Pandemi Corona, Bank Thailand Ramai-ramai Akusisi Perbankan Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di tengah pandemi virus corona banyak perusahaan yang aktivitas bisnisnya meredup. Bahkan ada yang diantaranya yang sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Meski kondisi bisnis tengah menurun, bukan berarti pemilik (pemegang saham) perusahaan berdiam diri. Sebaliknya di tengah pagebluk Corona ada banyak perusahaan yang melakukan aksi korporasi cukup strategis, seperti akusisi. Siapa saja mereka ?
Bank Maspion misalnya, oleh sang pemilik Alim Markus, telah disiapkan untuk diakuisisi oleh KVision (Kasikorn Vision Co. Ltd ) perusahaan asal Thailand. KVision merupakan anak perusahaan dari Kasikornbank Public Company Limited. Kasikornbank merupakan pemegang saham 9,99% PT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS) sejak 2017. Melalui Conditional Sales and Purchase Agreement (CSPA) atau perjanjian jual beli bersyarat yang ditandatangani 13 April 2020 lalu, diketahui Alim Markus siap melepas 30,01% saham BMAS. (Baca juga: BRI Bantu Pelaku Bisnis Money Changer Terdampak Corona )
Pihak Kasikornbank, menurut data yang disampikan Bursa Efek Indonesia, akan membeli saham Bank Maspion dari beberapa pihak. Dari PT Alim Investindo, sebesar 13,56%. Alim Investindo sendiri memiliki 62,01% saham BMAS. Lalu dari PT Maspion (kepemilikan 12,46 %), sebesar 7,07%. Kasikornbank juga membeli saham BMAS dari PT Husin Investama sebesar, 2,81%. PT Maspion Investindo sebanyak 2,46% dan lima pemegang saham individual dengan total sebesar 4,11%. Dari 30,01% saham BMAS itu setara dengan 1.333.482.808 lembar saham. Berdasarkan harga pembukaan saham BMAS di BEI pada 23 April sebesar Rp 300 per saham, maka Kasikornbank harus merogoh kocek sekitar Rp 400 miliar. (Baca: Wall Street Berakhir Naik, Dow Menguat Hampir 2 Persen )
Dijelaskan oleh Presiden Direktur Maspion Group Alim Markus, penjulaan saham Bank Maspion ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat modal serta pengembangan perusahaan, khususnya di bidang IT (Informasi & Teknologi). Bank Maspion mencatatkan laba setelah pajak sebesar Rp 59,52 miliar pada tahun 2019. Itu mengacu pada laporan bulanan per Desember. Sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya tercatat sebesar Rp 71,01 miliar. Memasuki 2020, pada maret 2020 BMAS mampu membukukan laba Rp 16,7 miliar lebih tinggi dari laba yang di cetak pada Maret 2019, sebesar Rp 15,05 miliar.
Permata Dibeli Bangkok Bank
Perbankan asal Negeri Gajah Putih memang terlihat begitu agresif membeli bank di Indonesia. Sebelumnya dalam Rapat Umum Pemegang Saham Bangkok Bank (Bangkok Bank Public Company Limited) yang di gelar awal Maret 2020 di Bangkok Thailand, para pemegang member lampi hijau kepada perseroan untuk membeli 89,12% saham PT Bank Permata Tbk (BNLI). Seperti diketahui Bank Permata dimiliki oleh PT Astra International Tbk (ASII) dan Standard Chartered Bank. Lalu pada 23 April 2020, pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUSPLB) Bank Permata, rencana akuisisi saham perseroan oleh Bangkok Bank disetujui oleh pemegang saham Bank Permata.
Menurut Sekretaris Perusahaan Astra International Gita Tiffani Boer, perseroan bersama Standard Chartered dan Bangkok Bank telah menandatangani amendment to conditional sales purchase agreement pada 20 April 2020. Dalam CSPA tersebut transaksi penjualan saham BNLI ditargetkan tuntas sebelum 30 Juni 2020. Seperti diketahui sejak 2018 lalu Standard Chartered memang ingin melepas kepemilikan sahamnya di Bank Permata. Sejumlah korporasi besar pun sempat tertarik untuk membeli BNLI. Sebut saja Bank BRI, DBS Bank bank terbesar di Singapura, lalu ada Bank Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) yang juga asal Singapura dan Sumitomo Mitsui Financial Group Inc (SMBC) asal Jepang. Namun akhirnya saham BNLI berlabuh di Bangkok Bank.
Nama Bangkok Bank baru muncul sebagai kandidat pembeli Bank Permata di akhir tahun 2019. Saat itu Bangkok Bank menandatangani CPSA pada 12 Desember 2019. Dalam perjanjian ini harga saham Bank Permata disepakati seebsar 1,77 kali dari book value. Transaksi harus diselesaikan paling lambat 12 bulan setelah CPSA di tandatangani. Berdasarkan kesepakatan ini harga beli Bank Permata ada di angka Rp37,43 triliun.
