KSAK: Pentingnya Recovery Klaim dalam Industri Asuransi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Konsorsium Suretyahip & Asuransi Kredit Indonesia (KSAK) yang juga merupakan Direktur Teknik Operasi PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero), Erickson Mangunsong menyampaikan, kendati terdampak langsung oleh pandemic covid-19, industri asuransi di Indonesia berhasil bertahan. Menurutnya industri asuransi saat ini tengah dihadapkan pada masalah recovery klaim .
“Bisnis semakin baik walaupun iklim pandemic. Jadi kami mengadakan semacam peningkatan kemampuan dari anggota. Aspek yang penting inikan recovery klim, yang orang lebih sekarang banyak fokus di penutupan asuransi. Tapi mungkin kurang maksimal optimal di recovery klaim,” ujar Erickson dalam acara webminar bertema Handling Surety Claims Recovery & Growth Strategy In Bank Guarantee Insurance.
Dalam pertemuan yang di hadiri 248 peserta konsorsium, Erickson mnyampikan solusi agar recovey klaim bisa dimaksimalkan oleh para peserta untuk meningkatkan performa perusahaan.
“Jadi siapkan dulu perangkatnya buat asuransi, karena ini jelas sebagai satu satuan kontrak. Kenapa selama ini tidak terlalu diperhatikan, maka saya usulkan bentuk oraganisasinya minimal divisi, karena kita sama-sama tahu. Kita perlu recovery, tapi recovery adalah satu rel tersendiri secara hukum. Jadi pertama kita siapkan administrasinya kedua perhatikan kontrak, kemudian aktif karena kita punya periode yang sebetulnya cukup singkat, segera lakukan proses recovery klaim,” jelasnya.
Saat ini Perusahaan Asuransi telah mendapatkan kepastian hukum dalam menjalankan bisnis Suretyship dan menerbitkan polis, dengan adanya Perpres Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan OJK (POJK) No. 69 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 5/PUU-XVIII/2020.
Dalam kesempatan yang sama, Vice President Wholesale Transaction Banking Group dari PT Bank Mandiri, Suharyanto menjelaskan, setiap perusahaan yang mengikuti tender-tender suatu pekerjaan, baik itu tender pembangunan atau tender pengadaan biasanya diwajibkan memiliki penjamin. Penjamin ini bisa dalam bentuk bank garansi atau surety bond.
“Seperti kita ketahui, bank garansi dikeluarkan oleh perusahaan perbankan untuk menjamin nasabahnya baik itu perorangan maupun perusahaan, berbeda dengan surety bond yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi," paparnya.
Suharyanto menjelaskan, Bank Garansi adalah Jaminan kepada suatu pihak (Beneficiary) dari Bank (Guarantor) atas permohonan dari Applicant atau Warkat yang diterbitkan Bank yang menyebabkan kewajiban membayar apabila terjadi wanprestasi. Sehingga sebagai dasar pembayaran klaim adalah Actual default. Bank Garansi ini dibutuhkan dari proses awal pengadaan sampai dengan proses akhir di siklus bisnis Nasabah.
Perusahaan Asuransi akan melakukan pembayaran klaim kepada Obligee atau pemilik proyek, apabila dalam pelaksanaanya pekerjaan proyek gagal, tidak selesai tepat pada waktunya, atau lalai dalam kualitas pekerjaan seperti yang ditentukan dalam kontrak, sebagai akibat dari pihak Principal selaku kontraktor pelaksana melakukan wanprestasi.
Sesuai dengan surat perjanjian ganti rugi di hadapan Notaris, maka Principal mempunyai kewajiban untuk membayar ganti rugi atau Recovery kepada perusahaan Asuransi. Namun dalam prosesnya sering dijumpai berbagai kendala dalam memperoleh recovery, di antaranya adalah Principal tidak bersedia membayar, Principal tidak memiliki asset, Principal memiliki asset namun tidak mau membayar, Principal tidak ditemukan alamatnya, Principal meninggal dunia, serta Obligee dan Principal tersangkut masalah hukum.
