Peter Gontha: Saya Harus Infokan, Kalau Tidak Erick Thohir yang Disalahkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Komisaris PT Garuda Indonesia Tbk, Peter Gontha kembali membuka luka lama atau permasalahan di internal emiten penerbangan pelat merah itu. Kali ini dia menyebut pesawat Boeing 737 Max tersandung kasus korupsi.
Meski begitu, Peter enggan merincikan lebih jauh dugaan korupsi yang membawa nama Dewan Direksi Garuda Indonesia sebelumnya.
"Cerita ini MenBUMN (Menteri BUMN, Erick Thohir) mungkin tidak informasikan, ini harus saya kasih tau, karena kalau tidak Pak Erick Thohir yang disalahkan," ujar Peter melalui akun instagramnya, dikutip Rabu (3/11/2021).
Awalnya, antara tahun 20013 atau 2014, Peter mengklaim dirinya pernah menolak menandatangani kontrak pesawat Boeing 737 Max. Dia beralasan, lessor atau perusahaan penyewa pesawat hanya memberikan waktu 1x24 kepada Dewan Direksi dan Komisaris untuk melakukan evaluasi dan penandatanganan.
Sementara, nilai kontrak pesawat melebihi USD 3 miliar atau setara Rp 42,8 triliun (Kurs 14.300 per USD) untuk 50 armada. Tapi berjalannya waktu, Peter justru ikut menandatangani kontrak dengan alasan dipaksakan.
"Gila kan, hanya 24 jam. Karena dipaksa dengan alasan saya harus tanda tangan kalau tidak menjadi (dissenting) gagal pembeliannya," terangnya.
Peter akhirnya menandatangani kontrak pesawat Garuda Indonesia jenis Boeing 737 Max itu. Meski demikian, dia mengklaim dikucilkan Direksi lantaran memberi beberapa catatan, khususnya waktu evaluasi pesawat yang terhitung pendek.
"Saksi hidup masih banyak. Tanyakan saja! Juga jejak digitalnya saya ada!," tuturnya.
Meski begitu, Peter enggan merincikan lebih jauh dugaan korupsi yang membawa nama Dewan Direksi Garuda Indonesia sebelumnya.
"Cerita ini MenBUMN (Menteri BUMN, Erick Thohir) mungkin tidak informasikan, ini harus saya kasih tau, karena kalau tidak Pak Erick Thohir yang disalahkan," ujar Peter melalui akun instagramnya, dikutip Rabu (3/11/2021).
Awalnya, antara tahun 20013 atau 2014, Peter mengklaim dirinya pernah menolak menandatangani kontrak pesawat Boeing 737 Max. Dia beralasan, lessor atau perusahaan penyewa pesawat hanya memberikan waktu 1x24 kepada Dewan Direksi dan Komisaris untuk melakukan evaluasi dan penandatanganan.
Sementara, nilai kontrak pesawat melebihi USD 3 miliar atau setara Rp 42,8 triliun (Kurs 14.300 per USD) untuk 50 armada. Tapi berjalannya waktu, Peter justru ikut menandatangani kontrak dengan alasan dipaksakan.
"Gila kan, hanya 24 jam. Karena dipaksa dengan alasan saya harus tanda tangan kalau tidak menjadi (dissenting) gagal pembeliannya," terangnya.
Peter akhirnya menandatangani kontrak pesawat Garuda Indonesia jenis Boeing 737 Max itu. Meski demikian, dia mengklaim dikucilkan Direksi lantaran memberi beberapa catatan, khususnya waktu evaluasi pesawat yang terhitung pendek.
"Saksi hidup masih banyak. Tanyakan saja! Juga jejak digitalnya saya ada!," tuturnya.