulang kontrak dengan produsen dan lessor. Terlebih, Temasek juga mendukung modernisasi armada.
Sementara, dengan pola perjalanan yang masih tertahan dan para pesaing terganggu oleh masalah keuangan, masakapai murah Scoot telah menggunakan sebagian dana dari SIA untuk meningkatkan pelatihan staf dan berinvestasi dalam perangkat lunak baru yang membantunya menghitung tarif yang lebih menguntungkan untuk penerbangan lanjutan.
"Ada banyak investasi, yang tentunya diarahkan untuk pemulihan di masa depan," kata CEO Scoot Campbell Wilson. "Investasi yang saya harap akan terbayar seiring berjalannya waktu."
Thai Airways kehilangan pangsa pasar yang signifikan akibat persaingan dengan masjkapai murah lainnya dalam dekade sebelum pandemi, menambah kerugian yang diderita maskapai itu selama bertahun-tahun. Maskapai itu juga belum merumuskan strategi biaya rendah baru sebagai bagian dari restrukturisasi yang melibatkan utang sebesar USD12,9 miliar.
Garuda, Malaysia Airlines dan Philippine Airlines juga berada dalam posisi yang sama, baik yang telah menyelesaikan atau baru akan meluncurkan restrukturisasi besar-besaran. Maskapai-maskapai itu tercatat sudah banyak merugi selama bertahun-tahun sebelum pandemi.
"Kemungkinan dalam upaya restrukturisasinya, maskapai-maskapai itu akan menyebabkan sejumlah orang tidak bahagia karena utangnya yang tidak akan pernah dibayar," kata Wilson. "Sejauh mana hal itu kemudian membatasi mereka? Waktu yang akan menjawabnya."
Sejatinya, krisis Covid-19 telah mengancam kelangsungan hidup maskapai penerbangan penghubung yang tidak memiliki pasar domestik seperti SIA, Cathay Pacific Airways, dan Emirates. Namun, dukungan kuat pemerintahnya mampu membuat SIA bertahan dari badai pandemi yang menerpa.
Seperti dikatakan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong tahun lalu, pemerintah siap melakukan apa saja untuk memastikan SIA berhasil melewati pandemi. Pemegang saham mayoritasnya, badan investasi milik pemerintah, Temasek Holdings, mengucurkan salah satu paket penyelamatan terbesar untuk maskapai penerbangan di dunia.
Berkat upaya itu, SIA memiliki cukup dana untuk melanjutkan operasionalnya setidaknya dua tahun lagi tanpa pemangkasan, dan bahkan mampu memodernisasi armadanya untuk menghemat bahan bakar dan mengurangi biaya perawatan, di saat maskapai lainnya terpaksa harus mengurangi armada pesawatnya.
"Krisis ini menunjukkan betapa pentingnya memiliki investor negara yang kaya sebagai pendukung utama," kata seorang bankir, yang berbicara secara anonim seperti dikutip Reuters, Jumat (9/7/2021).
Tumpukan uang yang dimiliki SIA membuat iri rival seperti Thai Airways dan Garuda Indonesia, yang hanya mendapat sedikit dukungan pemerintah. Banyak saingan SIA harus memangkas armada ke tingkat yang pada akhirnya akan melemahkan hub mereka, dan mengirim lebih banyak lalu lintas penghubung ke Singapura.
"Pada dasarnya apa yang coba dilakukan oleh maskapai-maskapai ini adalah mereka berusaha untuk menghindari para debiturnya," ujar Direktur Jenderal Asosiasi Maskapai se-Asia Pasifik Subhas Menon.
Di bagian lain, SIA justru meningkatkan armadanya dan memperkuat maskapai penerbangan murahnya, Scoot. Di Eropa dan Amerika Utara, perjalanan liburan telah membawa pemulihan ke sektor penerbangan. Jika hal yang sama berlaku di Asia, maka maskapai murah akan menjadi sangat penting bagi maskapai penerbangan.
