Harga LPG Mandek, Pengamat: Pertamina Patra Niaga Rugi Ratusan Miliar per Bulan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Harga minyak dunia yang terus meningkat telah mengerek naik harga acuan LPG, Contract Price Aramco (CPA) yang pada awal tahun sekitar USD538/MT menjadi sekitar USD847/MT saat ini. Namun demikian, harga LPG di dalam negeri, termasuk yang nonsubsidi belum mengalami perubahan sejak 2017.
Dengan perkembangan harga tersebut, pengamat energi Sofyano Zakaria memperkirakan Pertamina Patra Niaga, anak usaha Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan olahan minyak bumi, harus menelan kerugian yang tidak sedikit.
"Jika Pertamina Patra Niaga menetapkan HPP LPG, khususnya yang nonsubsidi 12 kg dan 5,5 kg pada CPA USD538/MT, maka dengan harga CPA di angka USD800-an/MT saat ini, perusahaan akan merugi sebesar kurang lebih Rp5.000/kg, atau sekitar Rp291 miliar per bulan. Itu dengan volume LPG yang disalurkan sekitar 58.300 MT per bulan," ungkapnya melalui keterangan tertulis, Senin (13/12/2021).
Hal itu, lanjut dia, seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya, salah satu subholding PT Pertamina (Persero) itu berdasarkan undang-undang bukan lagi BUMN yang dapat merugi karena menanggung penugasan dari pemerintah. "Dengan status yang bukan BUMN, janggal jika Patra Niaga tetap melanjutkan bisnis nonsubsidi yang mengalami kerugian. Ini harusnya bisa dipermasalahkan oleh Pertamina selaku induknya," kata Sofyano.
Setidaknya, lanjut Sofyano, Patra Niaga perlu melakukan penyesuaian harga agar tidak lagi merugi dalam bisnis LPG nonsubsidi tersebut. Terlebih, tegas dia, pengguna produk ini adalah golongan mampu yang semestinya tidak perlu disubsidi.
"Kemudian, mengingat LPG nonsubsidi penggunaannya hanya sekitar 700.000 MT/tahun, atau sekitar 58.300 MT/bulan atau hanya sekitar 7,5% dari total volume penggunaan LPG secara nasional, tidak ada salahnya ketika harga LPG CPA tinggi seperti saat ini Patra Niaga menaikkan harga jual," sambungnya.
Kendati demikian, Sofyano menilai akan sangat bijak jika kenaikan harga jual LPG nonsubsidi dilakukan secara bertahap. "Misalnya untuk tahap awal naik Rp2.000/kg, namun Patra Niaga harus menjamin kenaikan harga pada masyarakat tidak lebih dari itu," tandasnya.
Dengan perkembangan harga tersebut, pengamat energi Sofyano Zakaria memperkirakan Pertamina Patra Niaga, anak usaha Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan olahan minyak bumi, harus menelan kerugian yang tidak sedikit.
"Jika Pertamina Patra Niaga menetapkan HPP LPG, khususnya yang nonsubsidi 12 kg dan 5,5 kg pada CPA USD538/MT, maka dengan harga CPA di angka USD800-an/MT saat ini, perusahaan akan merugi sebesar kurang lebih Rp5.000/kg, atau sekitar Rp291 miliar per bulan. Itu dengan volume LPG yang disalurkan sekitar 58.300 MT per bulan," ungkapnya melalui keterangan tertulis, Senin (13/12/2021).
Hal itu, lanjut dia, seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya, salah satu subholding PT Pertamina (Persero) itu berdasarkan undang-undang bukan lagi BUMN yang dapat merugi karena menanggung penugasan dari pemerintah. "Dengan status yang bukan BUMN, janggal jika Patra Niaga tetap melanjutkan bisnis nonsubsidi yang mengalami kerugian. Ini harusnya bisa dipermasalahkan oleh Pertamina selaku induknya," kata Sofyano.
Setidaknya, lanjut Sofyano, Patra Niaga perlu melakukan penyesuaian harga agar tidak lagi merugi dalam bisnis LPG nonsubsidi tersebut. Terlebih, tegas dia, pengguna produk ini adalah golongan mampu yang semestinya tidak perlu disubsidi.
"Kemudian, mengingat LPG nonsubsidi penggunaannya hanya sekitar 700.000 MT/tahun, atau sekitar 58.300 MT/bulan atau hanya sekitar 7,5% dari total volume penggunaan LPG secara nasional, tidak ada salahnya ketika harga LPG CPA tinggi seperti saat ini Patra Niaga menaikkan harga jual," sambungnya.
Kendati demikian, Sofyano menilai akan sangat bijak jika kenaikan harga jual LPG nonsubsidi dilakukan secara bertahap. "Misalnya untuk tahap awal naik Rp2.000/kg, namun Patra Niaga harus menjamin kenaikan harga pada masyarakat tidak lebih dari itu," tandasnya.
(fai)