Tanggulangi Perubahan Iklim, Kementerian ESDM Rumuskan Sejumlah Kebijakan Sektor Energi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia menyatakan komitmen yang kuat untuk berperan dalam menanggulangi perubahan iklim dunia. Langkah ini tengah diperkuat dengan perumusan sejumlah kebijakan, khususnya di sektor energi.
Hal ini diungkap Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sahid Junaidi saat diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk Presidensi G20: EBT Indonesia Menuju Net Zero Emission 2060, Selasa (23/11/2021).
Komitmen ini juga disampaikan saat Conference of Parties (COP) ke-26 di Glasgow, UK, beberapa waktu lalu. “Bagi kami di Kementerian ESDM, juga bagi masyarakat Indonesia, konferensi itu (COP 26) sangat penting karena menambah ambisi, menambah komitmen untuk segera bertransformasi kepada Energi Baru Terbarukan (EBT),” katanya.
(Baca juga:Libatkan Ribuan Pengunjung, Paviliun Indonesia Dukung Diplomasi Perubahan Iklim)
Penanganan perubahan iklim harus selalu digaungkan Indonesia demi mencapai target penurunan emisi maupun Net Zero Emission (NZE) atau netralitas karbon yang ditargetkan akan tercapai di 2060 atau lebih awal.
Sebagai wujud dari ambisi besar tersebut, pemerintah telah merumuskan peta jalan menuju netral karbon di 2060 atau lebih cepat sesuai Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience/LTS-LCCR).
Sahid menambahkan, kondisi energi di Indonesia saat ini menunjukkan jika konsumsi minyak lebih besar dibandingkan produksinya. Konsumsi minyak mencapai sekitar 1,5 juta bopd/barel of oil per day (barel minyak per hari). Sedangkan tingkat produksi hanya sekitar 700 bopd.
Ia menjelaskan, energi fosil masih mendominasi bauran energi primer di Indonesia. Pada 2020, batu bara masih mendominasi pangsa pemanfaatan energi nasional yakni sebesar 38,0%, minyak bumi 31,6%, gas alam 19,2%, dan EBT sebesar 11,2%.
(Baca juga:KLHK: KTT Perubahan Iklim Hasilkan The Glasgow Climate Pact)
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 1.469 MW dengan kenaikan rata-rata sebesar 4% per tahunnya, dengan tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT Januari-September 2021 sebesar 386 MW.
Mengacu pada pernyataan Presiden, “Sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia, posisi Indonesia sangat menentukan dan strategis dalam menangani perubahan iklim. Presiden RI Joko Widodo pun telah menjelaskan bahwa Indonesia menargetkan Net Sink Carbon dan Net Zero pada Tahun 2060 atau lebih cepat.
Sementara itu, PT Perusahaan Listrik Negera (PLN) tengah mengurangi penggunaan energi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Langkah ini dimulai pada tahun ini.
“Tidak ada pembangunan PLTU yang baru, terkecuali pembangunan PLTU yang sudah terkontrak yang merupakan sisa dari penuntasan 35.000 MW tahap dua,” ujar Manajer Pengelolaan Perubahan Iklim PT PLN Kamia Handayani.
(Baca juga:Manfaatkan Jaringan Atasi Krisis Perubahan Iklim)
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada 2021-2030, PLN telah merencanakan peta jalan atau roadmap dengan menambahkan instalasi listrik baru dengan mengutamakan penggunaan teknologi EBT.
Hal ini juga, kata Kamia, senada dengan visi Indonesia yang berkomitmen mencapai NZE yang ditargetkan dapat mencapai pada 2060 mendatang. Dalam mendukung hal tersebut, dalam RUPTL pada 2021-2030 akan menambahkan sebanyak 40,6 gigawatt (GW). Dari jumlah tersebut, nantinya sebanyak 26,6 GW akan diperuntukkan khusus bagi pembangkit listrik yang menggunakan teknologi EBT atau setara dengan 66%. Sedangkan sisanya sekitar 14 GW masih akan menggunakan teknologi PLTU yang berbahan baku batu bara atau setara dengan 34%.
Teknologi EBT yang dimaksud antara lain penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang akan ditingkatkan mencapai 3,3 GW atau setara dengan 8%, Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) ditingkatkan menjadi 5,8 GW atau setara 14%, Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang ditingkatkan menjadi 10,3 GW atau setara 26%. Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) yang akan menjadi 4,6 GW atau setara 12%, dan Pembangkit listrik tenaga EBT yang ditingkatkan menjadi 1,5 GW atau setara dengan 4%.
Vice Chairman I Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Chairani Rachmatullah mengatakan Kementerian ESDM dan PLN telah merumuskan peta jalan menuju NZE di 2060. “Untuk memastikan pencapaianya, kami di MKI melihat masih banyak hal lain yang perlu dipersiapkan,” kata Vice Chairman I MKI, Chairani Rachmatullah.
Menurut dia, hal mendasar yang perlu disiapkan adalah model bisnis yang tepat untuk menjaga sustainability PLN sebagai penyelenggara layanan kelistrikan Indonesia. Di mana dari 64 gigawatt (GW) di Indonesia ini hampir 90% di kelola PLN. Maka menjaga kehandalan layanan kelistrikan dianggap sangat penting sekali.
Ia menyebutkan, program transformasi yang fokus pada green lean, inovatif, customer focused yang selalu disampaikan PLN patut dihargai sebagai upaya sebuah korporasi untuk menjaga keberlanjutan usahanya. Termasuk bagaimana PLN menyusun suatu rencana green RUPTL dan inovasi eksekusinya agar target 23% EBT 2025 dapat tercapai.