Dalam perjalanannya, akibat merosotnya kondisi bisnis global, baik karena perang dagang maupun Virus Corona, pemegang saham lama pun menawarkan diskon harga beli kepada Bangkok Bank. Berdasarkan revisi CPSA yang ditandatanagni 23 April , harga jual Bank Permata menjadi hanya 1,63 kali book value atau totalnya menjadi sekitar Rp34 Triliun. Lebih murah Rp3,43 Triliun, namun penyelesian transaksinya lebih cepat, yakni sebelum 30 Juni 2020. Dari kesepakatan ini, Bangkok Bank berhasil membeli Bank Permata dengan harga lebih murah. Sementara Astra Internasional dan Standard Chartered bakal mendapatkan dana segar lebih cepat dari kesepakatan sebelumnya.
Grup Salim Punya Bank Lagi
Pertengahan April lalu (14/4) juga jadi waktu yang penting bagi Group Salim. Saat itu, Pieter Tanuri dan perusahaannya PT Philadel Terra Lestari mengumumkan mundur dari pemegang saham pengendali terakhir (PSPT) dan pemegang saham pengendali (PSP) pada PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA). Pengunduran diri Philadel Terra Lestari sebagai PSP dan Pieter Tanuri sebagai PSPT disampaikan oleh Direktur Utama Bank Ina Perdana, Daniel Budirahayu.
Pengunduran diri itu membuat Anthoni Salim kini menjadi satu-satunya pemegang saham pengendali terakhir (ultimate shareholder) dan PT Indolife Pensiontama menjadi pemegang saham pengendali BINA. Setelah terpaksa melepas Bank BCA saat Krismon 1998, kini Salim Group benar-benar memiliki sekaligus menjadi satu-satunya pengendali utama sebuah bank yang tercatat di BEI.
Sebenarnya Anthony Saim dan PT Indolife Pensiontama sudah menjadi PSPT dan PSP Bank Ina sejak awal Januari lalu. Namun saat itu Anthony dan Indolife bukan satu-satunya PSPT dan PSP Bank Ina, sebab masih ada Pieter Tanuri dan perusahaannya PT Philadel yang juga menjadi PSPT dan PSP di bank tersebut. Berdasarkan aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Antony Salim dan PT Indolife harus menyesuaikan kepemilikan saham sesuai peraturan OJK. Anthony Salim diminta menyesuaikan kepemilikan saham melalui perusahaan terkait sesuai dengan batas maksimum kepemilikan saham oleh satu pihak. Demikian pula dengan kepemilikan saham PT Indolife Pensiontama yang saat ini mencapai 48.9% atau sudah melampaui batas maksimal kepemilikan. Ini mengindikasikan dalam waktu dekat akan ada perubahan kepemilikan saham di tubuh Bank Ina.
Jalan Group Salim untuk memiliki sekaligus menjadi pengendali utama Bank Ina, sudah dimulai sejak 2017. Setelah BINA melakukanrights issue, bank ini pun mendapatdana segar Rp 695,41 miliar. Dari right issue ini muncul dua pemegang saham baru, yakni PT Samudra Biru dan PT Gaya Hidup Masa. Dua perushan ini masih terafiliasi dengan Group Salim. Per April 2017, komposisi pemegang Saham Bank Ina sebagai berikut. Indolife sebanyak 22,47%, Liontrust S/A NS ASEAN Financial S Fund sebesar 18,29%, Samudra Biru 16,51%, Gaya Hidup 12,48%, DBS Bank Ltd S/A LTSL AS Trustee of NS Financial Fund 10,49%, dan PT Philadel Terra Lestari 9,64%.
Pada Januari 2017, Grup Salim mewujudkan niatnya membeli saham Bank Ina Perdana. Grup Salim membeli 29,02% saham Bank Ina lewat NS Financials Fund sebesar 10,58% saham dan melalui NS Asean Financial Fund sebesar 18,44%. Adapun pada Januari 2020 lalu, mayoritas kepemilikan saham Bank Ina Perdana dipegang oleh Indolife Pensiontama sebesar 22,47%. Liontrust S/A NS Asean Financials Fund menggenggan 18,29% dan PT Samudra Biru memiliki 16,51% saham Bank Ina Perdana. Lalu, DBS Bank LTD S/S LTSL AS Trustee of NS Financial Fund menggenggam 10,49%. PT Gaya Hidup Masa Kini memegang 9,98% dan Philadel Terra Lestari memiliki 9,64%. Sementara, masyarakat memiliki 12,62%.
