Kaya Bahan Baku Baterai Kendaraan Listrik, Semestinya RI Jadi Pemain Global
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dukungan PT. Aneka Tambang ( Antam ) dinilai sangat penting dalam menyukseskan program produksi massal baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) pada 2025 mendatang.
Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai, Indonesia tidak hanya mampu menjadi produsen, tetapi juga sangat memenuhi syarat untuk menjadi pemain global dalam industri ini.
“Bahan baku untuk baterai kendaraan listrik itu kita sangat kaya raya. Sehingga sudah semestinya Indonesia menjadi pemain global di sektor baterai mobil listrik ini,” kata Redi kepada wartawan di Jakarta, Jumat (10/12/2021).
Salah satu syaratnya kata dia, semua stake holders, terutama empat BUMN yakni PT Aneka Tambang Tbk (Antam), Industri Pertambangan Mind ID (Inalum), PT Pertamina (Persero), dan PT PLN (Persero) dapat memaksimalkan perannya masing-masing.
Terlebih lagi menurutnya PT Antam sangat tepat jika terlibat penuh, mengingat bahwa bergerak di sektor tambang, dan menghasilkan bijih nikel yang merupakan bahan baku dari EV. Bahkan, Redi juga mendukung jika EV ini nantinya bisa menjadi leading sektor PT Antam.
“Menteri BUMN sudah membentuk Indonesia Battery Corporation ya. Di situ ada Mind ID, Pertamina, PLN, dan Antam. Nah, karena ini terkait dengan komoditas tambang, maka PT Antam punya legal standing karena memiliki sumber baku EV ini, sehingga ini bisa menjadi leading sector Antam, karena EV itu memang berkaitan dengan bijih nikel,” jelasnya.
Apalagi, kata Redi, yang mesti dilakukan PT Antam, termasuk perusahaan BUMN lainnya, adalah bagaimana meningkatkan nilai tambah.
“Yang harus dipikirkan adalah bagaimana menciptakan nilai tambah. Saya kira Antam bisa terlibat dan memaksimalkan upaya nilai tambah ini, serta turut menjadi pemain global, karena kita punya bahan bakunya,” tambahnya.
Redi juga menegaskan, bahwa ini momentum yang sangat baik bagi bangsa ini. Sehingga jangan sampai Indonesia melepaskan momentum ini.
“Pemerintah ya harus lebih cepat lagi geraknya, DPR juga pengawasannya harus lebih maksimal, dan tentu manajemen dan direksi dari BUMN yang terlibat, agar bekerja keras. Jadi kita harus jadi raja baterai listrik apalagi permintaan baterai listrik ini makin hari kan makin tinggi seiring dengan meningkatnya industri mobil listrik. Jadi EV ini sudah menjadi kebutuhan otomotif sedunia ini,” tandasnya.
Redi juga setuju dengan UU Minerba yang melarang ekspor bijih nikel keluar negeri. Hal itu kata dia, juga merupakan momentum agar keberadaannya di dalam negeri lebih dimaksimalkan lagi.
“Karena kalau kita lama-lama ekspor bijih nikel keluar, malah bisa jadi negara lain yang memanfaatkan dari sumber daya Indonesia. Sama seperti dulu, sumber daya kita diekspor ke luar negeri, dan oleh negara lain dioleh kembali, sehingga kita hanya jadi penonton. Jadi menurut saya kuncinya kita perlu manajemen yang lebih baik lagi dan juga harus ada insentif dari pemerintah," paparnya.
Diketahui, Indonesia Battery Corporation (IBC) menyatakan sudah menyiapkan berbagai tahapan untuk memproduksi massal EV pada 2025. Mulai tahap penambangan (mining) hingga prasarana untuk daur ulang (recycle) baterai diprediksi siap pakai pada 2025.
IBC menyatakan, pada tahap awal, membutuhkan waktu 4-5 tahun untuk memproduksi EV. Dalam tahapan itu, IBC juga melakukan kajian dan membangun smelter, membuat Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dan High Pressure Acid Leaching (HPAL), hingga menyiapkan pabrik daur ulang.
Seluruh proses itu ditargetkan akan selesai pada 2025. Sementara menunggu proses tersebut rampung IBC juga berupaya meningkatkan daya jual EV di masyarakat, serta mengoptimalkan pasar motor listrik karya anak bangsa, Gesits.
