Lawan Peredaran Barang KW

Senin, 01 November 2021 - 06:43 WIB
loading...
Lawan Peredaran Barang KW
Peredaran barang asli tapi palsu masih marak ditemukan di dalam negeri. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Peredaran barang palsu atau KW di Tanah Air kian marak. Seiring berkembangnya transaksi elektronik melalui e-commerce , perdagangan barang KW juga makin tak terkendali.

Saking maraknya peredaran barang KW, Indonesia sampai hari ini masih sulit melepaskan predikat sebagai negara dengan pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI) kategori sangat berat. Indonesia menyandang status Priority Watch List (PWL) yang diterbitkan pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui United States Trade Representative (USTR).

Predikat ini tidak hanya memperburuk citra Indonesia di mata internasional sebagai negara yang menjadi “surga” perdagangan barang palsu. Lebih dari itu, kerugian besar harus ditanggung perusahaan pemilik merek asli dan terutama konsumen sebagai pengguna.



Sejatinya, sudah banyak upaya yang sudah dilakukan pemerintah. Namun, perang melawan produk KW ini ibarat menggantang asap, nyaris sia-sia. Satu pelaku ditangkap dan dipidana, muncul banyak pelaku lainnya. Apa yang membuat Indonesia terkesan tidak berdaya dalam memerangi peredaran produk palsu yang melanggar hak kekayaan intelektual ini?

Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi menyebut ada banyak alasan yang membuat produk KW sulit diperangi. Satu di anataranya karena minimnya pemahaman dan literasi konsumen terkait apa itu produk KW.

Celakanya, kebanyakan masyarakat memahami istilah KW seolah tingkatan dari kualitas produk. Akibatnya, menggunakan produk KW pun dianggap biasa saja karena persoalan hanya pada ‘kasta” dari kualitas barang.



“Padahal itu pemahaman yang salah. KW itu kan hanya bahasa yang dihaluskan. KW itu artinya bukan barang dengan kualitas nomor 2, itu barang palsu. Kalau ada merek yang sama tapi dikeluarkan oleh perusahaan berbeda itu artinya pemalsuan. Terjadi pelanggaran hak kekayaan intelektual dan itu tindakan pidana,” ujarnya saat dihubungi kemarin.

Dia pun menandaskan, maraknya peredaran barang palsu tidak terlepas dari hukum suplay and demand. Penyuplai adalah perusahan pemalsu merek, sedangkan deman-nya adalah masyarakat konsumen. “Mereka ingin menggunakan merek tertentu karena ada tuntutan life style, gaya, orang seperti ini yang disasar oleh perusahaan pemalsu merek,” katanya.

Sularsi juga mengungkapkan, barang KW tetap laku karena tiga sebab. Pertama karena informasi salah yang tersampaikan dari mulut ke mulut hingga hari ini. Walhasil. penggunaan barang KW menjadi kebiasaan dan menjadi budaya. Padahal barang KW adalah produk palsu dan senyata pemalsuan.

Kedua, perusahaan pemalsu merek yang terus muncul. Sularsih mengatakan pemilik produk original memang sering melakukan gugatan. Misalnya perusahaan A menggugat perusahaan B yang memalsukan mereknya. Tapi perusahaan lain seperti perusahaan B tersebut terus tumbuh di tempat lain, bisa jadi oleh orang yang berbeda. “Ini yang bikin lelah,” ujarnya.

Penyebab ketiga, lanjutnya, m penegakan hukum yang masih sangat lemah. Sularsi mengatakan, peredaran barang KW bisa diminimalkan jika penegakan hukum tegas. Dia meminta aparat penegakan hukum tidak pandang bulu. Jangan hanya pelaku kalangan usaha kecil yang ditindak sedangkan perusahaan besar seolah dibiarkan.

“Prioritaskan hulu untuk pelanggaran hak intelektualnya, itu yang diselesaikan, jangan hanya yang di hilir, pedagang kecil, itu juga tidak adil,” paparnya.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani menegaskan pemerintah berkomitmen menghentikan peredaran barang palsu dan bajakan yang selama ini beredar di pasaran, baik yang dijual secara luring (offline) maupun daring (online).

