Seberapa Besar Kemungkinan Garuda Pailit? Ini Kata Pengamat
loading...
A
A
A
JAKARTA - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk hingga saat ini terus berjuang melakukan restrukturisasi serta memperbaiki fundamental kinerja perseroan. Namun, di tengah semua upaya tersebut, perseroan masih dibayangi potensi kepailitan .
Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, potensi kepailitan itu didasarkan pada sejumlah fakta. Adapun fakta yang dimaksud diantaranya, Keputusan sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Garuda Indonesia ditunda.
PKPU merupakan skema restrukturisasi utang emiten pelat merah senilai Rp70 triliun yang ditempuh Kementerian BUMN sebagai pemegang saham mayoritas.
Secara regulasi, PKPU terkait erat dengan kepailitan. Dimana, kedua aspek itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UUK) 2004 pada Pasal 222 ayat (2).
Ayat tersebut mencatat, debitur yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang.
Fakta selanjutnya, kata Alvin, adalah utang perseroan yang nilainya makin membengkak dari Rp70 triliun. Secara bisnis, kata dia, beban utang itu terlalu berat.
"Jauh lebih murah membangun maskapai baru atau mengembangkan yang saat ini skalanya lebih kecil namun sehat secara finansial," katanya saat dikonfirmasi MNC Portal Indonesia, Kamis (21/10/2021).
Selanjutnya, kata dia, adalah pernyataan tegas Presiden Joko Widodo bahwa BUMN yang sakit parah agar ditutup saja. "Pernyataan Presiden Jokowi bisa diterjemahkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan bahwa Pemerintah cenderung akan lepas tangan dan membiarkan Garuda pailit dan tutup," katanya.
Di sisi implikasi, kata Alvin, gugatan yang diajukan kreditur ke pengadilan PKPU cukup valid dan kuat. Sementara, manajemen Garuda belum berhasil meyakinkan para kreditur tentang kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan kewajiban keuangannya sesuai ekspektasi dan koridor toleransi kreditur.
Selain itu, Garuda belum memperoleh kepastian berupa dukungan pendanaan dari pemerintah maupun pemegang saham lainnya, sehingga belum mampu melakukan negosiasi dan menawarkan pola restrukturisasi utang kepada kreditur penggugat.
Kondisi-kondisi tersebut, kata Alvin, berdampak terhadap keyakinan kreditur lain dan para lessors terhadap kemampuan finansial maskapai pelat merah itu, sehingga membuat negosiasi dan restrukturisasi makin berat.
"Pemerintah sudah berpengalaman menghadapi BUMN pailit seperti Merpati Nusantara, walau ada beberapa perbedaan, yaitu, skala bisnis Merpati jauh lebih kecil daripada Garuda. Kemudian, Merpati merupakan BUMN murni, sedangkan Garuda merupakan perusahaan terbuka," tuturnya.
Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, potensi kepailitan itu didasarkan pada sejumlah fakta. Adapun fakta yang dimaksud diantaranya, Keputusan sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Garuda Indonesia ditunda.
PKPU merupakan skema restrukturisasi utang emiten pelat merah senilai Rp70 triliun yang ditempuh Kementerian BUMN sebagai pemegang saham mayoritas.
Secara regulasi, PKPU terkait erat dengan kepailitan. Dimana, kedua aspek itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UUK) 2004 pada Pasal 222 ayat (2).
Ayat tersebut mencatat, debitur yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang.
Fakta selanjutnya, kata Alvin, adalah utang perseroan yang nilainya makin membengkak dari Rp70 triliun. Secara bisnis, kata dia, beban utang itu terlalu berat.
"Jauh lebih murah membangun maskapai baru atau mengembangkan yang saat ini skalanya lebih kecil namun sehat secara finansial," katanya saat dikonfirmasi MNC Portal Indonesia, Kamis (21/10/2021).
Selanjutnya, kata dia, adalah pernyataan tegas Presiden Joko Widodo bahwa BUMN yang sakit parah agar ditutup saja. "Pernyataan Presiden Jokowi bisa diterjemahkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan bahwa Pemerintah cenderung akan lepas tangan dan membiarkan Garuda pailit dan tutup," katanya.
Di sisi implikasi, kata Alvin, gugatan yang diajukan kreditur ke pengadilan PKPU cukup valid dan kuat. Sementara, manajemen Garuda belum berhasil meyakinkan para kreditur tentang kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan kewajiban keuangannya sesuai ekspektasi dan koridor toleransi kreditur.
Selain itu, Garuda belum memperoleh kepastian berupa dukungan pendanaan dari pemerintah maupun pemegang saham lainnya, sehingga belum mampu melakukan negosiasi dan menawarkan pola restrukturisasi utang kepada kreditur penggugat.
Kondisi-kondisi tersebut, kata Alvin, berdampak terhadap keyakinan kreditur lain dan para lessors terhadap kemampuan finansial maskapai pelat merah itu, sehingga membuat negosiasi dan restrukturisasi makin berat.
"Pemerintah sudah berpengalaman menghadapi BUMN pailit seperti Merpati Nusantara, walau ada beberapa perbedaan, yaitu, skala bisnis Merpati jauh lebih kecil daripada Garuda. Kemudian, Merpati merupakan BUMN murni, sedangkan Garuda merupakan perusahaan terbuka," tuturnya.
(fai)