Kebijakan B30 Bisa Bikin Harga CPO Melompat, Benarkah?

Senin, 07 Februari 2022 - 14:40 WIB
loading...
Kebijakan B30 Bisa Bikin Harga CPO Melompat, Benarkah?
Menanggapi bahwa program biodiesel (B30) disebut ikut berperan dalam kenaikan harga minyak goreng. Legislator mengatakan, padahal cuma menggunakan sekitar 7,3 juta liter. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Menanggapi bahwa program biodiesel (B30) disebut ikut berperan dalam kenaikan harga minyak goreng . Anggota Komisi VII Mukhtarudin menerangkan, Menteri Perdagangan seharusnya tidak boleh menyalahkan program B30 ini yang sudah dimandatkan oleh Presiden.

“Seharusnya Mendag tahu bahwa penggunaan CPO untuk program B30 ini hanya menggunakan sekitar 7,3 juta liter, dan untuk minyak goreng tersedia sekitar 32 juta liter. Ini tidak mengganggu produksi minyak goreng,” tukas Mukhtarudin dalam keterangannya di Jakarta, Senin (7/2/2022)

Mukhtarudin juga menyorot Mendag yang “curhat” kepada salah satu media. Menurutnya, jika alasan kelangkaan minyak goreng ini penyebabnya adalah soal kebijakan B30, seharusnya Mendag itu tahu bahwa B30 itu programnya presiden.



Sifatnya mandatory. Jadi menurutnya Menteri, apalagi Dirjen tidak etis curhat ke media mengkritik program presiden sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng. Apalagi dari 47 juta liter produksi CPO kita, terang dia hanya 7 juta liter yang dialokasikan untuk biodieasel B30.

“Menteri perdagangan harus fokus kepada tugas dan kewenangannya. Jangan malah buang badan mengkritik kementrian lain. Kalau sudah buang badan begini jangan-jangan memang tanda-tanda inkompetensi,” paparnya.

Sebelumnya Menteri Perdagangan atau Mendag, Muhammad Lutfi menerangkan program biodiesel (B30) ikut berperan dalam kenaikan harga minyak goreng. Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR minggu lalu, Mendag mengatakan, lonjakan harga CPO saat ini tidak terlepas dari dampak kebijakan Indonesia, yang mendorong penggunaan biodiesel.

Dan diakui menjadi penyebab lonjakan harga CPO dan itu menguntungkan Indonesia. Dengan program B30, konsumsi CPO pun meningkat dan akan semakin bertambah jika B40 dilaksanakan.

"Yang buat CPO ini tinggi adalah Republik Indonesia. Sebagai penghasil CPO terbesar dunia, bikin B30, harganya meloncat. Dan ini sangat menguntungkan Indonesia," kata Mendag Lutfi.

Hal senada juga dikemukakan oleh pengamat ekonomi Faisal Basri yang menilai kenaikan harga minyak goreng di tengah penurunan produksi dan ekspor CPO dikarenakan pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri.

Di masa lalu, pengguna CPO yang dominan di dalam negeri adalah industri pangan, termasuk minyak goreng. Namun sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik. Peningkatan tajam terjadi pada 2020 dan 2021 dengan diterapkannya Program B20 (20 persen kandungan CPO dalam biosolar).

“Pengusaha cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada kucuran subsidi jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional. Sedangkan jika dijual ke pabrik minyak goreng tidak ada insentif seperti itu,” jelas Faisal.

Sementara itu Sekretaris Jendral GAPKI, Eddy Martono menampik bahwa penerapan program biodiesel mengganggu pasokan atau harga minyak goreng dalam negeri. “Yang menyebabkan harga minyak goreng tinggi memang karena harga minyak nabati internasional sedang tinggi,” jelas Edy.

Eddy juga membantah, bahwa pengusaha lebih suka menyuplai ke biodiesel ketimbang minyak goreng, “Program B30 itu bersifat mandatory dan volume ditentukan pemerintah,” ujarnya.



Hal ini dikuatkan oleh Peneliti Senior LPEM FEB-UI, Mohamad Revindo, saat dihubungi juga menjelaskan, bahwa permasalahan harga minyak goreng yang tak kunjung turun disebabkan karena ketidakmampuan Kementerian Perdaganganan melakukan distribusi dengan baik.

“Kementerian Perdagangan seharusnya menjalankan operasi distribusi secara menyeluruh di titik-titik yang teridentifikasi sangat kekurangan pasokan dengan pengawasan yang super ketat, tidak serta-merta menerima alasan para produsen dengan begitu saja,” kata Mohamad Revindo, peneliti senior LPEM FEB-UI.

Menurut Revindo, pemerintah juga tidak cukup hanya menunggu produsen dan distributor menjalankan kebijakan. Langkah keras ataupun tangan besi melalui pengawasan hingga penjatuhan sanksi harus dilakukan.

“Menko Perekonomian juga harus memberikan peringatan kepada Menteri Perdagangan atas kegagalan implementasi kebijakan dan berbagai perubahan tanpa kejelasan,” menurut Revindo.

(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2076 seconds (0.1#10.140)