Nugraha Budi Santoso memberikan, tips dalam sengketa perkara wanprestasi agar perkara dapat dimenangkan, yaitu dalam proses penutupan Surety Bond, perlu disiapkan jaminan (asset) dari Principal dan perlu diperhatikan agar asset tidak sedang dalam jaminan atau agunan pihak ketiga agar ketika mengajukan gugatan dapat dimohonkan sita jaminan.
“Bisnis semakin baik walaupun iklim pandemic. Jadi kami mengadakan semacam peningkatan kemampuan dari anggota. Aspek yang penting inikan recovery klim, yang orang lebih sekarang banyak fokus di penutupan asuransi. Tapi mungkin kurang maksimal optimal di recovery klaim,” ujar Erickson dalam acara webminar bertema Handling Surety Claims Recovery & Growth Strategy In Bank Guarantee Insurance.
Baca Juga
Dalam pertemuan yang di hadiri 248 peserta konsorsium, Erickson mnyampikan solusi agar recovey klaim bisa dimaksimalkan oleh para peserta untuk meningkatkan performa perusahaan.
“Jadi siapkan dulu perangkatnya buat asuransi, karena ini jelas sebagai satu satuan kontrak. Kenapa selama ini tidak terlalu diperhatikan, maka saya usulkan bentuk oraganisasinya minimal divisi, karena kita sama-sama tahu. Kita perlu recovery, tapi recovery adalah satu rel tersendiri secara hukum. Jadi pertama kita siapkan administrasinya kedua perhatikan kontrak, kemudian aktif karena kita punya periode yang sebetulnya cukup singkat, segera lakukan proses recovery klaim,” jelasnya.
Saat ini Perusahaan Asuransi telah mendapatkan kepastian hukum dalam menjalankan bisnis Suretyship dan menerbitkan polis, dengan adanya Perpres Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan OJK (POJK) No. 69 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 5/PUU-XVIII/2020.
Dalam kesempatan yang sama, Vice President Wholesale Transaction Banking Group dari PT Bank Mandiri, Suharyanto menjelaskan, setiap perusahaan yang mengikuti tender-tender suatu pekerjaan, baik itu tender pembangunan atau tender pengadaan biasanya diwajibkan memiliki penjamin. Penjamin ini bisa dalam bentuk bank garansi atau surety bond.
“Seperti kita ketahui, bank garansi dikeluarkan oleh perusahaan perbankan untuk menjamin nasabahnya baik itu perorangan maupun perusahaan, berbeda dengan surety bond yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi," paparnya.
Suharyanto menjelaskan, Bank Garansi adalah Jaminan kepada suatu pihak (Beneficiary) dari Bank (Guarantor) atas permohonan dari Applicant atau Warkat yang diterbitkan Bank yang menyebabkan kewajiban membayar apabila terjadi wanprestasi. Sehingga sebagai dasar pembayaran klaim adalah Actual default. Bank Garansi ini dibutuhkan dari proses awal pengadaan sampai dengan proses akhir di siklus bisnis Nasabah.
Perusahaan Asuransi akan melakukan pembayaran klaim kepada Obligee atau pemilik proyek, apabila dalam pelaksanaanya pekerjaan proyek gagal, tidak selesai tepat pada waktunya, atau lalai dalam kualitas pekerjaan seperti yang ditentukan dalam kontrak, sebagai akibat dari pihak Principal selaku kontraktor pelaksana melakukan wanprestasi.
Sesuai dengan surat perjanjian ganti rugi di hadapan Notaris, maka Principal mempunyai kewajiban untuk membayar ganti rugi atau Recovery kepada perusahaan Asuransi. Namun dalam prosesnya sering dijumpai berbagai kendala dalam memperoleh recovery, di antaranya adalah Principal tidak bersedia membayar, Principal tidak memiliki asset, Principal memiliki asset namun tidak mau membayar, Principal tidak ditemukan alamatnya, Principal meninggal dunia, serta Obligee dan Principal tersangkut masalah hukum.
Nugraha Budi Santoso memberikan, tips dalam sengketa perkara wanprestasi agar perkara dapat dimenangkan, yaitu dalam proses penutupan Surety Bond, perlu disiapkan jaminan (asset) dari Principal dan perlu diperhatikan agar asset tidak sedang dalam jaminan atau agunan pihak ketiga agar ketika mengajukan gugatan dapat dimohonkan sita jaminan.
(akr)