Setelah memiliki Bank Ina, Grup Salim berencana akan meningkatkan status menjadi bank BUKU (bank umum kelompok usaha) IIIdengan modal inti Rp 5 triliun hingga di bawah Rp 30 triliun. Dan mulai tahun depan bank Ina akan disapkan untuk menjadi bank devisa.
Bank Maspion misalnya, oleh sang pemilik Alim Markus, telah disiapkan untuk diakuisisi oleh KVision (Kasikorn Vision Co. Ltd ) perusahaan asal Thailand. KVision merupakan anak perusahaan dari Kasikornbank Public Company Limited. Kasikornbank merupakan pemegang saham 9,99% PT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS) sejak 2017. Melalui Conditional Sales and Purchase Agreement (CSPA) atau perjanjian jual beli bersyarat yang ditandatangani 13 April 2020 lalu, diketahui Alim Markus siap melepas 30,01% saham BMAS. (Baca juga: BRI Bantu Pelaku Bisnis Money Changer Terdampak Corona )
Pihak Kasikornbank, menurut data yang disampikan Bursa Efek Indonesia, akan membeli saham Bank Maspion dari beberapa pihak. Dari PT Alim Investindo, sebesar 13,56%. Alim Investindo sendiri memiliki 62,01% saham BMAS. Lalu dari PT Maspion (kepemilikan 12,46 %), sebesar 7,07%. Kasikornbank juga membeli saham BMAS dari PT Husin Investama sebesar, 2,81%. PT Maspion Investindo sebanyak 2,46% dan lima pemegang saham individual dengan total sebesar 4,11%. Dari 30,01% saham BMAS itu setara dengan 1.333.482.808 lembar saham. Berdasarkan harga pembukaan saham BMAS di BEI pada 23 April sebesar Rp 300 per saham, maka Kasikornbank harus merogoh kocek sekitar Rp 400 miliar. (Baca: Wall Street Berakhir Naik, Dow Menguat Hampir 2 Persen )
Dijelaskan oleh Presiden Direktur Maspion Group Alim Markus, penjulaan saham Bank Maspion ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat modal serta pengembangan perusahaan, khususnya di bidang IT (Informasi & Teknologi). Bank Maspion mencatatkan laba setelah pajak sebesar Rp 59,52 miliar pada tahun 2019. Itu mengacu pada laporan bulanan per Desember. Sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya tercatat sebesar Rp 71,01 miliar. Memasuki 2020, pada maret 2020 BMAS mampu membukukan laba Rp 16,7 miliar lebih tinggi dari laba yang di cetak pada Maret 2019, sebesar Rp 15,05 miliar.
Permata Dibeli Bangkok Bank
Perbankan asal Negeri Gajah Putih memang terlihat begitu agresif membeli bank di Indonesia. Sebelumnya dalam Rapat Umum Pemegang Saham Bangkok Bank (Bangkok Bank Public Company Limited) yang di gelar awal Maret 2020 di Bangkok Thailand, para pemegang member lampi hijau kepada perseroan untuk membeli 89,12% saham PT Bank Permata Tbk (BNLI). Seperti diketahui Bank Permata dimiliki oleh PT Astra International Tbk (ASII) dan Standard Chartered Bank. Lalu pada 23 April 2020, pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUSPLB) Bank Permata, rencana akuisisi saham perseroan oleh Bangkok Bank disetujui oleh pemegang saham Bank Permata.
Menurut Sekretaris Perusahaan Astra International Gita Tiffani Boer, perseroan bersama Standard Chartered dan Bangkok Bank telah menandatangani amendment to conditional sales purchase agreement pada 20 April 2020. Dalam CSPA tersebut transaksi penjualan saham BNLI ditargetkan tuntas sebelum 30 Juni 2020. Seperti diketahui sejak 2018 lalu Standard Chartered memang ingin melepas kepemilikan sahamnya di Bank Permata. Sejumlah korporasi besar pun sempat tertarik untuk membeli BNLI. Sebut saja Bank BRI, DBS Bank bank terbesar di Singapura, lalu ada Bank Oversea-Chinese Banking Corp (OCBC) yang juga asal Singapura dan Sumitomo Mitsui Financial Group Inc (SMBC) asal Jepang. Namun akhirnya saham BNLI berlabuh di Bangkok Bank.
Nama Bangkok Bank baru muncul sebagai kandidat pembeli Bank Permata di akhir tahun 2019. Saat itu Bangkok Bank menandatangani CPSA pada 12 Desember 2019. Dalam perjanjian ini harga saham Bank Permata disepakati seebsar 1,77 kali dari book value. Transaksi harus diselesaikan paling lambat 12 bulan setelah CPSA di tandatangani. Berdasarkan kesepakatan ini harga beli Bank Permata ada di angka Rp37,43 triliun.