Pihaknya pun siap mendukung dalam pengawasan dan penindakan selama adanya pengaturan yang tegas terkait kepastian boleh atau tidak penjualan barang palsu atau bajakan. Hal itu akan memastikan nantinya tindakan yang tepat dalam mengawasi produk ekspor-impor yang melanggar ketentuan.

“Harus ditetapkan oleh kementerian terkait supaya ada kepastian penyikapannya, apakah dilarang atau diperbolehkan, baik terkait domestik maupun ekspor-impornya. Dari pengaturan tersebut menjadi basis bea cukai untuk mengawasi ekspor-impornya,” tutur Askolani saat dihubungi KORAN SINDO, kemarin.

Dia menyebut sinergi lintassektoral sudah dilakukan dalam memerangi barang KW ini. Beberapa pekan lalu, Ditjen Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM sudah melakukan perjanjian kerja sama (PKS) dengan Bareskrim Polri.

Kerja sama pemberantasan barang bajakan ini juga melibatkan lima e-commerce terbesar di Indonesia, yakni Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Shopee, dan Lazada. Adapun peran Bea Cukai, lanjut Askolani, yaitu melakukan pengawasan terhadap ekspor-impor barang palsu.

“Bea cukai akan men-support hal tersebut. Tetapi pengaturan lebih lanjut menurut kami perlu juga diperkuat untuk memperjelas perdagangan di dalam negeri serta perdagangan luar negerinya terhadap barang-barang palsu tersebut,” kata dia.

Substansi dari kerja sama itu mengutamakan pertukaran data antara DJKI dengan Ditjen Bea Cukai. Lewat sinergi itu, ia berharap dapat menambah populasi daftar hak cipta di lembaganya yang masih minim. Hingga saat ini, hak cipta yang sudah direkomendasi di Bea Cukai berjumlah 16 merek dan satu hak cipta dari lima perusahaan yang terdiri atas empat perusahaan dari dalam negeri dan satu asing.

Askolani lebih lanjut menjelaskan, pihaknya sejauh ini telah menindak pelanggaran kekayaan intelektual di wilayah kepabeanan. Ada dua merek barang yang terbukti melanggar kekayaan intelektual dan berhasil digagalkan di dua pelabuhan.

Penindakan pertama dilakukan pada 2019 terhadap produk palsu berupa pulpen Standard AE7 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Kemudian pada 2020, penindakan dilakukan di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang berupa ratusan produk cukur rambut merek Gillete.

Hal itu ditegaskan juga dari laporan kinerja tahunan DJKI Kemenkumham di tahun lalu, di mana Ditjen Bea Cukai bersama instansi terkait telah melakukan pemeriksaan fisik barang impor yang dicurigai melanggar HaKI merek terdaftar di Pelabuhan Tanjung Emas pada Oktober 2020. Pemeriksaan ini bermula dari temuan petugas bea cukai Tanjung Emas berupa 185 karton yang berisi 390.000 tangkai pisau cukur dan 521.280 kepala pisau cukur yang diimpor oleh PT LBA dari China.

Adapun Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) membuka pintu bagi pihak manapun, termasuk pengaduan terhadap produk palsu atau bajakan. Namun, Ketua Komisi Advokasi BPKN Rolas Budiman Sitinjak menilai belum ada laporan yang masuk dari masyarakat, pelaku usaha, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) terkait maraknya peredaran produk palsu (KW) terutama yang melanggar HKI.

“Sampai sekarang, belum ada pengaduan masyarakat ke kami. Seharusnya kalau memang barangnya dipalsukan, harusnya pelaku usaha bisa mengadukan. Sejauh ini belum ada,” kata Rolas saat dihubungi kemarin.

Peredaran barang palsu yang melanggar HKI diakuinya merupakan sebuah fakta yang tidak dimungkiri masih marak terjadi. Namun, menurut Rolas, pemerintah sudah membuat regulasi atau aturan main, termasuk melakukan sosialisasi agar membeli produk asli ketimbang bajakan.

