Tesla Lebih Memilih Nikel Asal Australia, Kok Bukan Indonesia?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tesla telah memutuskan untuk menjadi mitra teknis di dalam tambang nikel , yang diperlukan sebagai bahan baku membuat baterai lithium-ion yang menggerakkan mobil listrik . Perusahaan mobil listrik terkemuka milik Elon Musk itu ternyata lebih memilih perusahaan tambang asal Australia, BHP.
Seperti yang diketahui, perusahaan tambang nikel asal Australia yakni BHP beberapa hari lalu mengumumkan telah menandatangani kesepakatan perjanjian kerja sama dengan Tesla untuk memasok nikel guna kebutuhan baterai kendaraan listrik.
Terkait hal tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Rizal Kasli menerangkan, ada sejumlah alasan dibalik itu. Kenapa Tesla tidak memilih Indonesia sebagai pemasoknya, ketika sebelumnya digadang-gadang bakal membangun pabrik mobil listrik di Tanah Air.
“Dalam operasional, BHP lebih menekankan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Ini yang menjadi pertimbangan karena dianggap ini bisa mengangkat citra perusahaan dalam hal menjaga lingkungan,” ujarnya dalam Market Review di IDX Channel, Senin (2/8/2021).
Terkait penolakan Tesla kepada Indonesia, ia menuturkan Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kejadian tersebut. Menurutnya, hal itu bisa dijadikan evaluasi agar pemerintah bisa lebih memperhatikan industri manufaktur di Tanah Air.
“Kalau Tesla memilih Australia dengan pertimbangan yang ada, kemudian memilih India sebagai pusat pembangunan pabrik mobilnya, karena di India memiliki beberapa keunggulan. Misalnya, India sangat berkembang di bidang manufaktur sehingga dia (India) lebih siap untuk memproduksi komponen mobil, baterai, dan sebagainya,” bebernya.
Lebih lanjut ia menerangkan dalam hal tenaga kerja dan infrastruktur, India lebih siap. Hal seperti inilah yang menurutnya perlu diperbaiki di Indonesia sebab hingga saat ini Indonesia masih mengekspor produk setengah jadi.
Dia menyebut, apabila Indonesia dapat membangun infrastruktur atau perusahaan manufaktur yang bisa menyerap produk setengah jadi. Maka Indonesia dipastikan dapat bersaing dengan negara lain.
Terkait itu, Rizal mengatakan, perlu dibuat road map pada industri yang dapat mumpuni dalam bidang ini. Sehingga pemerintah dapat mendorong dan membantu terciptanya pembangunan industri manufaktur yang lebih efisien.
“Kami sering berdiskusi mengenai hal ini baik dengan Kementerian SDM, Kementerian Perindustrian, dan dengan lembaga lain bahwa ini yang kita sebut dengan pohon industri yang masih kosong di Indonesia harus segera diisi. Sehingga Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya mineral yang kita miliki,” ucapnya.
Ia memprediksi, jika ini diseriuskan maka dalam waktu 5 – 10 tahun Indonesia bisa mencapai pertumbuhan industri manufaktur untuk menyerap Intermediate Products atau Produk Antara yang dihasilkan dari pertambangan.
Seperti yang diketahui, perusahaan tambang nikel asal Australia yakni BHP beberapa hari lalu mengumumkan telah menandatangani kesepakatan perjanjian kerja sama dengan Tesla untuk memasok nikel guna kebutuhan baterai kendaraan listrik.
Terkait hal tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Rizal Kasli menerangkan, ada sejumlah alasan dibalik itu. Kenapa Tesla tidak memilih Indonesia sebagai pemasoknya, ketika sebelumnya digadang-gadang bakal membangun pabrik mobil listrik di Tanah Air.
“Dalam operasional, BHP lebih menekankan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Ini yang menjadi pertimbangan karena dianggap ini bisa mengangkat citra perusahaan dalam hal menjaga lingkungan,” ujarnya dalam Market Review di IDX Channel, Senin (2/8/2021).
Terkait penolakan Tesla kepada Indonesia, ia menuturkan Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kejadian tersebut. Menurutnya, hal itu bisa dijadikan evaluasi agar pemerintah bisa lebih memperhatikan industri manufaktur di Tanah Air.
“Kalau Tesla memilih Australia dengan pertimbangan yang ada, kemudian memilih India sebagai pusat pembangunan pabrik mobilnya, karena di India memiliki beberapa keunggulan. Misalnya, India sangat berkembang di bidang manufaktur sehingga dia (India) lebih siap untuk memproduksi komponen mobil, baterai, dan sebagainya,” bebernya.
Lebih lanjut ia menerangkan dalam hal tenaga kerja dan infrastruktur, India lebih siap. Hal seperti inilah yang menurutnya perlu diperbaiki di Indonesia sebab hingga saat ini Indonesia masih mengekspor produk setengah jadi.
Dia menyebut, apabila Indonesia dapat membangun infrastruktur atau perusahaan manufaktur yang bisa menyerap produk setengah jadi. Maka Indonesia dipastikan dapat bersaing dengan negara lain.
Terkait itu, Rizal mengatakan, perlu dibuat road map pada industri yang dapat mumpuni dalam bidang ini. Sehingga pemerintah dapat mendorong dan membantu terciptanya pembangunan industri manufaktur yang lebih efisien.
“Kami sering berdiskusi mengenai hal ini baik dengan Kementerian SDM, Kementerian Perindustrian, dan dengan lembaga lain bahwa ini yang kita sebut dengan pohon industri yang masih kosong di Indonesia harus segera diisi. Sehingga Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya mineral yang kita miliki,” ucapnya.
Ia memprediksi, jika ini diseriuskan maka dalam waktu 5 – 10 tahun Indonesia bisa mencapai pertumbuhan industri manufaktur untuk menyerap Intermediate Products atau Produk Antara yang dihasilkan dari pertambangan.
(akr)