Langkah Strategis Pertamina Melanjutkan Bangun Kilang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid 19 berdampak pada kinerja operasional dan keuangan perusahaan, namun PT Pertamina (Persero) akan terus melanjutkan pembangunan kilang karena proyek tersebut sangat strategis untuk masa depan pemenuhan energi nasional.
Direktur Megaproyek Pengolahan & Petrokimia, Ignatius Tallulembang, menjelaskan bahwa membangun kilang merupakan keharusan dan keniscayaan bagi suatu negara. Secara global, hampir semua negara dengan dengan populasi yang besar mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar domestik secara mandiri dalam rangka menjamin ketersediaan energi atau security of supply.
“Langkah tersebut tidak bisa ditawar. Bahkan pada negara yang tidak menghasilkan crude sekalipun mereka juga tetap memprioritaskan membangun kilang. Sehingga di negara maju, umumnya mereka untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri menggunakan produksi dalam kilang sendiri dan telah zero import,” ujarnya.
Ignatius Tallulembang menambahkan, Singapura dengan penduduk sebanyak 5 juta orang, memiliki kapasitas produksi kilang mencapai 1,5 juta barel per hari, lebih besar dari kapasitas produksi kilang Indonesia saat ini yakni sekitar 1 juta barel per hari. Hal ini dapat dipahami, karena keberadaan kilang memiliki profitabiltas yang tinggi.
“Kami juga telah melakukan kajian dan evaluasi. Hasilnya, membangun kilang akan memberikan nilai tambah atau profitabilitas baik bagi perusahaan maupun negara,” imbuhnya.
Mengenai arti strategis upgrading kilang eksisting atau Refinery Development Master Plan (RDMP), dan pembangunan kilang baru atau dan Grass Root Refinery (GRR) Pertamina, Ignatius memaparkan, proyek yang digagas sejak sekitar tahun 2014 dilatarbelakangi sejumlah persoalan energi yang dihadapi Indonesia.
Untuk memenuhi optimum capacity kilang, crude yang diperlukan tidak cukup dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Sebagian besar crude impor merupakan sour crude dengan kandungan sulfur yang tinggi. Sementara kilang Pertamina dirancang untuk mengolah sweet crude, yaitu crude yang memiliki kandungan sulfur lebih rendah.
"Karenanya, kilang kita perlu penyesuaian agar lebih mudah dan efisien dalam mengolah crude dalam maupun luar negeri," tegas Ignatius.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal tersebut juga berhubungan dengan kondisi kilang Indonesia yang sebagian besar sudah tua dengan teknologi lama dan kompleksitas lebih rendah sehingga perlu segera dilakukan modifikasi untuk meningkatkan daya saingnya.
Tantangan lainnya, menyangkut supply and demand. Saat ini Pertamina memiliki lima kilang yakni Balikpapan, Cilacap, Balongan, Dumai, Plaju dan satu kilang kecil di Sorong, dengan total produksi BBM sekitar 680 ribu barel per hari. Sementara konsumsi BBM nasional sejak tahun 2017 telah mencapai 1,4 juta barel per hari.
Direktur Megaproyek Pengolahan & Petrokimia, Ignatius Tallulembang, menjelaskan bahwa membangun kilang merupakan keharusan dan keniscayaan bagi suatu negara. Secara global, hampir semua negara dengan dengan populasi yang besar mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar domestik secara mandiri dalam rangka menjamin ketersediaan energi atau security of supply.
“Langkah tersebut tidak bisa ditawar. Bahkan pada negara yang tidak menghasilkan crude sekalipun mereka juga tetap memprioritaskan membangun kilang. Sehingga di negara maju, umumnya mereka untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri menggunakan produksi dalam kilang sendiri dan telah zero import,” ujarnya.
Ignatius Tallulembang menambahkan, Singapura dengan penduduk sebanyak 5 juta orang, memiliki kapasitas produksi kilang mencapai 1,5 juta barel per hari, lebih besar dari kapasitas produksi kilang Indonesia saat ini yakni sekitar 1 juta barel per hari. Hal ini dapat dipahami, karena keberadaan kilang memiliki profitabiltas yang tinggi.
“Kami juga telah melakukan kajian dan evaluasi. Hasilnya, membangun kilang akan memberikan nilai tambah atau profitabilitas baik bagi perusahaan maupun negara,” imbuhnya.
Mengenai arti strategis upgrading kilang eksisting atau Refinery Development Master Plan (RDMP), dan pembangunan kilang baru atau dan Grass Root Refinery (GRR) Pertamina, Ignatius memaparkan, proyek yang digagas sejak sekitar tahun 2014 dilatarbelakangi sejumlah persoalan energi yang dihadapi Indonesia.
Untuk memenuhi optimum capacity kilang, crude yang diperlukan tidak cukup dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Sebagian besar crude impor merupakan sour crude dengan kandungan sulfur yang tinggi. Sementara kilang Pertamina dirancang untuk mengolah sweet crude, yaitu crude yang memiliki kandungan sulfur lebih rendah.
"Karenanya, kilang kita perlu penyesuaian agar lebih mudah dan efisien dalam mengolah crude dalam maupun luar negeri," tegas Ignatius.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal tersebut juga berhubungan dengan kondisi kilang Indonesia yang sebagian besar sudah tua dengan teknologi lama dan kompleksitas lebih rendah sehingga perlu segera dilakukan modifikasi untuk meningkatkan daya saingnya.
Tantangan lainnya, menyangkut supply and demand. Saat ini Pertamina memiliki lima kilang yakni Balikpapan, Cilacap, Balongan, Dumai, Plaju dan satu kilang kecil di Sorong, dengan total produksi BBM sekitar 680 ribu barel per hari. Sementara konsumsi BBM nasional sejak tahun 2017 telah mencapai 1,4 juta barel per hari.