Setelah memangkas jumlah pesawat tua dan 20% stafnya tahun lalu, SIA berada di bawah tekanan yang tidak terlalu mendesak untuk melakukan lebih banyak perampingan. CEO Goh Choon Phong pada bulan Mei menggambarkan PHK tahun lalu sebagai "proses yang sangat menyakitkan" dan mengatakan tidak ada rencana untuk pemangkasan lebih lanjut.
Terlepas dari itu, para analis memperkirakan perlu waktu 12 hingga 18 bulan sebelum perjalanan udara secara luas pulih di kawasan Asia.
"Mereka dapat bertahan selama dua atau tiga tahun tanpa menghasilkan uang," kata Ketua Pusat Penerbangan CAPA Emeritus Peter Harbison. "Tetapi pada tahap tertentu Anda akan bertanya, 'apakah itu benar-benar layak? Bukankah seharusnya Anda mengambil langkah yang sulit?"
Menjawab pertanyaan itu, penerbitan obligasi konversi SIA baru-baru ini senilai 6,2 miliar dolar Singapura diberikan kepada pemegang saham selain Temasek, menunjukkan bahwa investor negara lebih sabar daripada yang lain dalam mencapai pengembalian.
Seorang perwakilan SIA mengatakan likuiditas yang meningkat sejak awal pandemi memungkinkan maskapai itu untuk memperkuat posisi keuangannya dan melakukan investasi yang diperlukan untuk mengamankan "posisi terdepan dalam industri".
SIA menangguhkan pengeluaran sebesar 4 miliar dolar Singapura untuk pesawat baru selama tiga tahun setelah mencapai kesepakatan dengan produsen Airbus SE dan Boeing Co. Tetapi karena pesanan pra-krisis yang besar, SIA tetap menghabiskan 3,7 miliar dolar Singapura untuk pesawat baru dan menambah setidaknya 19 pesawat ke armadanya tahun ini, termasuk 13 pesawat berbadan lebar meski permintaannya sedikit.
Sebagai pembanding, masakapai Lufthansa Jerman yang lebih besar dan memiliki pendapatan hampir empat kali lebih banyak setiap tahunnya sebelum krisis Covid-19, memiliki anggaran belanja modal hanya sekitar 1,5 miliar euro (USD1,77 miliar) selama 2021.
Bantalan keuangan yang dimiliki SIA membuat maskapai itu lebih sulit untuk mengatur ulang kontrak dengan produsen dan lessor. Terlebih, Temasek juga mendukung modernisasi armada.
Sementara, dengan pola perjalanan yang masih tertahan dan para pesaing terganggu oleh masalah keuangan, masakapai murah Scoot telah menggunakan sebagian dana dari SIA untuk meningkatkan pelatihan staf dan berinvestasi dalam perangkat lunak baru yang membantunya menghitung tarif yang lebih menguntungkan untuk penerbangan lanjutan.
"Ada banyak investasi, yang tentunya diarahkan untuk pemulihan di masa depan," kata CEO Scoot Campbell Wilson. "Investasi yang saya harap akan terbayar seiring berjalannya waktu."
Thai Airways kehilangan pangsa pasar yang signifikan akibat persaingan dengan masjkapai murah lainnya dalam dekade sebelum pandemi, menambah kerugian yang diderita maskapai itu selama bertahun-tahun. Maskapai itu juga belum merumuskan strategi biaya rendah baru sebagai bagian dari restrukturisasi yang melibatkan utang sebesar USD12,9 miliar.
Garuda, Malaysia Airlines dan Philippine Airlines juga berada dalam posisi yang sama, baik yang telah menyelesaikan atau baru akan meluncurkan restrukturisasi besar-besaran. Maskapai-maskapai itu tercatat sudah banyak merugi selama bertahun-tahun sebelum pandemi.
"Kemungkinan dalam upaya restrukturisasinya, maskapai-maskapai itu akan menyebabkan sejumlah orang tidak bahagia karena utangnya yang tidak akan pernah dibayar," kata Wilson. "Sejauh mana hal itu kemudian membatasi mereka? Waktu yang akan menjawabnya."
(fai)