Tanpa DMO Batu Bara, Industri Semen hingga Tekstil Bakal Sempoyongan

Sabtu, 23 Oktober 2021 - 23:57 WIB
loading...
Tanpa DMO Batu Bara,...
Pelaku industri Tanah Air ramai-ramai mendesak pemerintah untuk melakukan intervensi akibat melambungnya harga batu bara. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Pelaku industri Tanah Air ramai-ramai mendesak pemerintah untuk melakukan intervensi akibat melambungnya harga batu bara . Hal ini dinilai perlu segera dilakukan agar sektor industri tidak sempoyongan

Jika pemerintah tidak segera turun tangan, dampak bagi industri dalam negeri dikhawatirkan sangat besar. Selain akan menaikan harga jual produk karena biaya energi yang membengkak.

"Industri pupuk kemudian industri semen, industri petrokimia, tekstil, merupakan industri-industri yang memang padat energi. Jadi, kalau energinya naik dua kali lipat, ya bisa dibayangkan. Kalau misalnya porsi untuk biaya energi 30%, kalau naik dua kali lipat kan lumayan itu. Ke harga produknya lumayan juga," ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro kepada wartawan.



Selama ini, kebijakan capping harga batu bara Domestic Market Obligation (DMO) yang sebesar USD70 per metric ton hanya untuk sektor kelistrikan umum atau hanya untuk PLN saja. Akibatnya, saat harga batu bara global melambung seperti sekarang, banyak industri dalam negeri yang selama ini menggunakan batu bara seperti industri semen, petrokimia, tekstil, mengalami kesulitan.

Pasalnya, harga batu bara DMO yang mereka beli dari penambang dalam negeri tetap mengacu pada harga global. Apalagi, selama ini mayoritas batu bara Indonesia digunakan untuk ekspor.

Tahun 2021 ini, dari target produksi 625 juta ton, yang terserap pasar domestik maksimal hanya sekitar 150 juta ton. Artinya, masih ada 450 juta ton lebih yang diekspor.

“Jadi, cukuplah dapat untung dari yang 450 juta ton. Sisanya untuk domestik agar daya saing industri dalam negeri lebih bagus,” tandasnya.

Karena itu, kata Komaidi untuk menjaga daya saing industri dalam negeri, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap harga jual batu bara untuk industri non kelistrikan umum. Kebijakan tersebut, setidaknya berlaku selama harga batu bara yang saat ini sedang melambung tinggi.

Komaidi menegaskan, jika harga produknya naik, sudah pasti akan menurunkan daya saing industri. Kalau daya saing turun, pendapatannya pasti juga turun. Kalau turun impact-nya nanti ke pemerintah juga. Pendapatan pajak dan non pajaknya turun juga.

“Hal yang sangat dikhawatirkan, kalau harga produk naik dan daya saing lemah, akan membuat perusahaan mengurangi modal kerja. Itu tentu ada impact ke pengurangan tenaga kerja. Itu yang tidak kita harapkan," tandasnya.

Terkait capping harga, Komaidi mengatakan kalau pun tidak sama dengan PLN di level USD70 per metric ton, bisa lebih tinggi misalnya USD80 per ton.

"Poinya adalah industri non kelistrikan umum perlu diberi harga DMO. Apakah sama dengan PLN atau tidak, tergantung pertimbangan pemerintah di dalam memberikan fasilitas tersebut,” ujarnya.

Yang pasti, mau tidak mau pemerintah harus turun tangan mengambil kebijakan yang bersifat darurat untuk menjaga keberlangsungan industri pengguna.

“Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah gejolak harga barang strategis seperti produk semen, tekstil, pupük, baja, kertas, dan lainnya,” ujar Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso.

Sebagai salah satu industri yang cukup besar menggunakan batu bara sebagai bahan bakar di tanur putar (KILN), industri semen sangat merasakan dampaknya.

Selama ini, biaya produksi komponen batu bara mencapai 30-35%. Tidak mengherankan jika biaya produksi naik hingga 25-30% karena harga batu bara yang melambung. Ini diperparah dengan terkendalanya pasokan batu bara dan proses pengiriman ke lokasi pabrik semen.

“Bayangkan saja, stok balu bara di pabrik hanya bertahan 1-2 minggu saja yang seharusnya minimum sampai 3 minggu. Ini akan berdampak pada jalannya produksi dan volume produksi semen terganggu,” ujarnya.

Di sisi lain, Widodo mengingatkan pemerintah terkait pentingnya peranan semen dalam program infrastruktur nasional. “Ini perlu pertimbangan pemerintah, karena bila harga semen naik, dampaknya akan ke pembangunan perumahan rakyat, kenaikan biaya infrastruktur, dampak industry dalam negeriserta proyek-proyek strategis nasional,” pungkasnya.



Sementara itu, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) juga mulai sempoyongan karena harus merogoh kantong lebih dalam untuk ongkos produksi. Yang cukup mencengangkan seperti dipaparkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita.

“Ada 2 pabrik yang mematikan pembangkit listriknya. Sedangkan 6 pabrik lagi mengurangi kapasitas pembangkitnya. Semua ada di Tangerang, Karawang dan Purwakarta. Kondisi ini akan semakin parah jika pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan terkait DMO batu bara,” ujarnya.

Untuk pabrik yang mematikan pembangkit listriknya, kini beralih ke PLN. Menurut Redma langkah ini mau tidak mau dilakukan banyak pabrik tekstil karena harga batu bara sudah terlampau tinggi.

Harga batu bara yang berada di atas USD170 per metric ton telah membuat industri tekstil pusing karena biaya produksi meningkat. Selama ini, bagi produsen serat dan benang filamen, kebutuhan batu bara bukan hanya digunakan sebagai sumber energi, namun juga bahan baku dari gasifikasi batu bara.

Karena itu, ongkos energi berkontribusi hingga 25% dari keseluruhan struktur biaya industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), dengan sektor serat dan filamen menjadi pengguna terbesar. “Yang pasti kita terkena dua kali pukulan, yakni untuk cost energi dan harga bahan baku akibat harga batu bara juga,” ujar Redma.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2032 seconds (0.1#10.140)