Rolas mengungkapkan, pada dasarnya undang-undang yang berkaitan dengan HKI lebih berasaskan pada delik aduan, di mana harus ada terlebih dahulu pihak yang mengadu. “Artinya, harus ada dari korban. Sementara, kalaupun yang disebut para korban itu masyarakat, padahal masyarakat sudah tahu yang dibeli itu KW 1, KW 2, KW 3, KW super, artinya enggak asli kan. Menurut saya, pelaku usaha yang harusnya lebih banyak melakukan edukasi kepada konsumennya masing-masing,” ujarnya.

Rolas kemudian menegaskan dukunganya kepada pemerintah untuk menindak tegas terhadap produk palsu yang marak dijual, baik di toko offline maupun online. Dia mengapresiasi kinerja pemerintah yang sudah berupaya keras dalam melindungi HKI, termasuk melakukan razia dan penindakan terhadap pelanggar.

“Ditjen HKI sudah cukup oke, mereka sangat kooperatif ketika ada pengaduan yang masuk. Jadi tahun 2022 diadakan razia, penegakan dan lain-lain itu sah-sah saja. Tapi dari tahun-tahun sebelumnya, pemerintah, Ditjen HKI sudah bekerja keras,” terang dia.

Kendati demikian, imbuh Rolas, yang paling penting ke depan yaitu bagaimana meningkatkan kemampuan pendapatan masyarakat sehingga bisa membeli barang yang asli. Memang barang asli umumnya lebih mahal. Selain itu, bagaimana para pelaku usaha untuk menjual barangnya tidak terlalu mahal sehingga produknya tidak dipalsukan.

“Tapi yang paling penting menurut kami, cari jalan tengahnya saja. Jadi masyarakat bisa menikmati barang branded, tapi kalau bisa harganya juga jangan terlalu mahal,” pungkasnya.

Lobi AS
Pemerintah melobi Amerika Serikat agar mengeluarkan Indonesia dari status PWL. Indonesia berharap bisa keluar dari PWL dan menuju Watch List karena status tersebut disadari merugikan.

Di saat yang sama dengan tidak menyandang status PWL, diharapkan banyak manfaat yang datang di antaranya perbaikan citra Indonesia sebagai bangsa bermartabat yang menghargai hak intelektual. Selain itu, meminimalkan kerugian ekonomi karena status PWL bisa membuat investor enggan berinvestasi.

Selain itu, upaya penyadaran juga dilakukan. DJKI berupaya menyadarkan masyarakat, pedagang, serta pengelola perbelanjaan agar tidak memperjualbelikan barang palsu dan bajakan. Salah satunya dilakukan di pusat perbelanjaan Mangga Dua, Jakarta.

“Langkah persuasif dilakukan agar pedagang yang diduga menjajakan barang yang melanggar kekayaan intelektual memiliki kesempatan untuk berhenti menjual barang palsu,” kata Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa DJKI Anom Wibowo melalui keterangan tertulis pekan lalu.

Tindakan tegas akan diambil pemerintah mulai tahun depan jika ditemukan penjual dan pedagang yang menjajakan barang palsu. Sosialisasi disebutnya berjalan hingga Desember 2021. Selanjutnya penegakan hukum secara tegas dimulai Januari 2022.

Dia memberi imbauan kepada para pedagang yang memproduksi barangnya sendiri, ataupun mengimpor barang dari luar negeri agar menjual menggunakan merek sendiri, tidak memakai merek pihak lain. “Kalau Anda ingin menjual barang, ya jangan mencantumkan merek terkenal atau merek yang sudah terdaftar, pakai saja merek sendiri,” ucap Anom.

Anom menekankan jangan sampai ada orang yang memiliki sertifikat kekayaan intelektual namun pedagang lain menjual barang yang mirip dengan kualitas yang berbeda. “Itu namanya kejahatan,” katanya.

Dia pun berharap, dengan langkah tersebut Indonesia dapat menekan peredaran barang palsu dan terlepas dari status PWL. “Kita harus keluar dari status tersebut. Mudah-mudahan, tahun depan, Indonesia bisa keluar dari status itu, dan kita mulai dari Mangga Dua dulu,” kata Anom.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1566 seconds (0.1#10.140)