Makin Gila-gilaan, Inflasi Turki pada Februari Tembus 54%
loading...
A
A
A
JAKARTA - Inflasi di Turki telah meningkat ke level tertinggi baru dalam 20 tahun, mencapai 54,44% untuk Februari. Konsumen dan pelaku bisnis semakin terjepit seiring terus melemahnya nilai tukar mata uang Turki, lira, dan naiknya harga energi.
Institut Statistik Turki (TSI) menyebutkan, harga barang-barang konsumen naik 4,81% pada bulan Februari. Sementara, indeks harga produsen melonjak 7,22% pada bulan yang sama, mencatat kenaikan tahunan sebesar 105%.
Sementara, tingginya impor energi pada Januari semakin memperdalam defisit perdagangan Turki. Hal ini diperburuk dengan harga komoditas yang terus meningkat di tengah kekhawatiran pasokan dan invasi Rusia ke Ukraina.
"Inflasi akan tetap dekat dengan level tinggi ini sampai bulan-bulan terakhir tahun ini, tetapi bank sentral dan, yang terpenting, Presiden Erdogan tampaknya tidak berminat untuk menaikkan suku bunga," tulis Capital Economics yang berbasis di London dalam sebuah catatan, seperti dilansir CNBC, Kamis (3/3/2022).
Sementara itu, menghadapi kondisi ini, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memilih memprioritaskan kredit dan ekspor, sementara secara konsisten terus melawan pakem ekonomi untuk menaikkan suku bunga guna menjinakkan inflasi.
Erdogan terus berargumen bahwa menaikkan suku bunga justru akan memperburuk inflasi. Diketahui, bank sentral Turki telah memangkas suku bunga sebesar 500 basis poin sejak September menjadi 14%.
Nilai tukar lira Turki melemah 47% dalam setahun terakhir. Turbulensi lira telah memukul rakyat Turki dengan keras, karena nilai gaji mereka turun sementara biaya hidup meningkat secara drastis. Kenaikan tajam tarif listrik dan gas alam telah makin memperparah kondisi konsumen maupun pelaku bisnis.
Pada pertengahan Februari, Erdogan bersumpah untuk "mematahkan belenggu suku bunga" dan menurunkan inflasi menjadi satu digit. Terkait merosotnya nilai tukar lira, Erdogan memilih menyalahkan "alat keuangan asing."
Alih-alih mengikuti saran banyak ekonom, Pemerintah Erdogan malah mempromosikan "liraisasi permanen," dan "rencana penyelamatan" yang memaksa bank sentral Turki menjamin tabungan dalam lira dengan melangkah masuk dan membuat kerugian pada deposito lira jika nilainya terhadap mata uang keras jatuh di luar suku bunga yang ditetapkan oleh bank.
Analis menilai rencana itu mahal dan pada dasarnya adalah kenaikan suku bunga yang besar secara tersembunyi. Namun, kebijakan itu disebut tidak mungkin berkelanjutan dalam jangka panjang.
Institut Statistik Turki (TSI) menyebutkan, harga barang-barang konsumen naik 4,81% pada bulan Februari. Sementara, indeks harga produsen melonjak 7,22% pada bulan yang sama, mencatat kenaikan tahunan sebesar 105%.
Sementara, tingginya impor energi pada Januari semakin memperdalam defisit perdagangan Turki. Hal ini diperburuk dengan harga komoditas yang terus meningkat di tengah kekhawatiran pasokan dan invasi Rusia ke Ukraina.
"Inflasi akan tetap dekat dengan level tinggi ini sampai bulan-bulan terakhir tahun ini, tetapi bank sentral dan, yang terpenting, Presiden Erdogan tampaknya tidak berminat untuk menaikkan suku bunga," tulis Capital Economics yang berbasis di London dalam sebuah catatan, seperti dilansir CNBC, Kamis (3/3/2022).
Sementara itu, menghadapi kondisi ini, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memilih memprioritaskan kredit dan ekspor, sementara secara konsisten terus melawan pakem ekonomi untuk menaikkan suku bunga guna menjinakkan inflasi.
Erdogan terus berargumen bahwa menaikkan suku bunga justru akan memperburuk inflasi. Diketahui, bank sentral Turki telah memangkas suku bunga sebesar 500 basis poin sejak September menjadi 14%.
Nilai tukar lira Turki melemah 47% dalam setahun terakhir. Turbulensi lira telah memukul rakyat Turki dengan keras, karena nilai gaji mereka turun sementara biaya hidup meningkat secara drastis. Kenaikan tajam tarif listrik dan gas alam telah makin memperparah kondisi konsumen maupun pelaku bisnis.
Pada pertengahan Februari, Erdogan bersumpah untuk "mematahkan belenggu suku bunga" dan menurunkan inflasi menjadi satu digit. Terkait merosotnya nilai tukar lira, Erdogan memilih menyalahkan "alat keuangan asing."
Alih-alih mengikuti saran banyak ekonom, Pemerintah Erdogan malah mempromosikan "liraisasi permanen," dan "rencana penyelamatan" yang memaksa bank sentral Turki menjamin tabungan dalam lira dengan melangkah masuk dan membuat kerugian pada deposito lira jika nilainya terhadap mata uang keras jatuh di luar suku bunga yang ditetapkan oleh bank.
Analis menilai rencana itu mahal dan pada dasarnya adalah kenaikan suku bunga yang besar secara tersembunyi. Namun, kebijakan itu disebut tidak mungkin berkelanjutan dalam jangka panjang.
(fai)