Sri Mulyani Beberkan Efek Domino yang Picu Krismon 1998

Senin, 25 Oktober 2021 - 05:01 WIB
loading...
Sri Mulyani Beberkan Efek Domino yang Picu Krismon 1998
Menkeu Sri Mulyani. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membeberkan bagaimana kondisi pasca krisis moneter (krismon) tahun 1998 silam. Menkeu menilai krisis terjadi akibat makro ekonomi yang diambil negara-negara ASEAN dengan industrialisasi berorientasi ekspor yang cukup kompetitif.

"Sehingga dia (negara-negara ASEAN) selalu bisa mendapatkan devisa dari ekspornya, waktu itu sebagian dari sisi fundamental ekonomi juga sudah cukup kompetitif namun makro kebijakan itu ditopang terutama dari sisi moneter adalah kebijakan nilai tukar yang fix atau tetap sehingga dolar terus menerus tetap terhadap local currency," ujar Sri Mulyani dalam Keynote Speech peluncuran Buku 25 Tahun Kontan: Melintasi 3 Krisis Multidimensi, dikutip Senin (25/10/2021).



Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, krisis moneter dipicu dengan fenomena current account deficit (CAD) di negara-negara di ASEAN dan Asia Timur termasuk Korea Selatan. Ini terjadi karena itu berhubungan dengan capital account langsung.

"Jadi capital flow-nya bebas tetapi nilai tukarnya fix dan kemudian terjadilah CAD. Di mana CAD itu mencapai level yang disebut biasanya 3 persen sebagai trigger dianggap negara itu mungkin tidak sustainable," ujarnya.

Sustainable itu sendiri dilihat dari sisi apakah kebijakan diambil negara-negara konsisten. Sehingga kemudian munculnya fenomena yang mendapatkan keuntungan besar dari nilai tukar yang dia ambil dari negara yang nilai tukarnya tidak sustainable. Sehingga nilai tukarnya rugi tidak bisa dipertahankan, akibat CAD semakin mengalami penurunan.

Itulah yang kemudian nilai tukarnya mengalami koreksi yang koreksinya mendalam, trigger-nya terjadi efek domino. "Jadi kalau kita lihat krisis pertama adalah krisis yang di-trigger oleh neraca pembayaran karena rezim nilai tukar yang fix," ujarnya.



Dengan kondisi berubah ini, maka efek dominonya adalah kepada perusahaan-perusahaan dan perbankan yang meminjam di negara-negara luar termasuk Indonesia.

Sebab, jika perusahaan atau perbankan meminjam dalam bentuk dolar di luar negeri karena nilai tukarnya murah, begitu nilai tukarnya dikoreksi dari Rp2.500 menjadi Rp5.000, menjadi Rp7.500, menjadi Rp10.000 bahkan jadi Rp17.000 maka akan berdampak kepada kondisi keuangan.

"Kalau utang kita berlipat ganda walaupun tadi utangnya sama tetapi nilai tukar berubah maka penerimaan ada yang dalam bentuk rupiah menjadi tidak bisa mampu untuk membayarnya kembali," jelas dia.

Oleh karenanya, bendahara negara itu melihat krisis terjadi pertama saat itu karena nilai tukar yang fix. Semua perusahaan bank dan korporasi besar sebelumnya mereka pinjam, maka terkena duluan.

"Maka krisis pertama itu ditandai dengan tidak hanya di sektor riil tetapi sektor perbankan. Negara itu sistem keuangan yang pasti terkena secara langsung makanya yang terjadi adalah krisis moneter disebutnya. Jadi ini krisis pertama penyebabnya sangat spesifik," pungkasnya.
(ind)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1845 seconds (0.1#10.140)