Dijegal Kenaikan Tarif, Ekspor China Melonjak ke Level Tertinggi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekspor China melonjak mencapai level tertinggi pada Oktober di tengah ancaman kenaikan tarif. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak Juli 2022 lalu. Bea Cukai China melaporkan pada Kamis (7/11), ekspor meningkat 12,7% menjadi USD309 miliar melebihi perkiraan ekonom. Sementara, kinerja mpor turun 2,3% menjadi USD213 miliar dengan mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD96 miliar.
Aliran ekspor telah membantu menutupi pelemahan permintaan domestik, tetapi juga memicu reaksi dari AS, Amerika Selatan, dan Eropa terhadap masuknya barang-barang murah. Sebagai tanggapan, semakin banyak negara yang menaikkan hambatan tarif terhadap barang-barang seperti baja dan kendaraan listrik.
"Hal ini mungkin sebagian didorong oleh para eksportir yang mencoba untuk mempercepat pengiriman untuk mengurangi dampak dari potensi perang dagang tahun depan," kata Zhang Zhiwei, presiden dan kepala ekonom Pinpoint Asset Management dikutip daru The Edge Malaysia, Kamis (7/11/2024).
"Saya pikir ekonomi akan sedikit membaik pada kuartal keempat, tetapi perang dagang mungkin akan dimulai pada kuartal pertama tahun depan. Kita tidak bisa mengandalkan ekspor untuk menopang perekonomian RRT."
Berdasarkan laporan, ekspor ke AS naik 8,1%, kenaikan terbesar dalam tiga bulan terakhir. Pengiriman ke sebagian besar pasar meningkat dengan kenaikan dua digit ke Asean, Uni Eropa, Afrika Selatan dan Brasil. Pengiriman ke Rusia melonjak hampir 27% pertumbuhan tercepat tahun ini.
Kembalinya Trump ke Gedung Putih akan semakin memperumit prospek kinerja perdagangan China ke depan. Presiden terpilih ini telah mengancam akan mengenakan tarif sebanyak 60% pada barang-barang China sebuah level yang menurut Bloomberg akan menghancurkan perdagangan di antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini.
Hambatan-hambatan baru akan berarti bahwa China mungkin perlu mencari pasar baru untuk produk-produk yang saat ini dijualnya ke AS. Tahun lalu, perusahaan-perusahaan China mengirimkan barang senilai USD500 miliar ke AS, yang merupakan 15% dari nilai seluruh ekspornya.
Zichun Huang, seorang ekonom China untuk Capital Economics, mengatakan bahwa pungutan-pungutan tersebut akan merugikan sektor ekspor China, tetapi ia memperkirakan pasar-pasar negara berkembang akan mengimbangi sebagian besar kehilangan permintaan dari AS.
Aliran ekspor telah membantu menutupi pelemahan permintaan domestik, tetapi juga memicu reaksi dari AS, Amerika Selatan, dan Eropa terhadap masuknya barang-barang murah. Sebagai tanggapan, semakin banyak negara yang menaikkan hambatan tarif terhadap barang-barang seperti baja dan kendaraan listrik.
"Hal ini mungkin sebagian didorong oleh para eksportir yang mencoba untuk mempercepat pengiriman untuk mengurangi dampak dari potensi perang dagang tahun depan," kata Zhang Zhiwei, presiden dan kepala ekonom Pinpoint Asset Management dikutip daru The Edge Malaysia, Kamis (7/11/2024).
"Saya pikir ekonomi akan sedikit membaik pada kuartal keempat, tetapi perang dagang mungkin akan dimulai pada kuartal pertama tahun depan. Kita tidak bisa mengandalkan ekspor untuk menopang perekonomian RRT."
Berdasarkan laporan, ekspor ke AS naik 8,1%, kenaikan terbesar dalam tiga bulan terakhir. Pengiriman ke sebagian besar pasar meningkat dengan kenaikan dua digit ke Asean, Uni Eropa, Afrika Selatan dan Brasil. Pengiriman ke Rusia melonjak hampir 27% pertumbuhan tercepat tahun ini.
Kembalinya Trump ke Gedung Putih akan semakin memperumit prospek kinerja perdagangan China ke depan. Presiden terpilih ini telah mengancam akan mengenakan tarif sebanyak 60% pada barang-barang China sebuah level yang menurut Bloomberg akan menghancurkan perdagangan di antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini.
Hambatan-hambatan baru akan berarti bahwa China mungkin perlu mencari pasar baru untuk produk-produk yang saat ini dijualnya ke AS. Tahun lalu, perusahaan-perusahaan China mengirimkan barang senilai USD500 miliar ke AS, yang merupakan 15% dari nilai seluruh ekspornya.
Zichun Huang, seorang ekonom China untuk Capital Economics, mengatakan bahwa pungutan-pungutan tersebut akan merugikan sektor ekspor China, tetapi ia memperkirakan pasar-pasar negara berkembang akan mengimbangi sebagian besar kehilangan permintaan dari AS.