Dalam perjalanannya, akibat merosotnya kondisi bisnis global, baik karena perang dagang maupun Virus Corona, pemegang saham lama pun menawarkan diskon harga beli kepada Bangkok Bank. Berdasarkan revisi CPSA yang ditandatanagni 23 April , harga jual Bank Permata menjadi hanya 1,63 kali book value atau totalnya menjadi sekitar Rp34 Triliun. Lebih murah Rp3,43 Triliun, namun penyelesian transaksinya lebih cepat, yakni sebelum 30 Juni 2020. Dari kesepakatan ini, Bangkok Bank berhasil membeli Bank Permata dengan harga lebih murah. Sementara Astra Internasional dan Standard Chartered bakal mendapatkan dana segar lebih cepat dari kesepakatan sebelumnya.
Grup Salim Punya Bank Lagi
Pertengahan April lalu (14/4) juga jadi waktu yang penting bagi Group Salim. Saat itu, Pieter Tanuri dan perusahaannya PT Philadel Terra Lestari mengumumkan mundur dari pemegang saham pengendali terakhir (PSPT) dan pemegang saham pengendali (PSP) pada PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA). Pengunduran diri Philadel Terra Lestari sebagai PSP dan Pieter Tanuri sebagai PSPT disampaikan oleh Direktur Utama Bank Ina Perdana, Daniel Budirahayu.
Pengunduran diri itu membuat Anthoni Salim kini menjadi satu-satunya pemegang saham pengendali terakhir (ultimate shareholder) dan PT Indolife Pensiontama menjadi pemegang saham pengendali BINA. Setelah terpaksa melepas Bank BCA saat Krismon 1998, kini Salim Group benar-benar memiliki sekaligus menjadi satu-satunya pengendali utama sebuah bank yang tercatat di BEI.
Sebenarnya Anthony Saim dan PT Indolife Pensiontama sudah menjadi PSPT dan PSP Bank Ina sejak awal Januari lalu. Namun saat itu Anthony dan Indolife bukan satu-satunya PSPT dan PSP Bank Ina, sebab masih ada Pieter Tanuri dan perusahaannya PT Philadel yang juga menjadi PSPT dan PSP di bank tersebut. Berdasarkan aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Antony Salim dan PT Indolife harus menyesuaikan kepemilikan saham sesuai peraturan OJK. Anthony Salim diminta menyesuaikan kepemilikan saham melalui perusahaan terkait sesuai dengan batas maksimum kepemilikan saham oleh satu pihak. Demikian pula dengan kepemilikan saham PT Indolife Pensiontama yang saat ini mencapai 48.9% atau sudah melampaui batas maksimal kepemilikan. Ini mengindikasikan dalam waktu dekat akan ada perubahan kepemilikan saham di tubuh Bank Ina.
Jalan Group Salim untuk memiliki sekaligus menjadi pengendali utama Bank Ina, sudah dimulai sejak 2017. Setelah BINA melakukanrights issue, bank ini pun mendapatdana segar Rp 695,41 miliar. Dari right issue ini muncul dua pemegang saham baru, yakni PT Samudra Biru dan PT Gaya Hidup Masa. Dua perushan ini masih terafiliasi dengan Group Salim. Per April 2017, komposisi pemegang Saham Bank Ina sebagai berikut. Indolife sebanyak 22,47%, Liontrust S/A NS ASEAN Financial S Fund sebesar 18,29%, Samudra Biru 16,51%, Gaya Hidup 12,48%, DBS Bank Ltd S/A LTSL AS Trustee of NS Financial Fund 10,49%, dan PT Philadel Terra Lestari 9,64%.
Pada Januari 2017, Grup Salim mewujudkan niatnya membeli saham Bank Ina Perdana. Grup Salim membeli 29,02% saham Bank Ina lewat NS Financials Fund sebesar 10,58% saham dan melalui NS Asean Financial Fund sebesar 18,44%. Adapun pada Januari 2020 lalu, mayoritas kepemilikan saham Bank Ina Perdana dipegang oleh Indolife Pensiontama sebesar 22,47%. Liontrust S/A NS Asean Financials Fund menggenggan 18,29% dan PT Samudra Biru memiliki 16,51% saham Bank Ina Perdana. Lalu, DBS Bank LTD S/S LTSL AS Trustee of NS Financial Fund menggenggam 10,49%. PT Gaya Hidup Masa Kini memegang 9,98% dan Philadel Terra Lestari memiliki 9,64%. Sementara, masyarakat memiliki 12,62%.
Setelah memiliki Bank Ina, Grup Salim berencana akan meningkatkan status menjadi bank BUKU (bank umum kelompok usaha) IIIdengan modal inti Rp 5 triliun hingga di bawah Rp 30 triliun. Dan mulai tahun depan bank Ina akan disapkan untuk menjadi bank devisa.
(eko)