Sebagai informasi, holding baterai kendaraan listrik ini dibangun oleh empat BUMN yakni Industri Pertambangan Mind ID (Inalum), PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero). Komposisi saham masing-masing sebesar 25%.
Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai, Indonesia tidak hanya mampu menjadi produsen, tetapi juga sangat memenuhi syarat untuk menjadi pemain global dalam industri ini.
“Bahan baku untuk baterai kendaraan listrik itu kita sangat kaya raya. Sehingga sudah semestinya Indonesia menjadi pemain global di sektor baterai mobil listrik ini,” kata Redi kepada wartawan di Jakarta, Jumat (10/12/2021).
Salah satu syaratnya kata dia, semua stake holders, terutama empat BUMN yakni PT Aneka Tambang Tbk (Antam), Industri Pertambangan Mind ID (Inalum), PT Pertamina (Persero), dan PT PLN (Persero) dapat memaksimalkan perannya masing-masing.
Terlebih lagi menurutnya PT Antam sangat tepat jika terlibat penuh, mengingat bahwa bergerak di sektor tambang, dan menghasilkan bijih nikel yang merupakan bahan baku dari EV. Bahkan, Redi juga mendukung jika EV ini nantinya bisa menjadi leading sektor PT Antam.
“Menteri BUMN sudah membentuk Indonesia Battery Corporation ya. Di situ ada Mind ID, Pertamina, PLN, dan Antam. Nah, karena ini terkait dengan komoditas tambang, maka PT Antam punya legal standing karena memiliki sumber baku EV ini, sehingga ini bisa menjadi leading sector Antam, karena EV itu memang berkaitan dengan bijih nikel,” jelasnya.
Apalagi, kata Redi, yang mesti dilakukan PT Antam, termasuk perusahaan BUMN lainnya, adalah bagaimana meningkatkan nilai tambah.
“Yang harus dipikirkan adalah bagaimana menciptakan nilai tambah. Saya kira Antam bisa terlibat dan memaksimalkan upaya nilai tambah ini, serta turut menjadi pemain global, karena kita punya bahan bakunya,” tambahnya.
Redi juga menegaskan, bahwa ini momentum yang sangat baik bagi bangsa ini. Sehingga jangan sampai Indonesia melepaskan momentum ini.
“Pemerintah ya harus lebih cepat lagi geraknya, DPR juga pengawasannya harus lebih maksimal, dan tentu manajemen dan direksi dari BUMN yang terlibat, agar bekerja keras. Jadi kita harus jadi raja baterai listrik apalagi permintaan baterai listrik ini makin hari kan makin tinggi seiring dengan meningkatnya industri mobil listrik. Jadi EV ini sudah menjadi kebutuhan otomotif sedunia ini,” tandasnya.
Redi juga setuju dengan UU Minerba yang melarang ekspor bijih nikel keluar negeri. Hal itu kata dia, juga merupakan momentum agar keberadaannya di dalam negeri lebih dimaksimalkan lagi.
“Karena kalau kita lama-lama ekspor bijih nikel keluar, malah bisa jadi negara lain yang memanfaatkan dari sumber daya Indonesia. Sama seperti dulu, sumber daya kita diekspor ke luar negeri, dan oleh negara lain dioleh kembali, sehingga kita hanya jadi penonton. Jadi menurut saya kuncinya kita perlu manajemen yang lebih baik lagi dan juga harus ada insentif dari pemerintah," paparnya.
Diketahui, Indonesia Battery Corporation (IBC) menyatakan sudah menyiapkan berbagai tahapan untuk memproduksi massal EV pada 2025. Mulai tahap penambangan (mining) hingga prasarana untuk daur ulang (recycle) baterai diprediksi siap pakai pada 2025.
IBC menyatakan, pada tahap awal, membutuhkan waktu 4-5 tahun untuk memproduksi EV. Dalam tahapan itu, IBC juga melakukan kajian dan membangun smelter, membuat Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dan High Pressure Acid Leaching (HPAL), hingga menyiapkan pabrik daur ulang.
Seluruh proses itu ditargetkan akan selesai pada 2025. Sementara menunggu proses tersebut rampung IBC juga berupaya meningkatkan daya jual EV di masyarakat, serta mengoptimalkan pasar motor listrik karya anak bangsa, Gesits.
Sebagai informasi, holding baterai kendaraan listrik ini dibangun oleh empat BUMN yakni Industri Pertambangan Mind ID (Inalum), PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero). Komposisi saham masing-masing sebesar 25%.
(akr)