Kisruh Batubara Momentum Perbaikan Tata Kelola Energi di Masa Transisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Krisis pasokan batubara untuk pembangkit listrik dan industri di dalam negeri menjadi pelajaran mahal akan pentingnya ketahanan energi nasional. Kondisi ini juga seharusnya juga menjadi momentum bagi pemangku kepentingan dalam memperbaiki tata kelola komoditas sumber daya alam (SDA) terutama bagi sektor energi yang menjadi motor penggerak ekonomi.
Tahun ini, sektor energi dipastikan akan menghadapi tantangan cukup besar. Selain kecenderungan harga komoditas yang terus bergerak naik, isu transisi energi juga mendapat perhatian serius. Tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di tataran global.
Sejak dua tahun terakhir, transisi energi terus digaungkan. Tujuan utamanya adalah untuk mendukung energi bersih sesuai pesan dari konferensi tingkat tinggi (KTT) Iklim yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030.
Penggunaan energi bersih memang suatu keniscayaan. Cepat atau lambat, implementasi energi hijau yang bersumber dari sumber-sumber ramah lingkungan akan terjadi. Tak ayal, perhatian pun kini tertuju pada sumber energi primer berupa fosil yang masih menjadi andalan pasokan energi di bumi Pertiwi.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, saat ini bauran energi nasional masih didominasi sumber energi fosil berupa batu bara sebanyak 38%, minyak bumi 31,6%, gas alam 19,2% dan energi baru terbarukan (EBT) 11,2%. Dengan komposisi tersebut, sangat jelas apabila porsi energi yang berasal dari fosil yakni minyak dan batu bara masih sangat dominan yakni 69,6%. Adapun untuk porsi EBT, seiring dengan program transisi energi, pemerintah telah menargetkan bauran EBT ditargetkan mencapai 23% pada 2025.
Melihat data di atas, pantas kiranya apabila Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan agar para pihak terkait seperti pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki domain di sektor energi untuk mempercepat transisi energi menjadi ke energi ramah lingkungan. Pernyataan Presiden bisa jadi karena merujuk pada besarnya potensi SDA ramah lingkungan yang dimiliki.
Sebut saja misalnya, potensi panas bumi yang mencapai 23,9 gigawat (atau 23.900 Megawat/MW) namun baru termanfaatkan sekitar 2.130 MW saja. Demikian juga tenaga surya yang potensinya mencapai 207.800 MW, namun baru termanfaatkan 182,3 megawatt peak (MWp). Di samping itu ada pula tenaga bayu (angin) yang potensinya mencapai 60.600 MW dan baru dimanfaatkan 154,3 MW. Kemudian, bioenergy yang potensinya 65.200 MW dan baru dimanfaatkan 1.916,4 MW. Adapun tenaga hidro dan gelombang samudera potensinya masing-masing mencapai 75.000 MW dan 17.900 MW. Untuk tenaga hidro baru termanfaatkan sebesar 6.286 MW, sementara sumber energi dari gelombang samudera sama sekali belum digarap.
Melihat potensi besar tersebut, ada optimisme yang besar bahwa Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalan dalam memanfaatkan sumber-sumber energi bersih. Akan tetapi, harus diingat bahwa potensi besar energi ramah lingkungan itu akan sangat tergantung pada kondisi kondisi cuaca dan musim. Sehingga apabila ingin menjadikan sistem energi yang memasok secara kontinu selama 24 jam sehari, harus dibarengi teknologi penyimpanan yang memadai.
Misalnya saja pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang akhir-akhir ini digembar-gemborkan bisa menjadi alternatif sebagai pengganti listrik dari batu bara. Untuk menghasilkan listrik, rata-rata PLTS ini maksimal hanya efektif menyerap sinar matahari maksimal delapan jam per hari. Sementara untuk malam hari dipastikan tidak bisa memproduksi listrik, kecuali ada penyimpanan energi berupa baterai berkapasitas besar untuk memasok listrik sepanjang malam. Ini tentu saja berbeda dengan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara yang bisa membangkitkan listriknya kapan saja.
Tahun ini, sektor energi dipastikan akan menghadapi tantangan cukup besar. Selain kecenderungan harga komoditas yang terus bergerak naik, isu transisi energi juga mendapat perhatian serius. Tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di tataran global.
Sejak dua tahun terakhir, transisi energi terus digaungkan. Tujuan utamanya adalah untuk mendukung energi bersih sesuai pesan dari konferensi tingkat tinggi (KTT) Iklim yang diinisiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030.
Penggunaan energi bersih memang suatu keniscayaan. Cepat atau lambat, implementasi energi hijau yang bersumber dari sumber-sumber ramah lingkungan akan terjadi. Tak ayal, perhatian pun kini tertuju pada sumber energi primer berupa fosil yang masih menjadi andalan pasokan energi di bumi Pertiwi.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, saat ini bauran energi nasional masih didominasi sumber energi fosil berupa batu bara sebanyak 38%, minyak bumi 31,6%, gas alam 19,2% dan energi baru terbarukan (EBT) 11,2%. Dengan komposisi tersebut, sangat jelas apabila porsi energi yang berasal dari fosil yakni minyak dan batu bara masih sangat dominan yakni 69,6%. Adapun untuk porsi EBT, seiring dengan program transisi energi, pemerintah telah menargetkan bauran EBT ditargetkan mencapai 23% pada 2025.
Melihat data di atas, pantas kiranya apabila Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan agar para pihak terkait seperti pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki domain di sektor energi untuk mempercepat transisi energi menjadi ke energi ramah lingkungan. Pernyataan Presiden bisa jadi karena merujuk pada besarnya potensi SDA ramah lingkungan yang dimiliki.
Sebut saja misalnya, potensi panas bumi yang mencapai 23,9 gigawat (atau 23.900 Megawat/MW) namun baru termanfaatkan sekitar 2.130 MW saja. Demikian juga tenaga surya yang potensinya mencapai 207.800 MW, namun baru termanfaatkan 182,3 megawatt peak (MWp). Di samping itu ada pula tenaga bayu (angin) yang potensinya mencapai 60.600 MW dan baru dimanfaatkan 154,3 MW. Kemudian, bioenergy yang potensinya 65.200 MW dan baru dimanfaatkan 1.916,4 MW. Adapun tenaga hidro dan gelombang samudera potensinya masing-masing mencapai 75.000 MW dan 17.900 MW. Untuk tenaga hidro baru termanfaatkan sebesar 6.286 MW, sementara sumber energi dari gelombang samudera sama sekali belum digarap.
Melihat potensi besar tersebut, ada optimisme yang besar bahwa Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalan dalam memanfaatkan sumber-sumber energi bersih. Akan tetapi, harus diingat bahwa potensi besar energi ramah lingkungan itu akan sangat tergantung pada kondisi kondisi cuaca dan musim. Sehingga apabila ingin menjadikan sistem energi yang memasok secara kontinu selama 24 jam sehari, harus dibarengi teknologi penyimpanan yang memadai.
Misalnya saja pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang akhir-akhir ini digembar-gemborkan bisa menjadi alternatif sebagai pengganti listrik dari batu bara. Untuk menghasilkan listrik, rata-rata PLTS ini maksimal hanya efektif menyerap sinar matahari maksimal delapan jam per hari. Sementara untuk malam hari dipastikan tidak bisa memproduksi listrik, kecuali ada penyimpanan energi berupa baterai berkapasitas besar untuk memasok listrik sepanjang malam. Ini tentu saja berbeda dengan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara yang bisa membangkitkan listriknya kapan saja.