Terungkap Kendala Utama Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang Bikin Biaya Bengkak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Progres pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) cenderung melambat, sejak mulai dibangun pada 2016 silam. Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga membeberkan, kendala utama terhambatnya mega proyek tersebut.
Tercatat pembangunan KCJB mencapai 80% dan ditargetkan beroperasi secara komersial pada 2023 mendatang. Dimana, pandemi Covid-19 membuat konstruksi KCJB menjadi terhambat.
Tak hanya itu, pembebasan lahan dan perubahan desain konstruksi pun menjadi faktor lain. Padahal, pemerintah sebelumnya memastikan proses pembebasan lahan untuk KCJB rampung pada Januari 2020.
Target itu setelah Menteri BUMN Erick Thohir membentuk satuan tugas (Satgas) proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Hal ini dilakukan dalam rangka mempercepat pengerjaan proyek strategi nasional di sektor konstruksi tersebut.
"KCIC memang saat ini kelebihan akibat kondisi Corona kemarin yaitu masalah lahan (pembebasan lahan) dan masalah perubahan desain karena kondisi geografis dan kondisi geologis itu," ujar Arya kepada wartawan, Senin (11/10/2021).
Di lain sisi, perubahan desain dan pembebasan lahan pun berdampak pada estimasi anggaran proyek. Terjadinya pembengkakan biaya (cost overrun) hingga mencapai USD4,9 miliar atau setara Rp 69 triliun.
Padahal, capital expenditure (capex) awal KCJB berada di angka USD6,07 miliar. Jumlah itu terdiri dari EPC USD4,8 miliar dan USD1,3 miliar untuk non-EPC.
"Pasti ada perubahan-perubahan desain dan ini membuat pembengkakan biaya. Selain itu harga tanah juga seiring waktu mengalami perubahan, dan ini wajar terjadi pada semua. Kedua hal ini membuat anggaran kereta cepat mengalami kenaikan," kata Arya.
Dari kajian, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebagai konsorsium proyek KCJB, pembebasan lahan menjadi permasalahan pelik. Sebab, jalur kereta yang dibangun tercatat luas dan melewati kawasan komersial atau industri.
Akibatnya, konsorsium harus mengeluarkan anggaran yang mahal untuk menggeser kawasan-kawasan tersebut. Kemudian financing cost. Perkara ini terjadi karena adanya keterlambatan pengerjaan proyek dan menyebabkan membengkaknya Interest During Construction (IDC) atau talangan bunga atas proyek yang dikerjakan.
Dari total anggaran EPC, pembebasan lahan, financing cost, biaya pre op dan lainnya kemudian menghasilkan kenaikan anggaran yang signifikan. PSBI mengestimasi Capital Output Ratio mencapai 1,9 miliar dolar AS
Sebagai alternatif percepatan pembangunan mega proyek tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengizinkan penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk dialokasikan ke dalam pembangunan KCJB.
Keputusan itu ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Arya menila, beleid tersebut menjadi langkah intervensi pemerintah untuk mempercepat proses konstruksi proyek. "Di mana-mana semua negara, pemerintah memang ikut campur dalam pendanaan kereta cepat di hampir semua negara begitu. Hanya karena masalah Covid-19 yang membuat semua ini menjadi terhambat," kata dia.
Tercatat pembangunan KCJB mencapai 80% dan ditargetkan beroperasi secara komersial pada 2023 mendatang. Dimana, pandemi Covid-19 membuat konstruksi KCJB menjadi terhambat.
Tak hanya itu, pembebasan lahan dan perubahan desain konstruksi pun menjadi faktor lain. Padahal, pemerintah sebelumnya memastikan proses pembebasan lahan untuk KCJB rampung pada Januari 2020.
Target itu setelah Menteri BUMN Erick Thohir membentuk satuan tugas (Satgas) proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Hal ini dilakukan dalam rangka mempercepat pengerjaan proyek strategi nasional di sektor konstruksi tersebut.
"KCIC memang saat ini kelebihan akibat kondisi Corona kemarin yaitu masalah lahan (pembebasan lahan) dan masalah perubahan desain karena kondisi geografis dan kondisi geologis itu," ujar Arya kepada wartawan, Senin (11/10/2021).
Di lain sisi, perubahan desain dan pembebasan lahan pun berdampak pada estimasi anggaran proyek. Terjadinya pembengkakan biaya (cost overrun) hingga mencapai USD4,9 miliar atau setara Rp 69 triliun.
Padahal, capital expenditure (capex) awal KCJB berada di angka USD6,07 miliar. Jumlah itu terdiri dari EPC USD4,8 miliar dan USD1,3 miliar untuk non-EPC.
"Pasti ada perubahan-perubahan desain dan ini membuat pembengkakan biaya. Selain itu harga tanah juga seiring waktu mengalami perubahan, dan ini wajar terjadi pada semua. Kedua hal ini membuat anggaran kereta cepat mengalami kenaikan," kata Arya.
Dari kajian, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebagai konsorsium proyek KCJB, pembebasan lahan menjadi permasalahan pelik. Sebab, jalur kereta yang dibangun tercatat luas dan melewati kawasan komersial atau industri.
Akibatnya, konsorsium harus mengeluarkan anggaran yang mahal untuk menggeser kawasan-kawasan tersebut. Kemudian financing cost. Perkara ini terjadi karena adanya keterlambatan pengerjaan proyek dan menyebabkan membengkaknya Interest During Construction (IDC) atau talangan bunga atas proyek yang dikerjakan.
Dari total anggaran EPC, pembebasan lahan, financing cost, biaya pre op dan lainnya kemudian menghasilkan kenaikan anggaran yang signifikan. PSBI mengestimasi Capital Output Ratio mencapai 1,9 miliar dolar AS
Sebagai alternatif percepatan pembangunan mega proyek tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengizinkan penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk dialokasikan ke dalam pembangunan KCJB.
Keputusan itu ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Arya menila, beleid tersebut menjadi langkah intervensi pemerintah untuk mempercepat proses konstruksi proyek. "Di mana-mana semua negara, pemerintah memang ikut campur dalam pendanaan kereta cepat di hampir semua negara begitu. Hanya karena masalah Covid-19 yang membuat semua ini menjadi terhambat," kata dia.
(akr)