Hal ini diungkap Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sahid Junaidi saat diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk Presidensi G20: EBT Indonesia Menuju Net Zero Emission 2060, Selasa (23/11/2021).
Komitmen ini juga disampaikan saat Conference of Parties (COP) ke-26 di Glasgow, UK, beberapa waktu lalu. “Bagi kami di Kementerian ESDM, juga bagi masyarakat Indonesia, konferensi itu (COP 26) sangat penting karena menambah ambisi, menambah komitmen untuk segera bertransformasi kepada Energi Baru Terbarukan (EBT),” katanya.
(Baca juga:Libatkan Ribuan Pengunjung, Paviliun Indonesia Dukung Diplomasi Perubahan Iklim)
Penanganan perubahan iklim harus selalu digaungkan Indonesia demi mencapai target penurunan emisi maupun Net Zero Emission (NZE) atau netralitas karbon yang ditargetkan akan tercapai di 2060 atau lebih awal.
Sebagai wujud dari ambisi besar tersebut, pemerintah telah merumuskan peta jalan menuju netral karbon di 2060 atau lebih cepat sesuai Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience/LTS-LCCR).
Sahid menambahkan, kondisi energi di Indonesia saat ini menunjukkan jika konsumsi minyak lebih besar dibandingkan produksinya. Konsumsi minyak mencapai sekitar 1,5 juta bopd/barel of oil per day (barel minyak per hari). Sedangkan tingkat produksi hanya sekitar 700 bopd.
Ia menjelaskan, energi fosil masih mendominasi bauran energi primer di Indonesia. Pada 2020, batu bara masih mendominasi pangsa pemanfaatan energi nasional yakni sebesar 38,0%, minyak bumi 31,6%, gas alam 19,2%, dan EBT sebesar 11,2%.
(Baca juga:KLHK: KTT Perubahan Iklim Hasilkan The Glasgow Climate Pact)
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 1.469 MW dengan kenaikan rata-rata sebesar 4% per tahunnya, dengan tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT Januari-September 2021 sebesar 386 MW.
Mengacu pada pernyataan Presiden, “Sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia, posisi Indonesia sangat menentukan dan strategis dalam menangani perubahan iklim. Presiden RI Joko Widodo pun telah menjelaskan bahwa Indonesia menargetkan Net Sink Carbon dan Net Zero pada Tahun 2060 atau lebih cepat.
Sementara itu, PT Perusahaan Listrik Negera (PLN) tengah mengurangi penggunaan energi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Langkah ini dimulai pada tahun ini.
“Tidak ada pembangunan PLTU yang baru, terkecuali pembangunan PLTU yang sudah terkontrak yang merupakan sisa dari penuntasan 35.000 MW tahap dua,” ujar Manajer Pengelolaan Perubahan Iklim PT PLN Kamia Handayani.
(Baca juga:Manfaatkan Jaringan Atasi Krisis Perubahan Iklim)
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada 2021-2030, PLN telah merencanakan peta jalan atau roadmap dengan menambahkan instalasi listrik baru dengan mengutamakan penggunaan teknologi EBT.
Hal ini juga, kata Kamia, senada dengan visi Indonesia yang berkomitmen mencapai NZE yang ditargetkan dapat mencapai pada 2060 mendatang. Dalam mendukung hal tersebut, dalam RUPTL pada 2021-2030 akan menambahkan sebanyak 40,6 gigawatt (GW). Dari jumlah tersebut, nantinya sebanyak 26,6 GW akan diperuntukkan khusus bagi pembangkit listrik yang menggunakan teknologi EBT atau setara dengan 66%. Sedangkan sisanya sekitar 14 GW masih akan menggunakan teknologi PLTU yang berbahan baku batu bara atau setara dengan 34%.
Teknologi EBT yang dimaksud antara lain penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang akan ditingkatkan mencapai 3,3 GW atau setara dengan 8%, Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) ditingkatkan menjadi 5,8 GW atau setara 14%, Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang ditingkatkan menjadi 10,3 GW atau setara 26%. Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) yang akan menjadi 4,6 GW atau setara 12%, dan Pembangkit listrik tenaga EBT yang ditingkatkan menjadi 1,5 GW atau setara dengan 4%.
Vice Chairman I Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Chairani Rachmatullah mengatakan Kementerian ESDM dan PLN telah merumuskan peta jalan menuju NZE di 2060. “Untuk memastikan pencapaianya, kami di MKI melihat masih banyak hal lain yang perlu dipersiapkan,” kata Vice Chairman I MKI, Chairani Rachmatullah.
Menurut dia, hal mendasar yang perlu disiapkan adalah model bisnis yang tepat untuk menjaga sustainability PLN sebagai penyelenggara layanan kelistrikan Indonesia. Di mana dari 64 gigawatt (GW) di Indonesia ini hampir 90% di kelola PLN. Maka menjaga kehandalan layanan kelistrikan dianggap sangat penting sekali.
Ia menyebutkan, program transformasi yang fokus pada green lean, inovatif, customer focused yang selalu disampaikan PLN patut dihargai sebagai upaya sebuah korporasi untuk menjaga keberlanjutan usahanya. Termasuk bagaimana PLN menyusun suatu rencana green RUPTL dan inovasi eksekusinya agar target 23% EBT 2025 dapat tercapai.
(dar)