Harga Minyak di Atas USD70/Barel, Segini Rugi Pertamina Jualan Pertamax dan Pertalite
loading...
A
A
A
JAKARTA - Harga minyak dunia belakangan ini terus merangkak naik hingga sempat menyentuh angka tertinggi di level USD77,16/barel di awal bulan Juli untuk minyak berjangka jenis Brent. Sejak itu, harga minyak mentah pun tak pernah beranjak jauh dari level USD70/barel.
Kenaikan harga minyak juga terjadi pada harga MOPS ataupun Argus yang merupakan harga acuan dalam menentukan harga bahan bakar minyak (BBM) yang beredar di Tanah Air, sesuai dengan Kepmen ESDM No 62/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar Yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Dan/Atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.
Hal itu membuat PT Pertamina (Persero) harus menelan kerugian dalam penjualan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidinya, karena harga jual yang tak kunjung disesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memperhitungkan, BUMN migas tersebut merugi Rp2.100-3.350 untuk penjualan BBM jenis Pertamax dan Pertalite per liternya.
Mamit menerangkan, melihat rata-rata MOPS MOGAS 92 untuk 3 bulan terakhir dimana bulan April 2021 adalah USD71,7; Mei USD74,32 dan Juni 2021 adalah USD78,85; maka harga minyak rata-rata 3 bulan terakhir adalah USD74,95 per barel. Angka itu belum mempertimbangkan landed cost sebesar USD2 per barel sehingga harga landed Pertamax menjadi USD76,95.
"Dengan menggunakan kurs rata-rata 3 bulan terakhir Rp14.400 per USD, maka harga per liter adalah Rp6.969. Ditambah dengan konstanta Rp1.800 dan margin 10%, maka harga sebelum pajak adalah Rp9.646/liter. Jika ditambah dengan PPN dan PBBKB, maka harga Pertamax adalah sebesar Rp11.093 atau jika dibulatkan menjadi Rp11.100. Jika mengacu kepada harga saat ini, maka Pertamina sudah rugi sebesar Rp2.100 per liter dihitung dengan formula yang ditetapkan dengan Kepmen ESDM 62/2020," papar Mamit Setiawan di Jakarta, Senin (19/7/2021).
Demikian pula untuk BBM jenis Pertalite, menurut dia jika mengacu kepada harga MOPS MOGAS 92 untuk 3 bulan terakhir, dengan formula sesuai Kepmen 62/2021, dimana untuk RON 90 formulanya adalah 99,21% dari MOPS Mogas 92, maka seharusnya harga Pertalite adalah Rp11.000 perliter. "Sementara, saat ini Pertamina menjual Pertalite hanya Rp7.650/liter, jadi ada kekurangan sebesar Rp3.350 per liternya," kata Mamit.
Kondisi ini, tegas dia, pastinya akan memberatkan Pertamina, terlebih di tengah pandemi yang masih tak kunjung pasti kapan akan berhenti. Pembatasan mobilitas masyarakat, kata Mamit, jelas berpengaruh terhadap penjualan BBM milik Pertamina. "Sementara, sebagai negara yang net importir, maka Pertamina harus mengimpor minyak mentah maupun produk di tengah harga yang tinggi ini. Hal ini bisa dipastikan bisa membahayakan keuangan Pertamina karena harga beli yang tinggi tetapi harga jual tidak mengalami kenaikan," tandasnya.
Menurut Mamit, untuk produk BBM yang bukan subsidi maupun bukan penugasan, maka selisih harga ini seharusnya ditagihkan Pertamina dalam bentuk dana kompensasi yang harus dibayar oleh pemerintah. Masalahnya, dana kompensasi tersebut tidak bisa langsung dibayarkan oleh pemerintah, tetapi menyesuaikan dengan kondisi keuangan negara. Akinatnya, arus keuangan Pertamina menjadi terganggu.
Kenaikan harga minyak juga terjadi pada harga MOPS ataupun Argus yang merupakan harga acuan dalam menentukan harga bahan bakar minyak (BBM) yang beredar di Tanah Air, sesuai dengan Kepmen ESDM No 62/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar Yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Dan/Atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.
Hal itu membuat PT Pertamina (Persero) harus menelan kerugian dalam penjualan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidinya, karena harga jual yang tak kunjung disesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memperhitungkan, BUMN migas tersebut merugi Rp2.100-3.350 untuk penjualan BBM jenis Pertamax dan Pertalite per liternya.
Mamit menerangkan, melihat rata-rata MOPS MOGAS 92 untuk 3 bulan terakhir dimana bulan April 2021 adalah USD71,7; Mei USD74,32 dan Juni 2021 adalah USD78,85; maka harga minyak rata-rata 3 bulan terakhir adalah USD74,95 per barel. Angka itu belum mempertimbangkan landed cost sebesar USD2 per barel sehingga harga landed Pertamax menjadi USD76,95.
"Dengan menggunakan kurs rata-rata 3 bulan terakhir Rp14.400 per USD, maka harga per liter adalah Rp6.969. Ditambah dengan konstanta Rp1.800 dan margin 10%, maka harga sebelum pajak adalah Rp9.646/liter. Jika ditambah dengan PPN dan PBBKB, maka harga Pertamax adalah sebesar Rp11.093 atau jika dibulatkan menjadi Rp11.100. Jika mengacu kepada harga saat ini, maka Pertamina sudah rugi sebesar Rp2.100 per liter dihitung dengan formula yang ditetapkan dengan Kepmen ESDM 62/2020," papar Mamit Setiawan di Jakarta, Senin (19/7/2021).
Demikian pula untuk BBM jenis Pertalite, menurut dia jika mengacu kepada harga MOPS MOGAS 92 untuk 3 bulan terakhir, dengan formula sesuai Kepmen 62/2021, dimana untuk RON 90 formulanya adalah 99,21% dari MOPS Mogas 92, maka seharusnya harga Pertalite adalah Rp11.000 perliter. "Sementara, saat ini Pertamina menjual Pertalite hanya Rp7.650/liter, jadi ada kekurangan sebesar Rp3.350 per liternya," kata Mamit.
Kondisi ini, tegas dia, pastinya akan memberatkan Pertamina, terlebih di tengah pandemi yang masih tak kunjung pasti kapan akan berhenti. Pembatasan mobilitas masyarakat, kata Mamit, jelas berpengaruh terhadap penjualan BBM milik Pertamina. "Sementara, sebagai negara yang net importir, maka Pertamina harus mengimpor minyak mentah maupun produk di tengah harga yang tinggi ini. Hal ini bisa dipastikan bisa membahayakan keuangan Pertamina karena harga beli yang tinggi tetapi harga jual tidak mengalami kenaikan," tandasnya.
Menurut Mamit, untuk produk BBM yang bukan subsidi maupun bukan penugasan, maka selisih harga ini seharusnya ditagihkan Pertamina dalam bentuk dana kompensasi yang harus dibayar oleh pemerintah. Masalahnya, dana kompensasi tersebut tidak bisa langsung dibayarkan oleh pemerintah, tetapi menyesuaikan dengan kondisi keuangan negara. Akinatnya, arus keuangan Pertamina menjadi terganggu.