Perang Rusia Ukraina Telah Berubah Menjadi Bencana Ekonomi Bagi India

Jum'at, 25 Maret 2022 - 06:38 WIB
loading...
Perang Rusia Ukraina...
Getaran Perang Rusia Ukraina dirasakan oleh beragam sektor yang tersebar di seluruh ekonomi India. Foto/Dok
A A A
NEW DELHI - Getaran Perang Rusia Ukraina dirasakan oleh beragam sektor yang tersebar di seluruh ekonomi India . Invasi Kremlin telah menciptakan volatilitas tinggi, mendorong harga minyak global menjadi hampir USD140 dan mendepresiasi rupee India hingga mencapai level terendah sepanjang masa hampir 77 terhadap dolar Amerika Serikat (USD).

Hal ini telah mendorong perusahaan pemeringkat domestik ICRA, CARE dan India Ratings untuk menganalisis kelayakan kredit perusahaan India. Dimana bisa mengarah pada kemungkinan konsekuensi revisi peringkat untuk perusahaan di sektor batu bara, farmasi, pupuk, minyak dan gas, yang merasakan dampak langsung terkait impor dan ekspor dari Rusia dan Ukraina .



Menyuarakan keprihatinan atas dampak perang terhadap perdagangan negaranya dengan Rusia dan Ukraina, Menteri Keuangan India, Nirmala Sitharaman mengatakan: "Apa yang terjadi akan berdampak pada impor langsung kami dan secara bersamaan juga terhadap ekspor...kami benar-benar khawatir tentang apa yang berasal dari sana, tetapi saya lebih khawatir, tentang apa yang akan terjadi pada eksportir kami."

Perdagangan bilateral India dan Rusia tercatat mencapai USD11,9 miliar atau setara Rp170,2 triliun (Kurs Rp14.305 per USD), sedagkan dengan Ukraina sebesar USD3,1 miliar sepanjang tahun 2021. Perdagangan India telah merasakan dampak signifikan, terlebih karena adanya pengecualian bank-bank Rusia dari sistem pembayaran internasional Swift.

Industri farmasi India, yang menyumbang 32% dari total ekspor USD510 juta ke Ukraina, telah tersentak karena penutupan rute perdagangan ke negara itu yang sedang menghadapi invasi Rusia. Menambah kesengsaraan eksportir, blokade yang diberlakukan pada pergerakan kapal melalui Laut Hitam telah menghentikan ekspor ke negara-negara lain milik Persemakmuran Negara-negara Merdeka (CIS).

Sebut saja Azerbaijan, Armenia, Belarus, Kazakhstan, Kirgistan, Moldova, Tajikistan, Turkmenistan hingga Uzbekistan. Lalu ekspor India senilai lebih dari USD500 juta menghadapi ketidakpastian sebagai akibat dari penarikan perlindungan jaminan kredit pada barang-barang yang menuju wilayah tersebut.

Dalam hal impor, ada beberapa komoditas yang sebagian besar jadi kebutuhan utama India dari kedua negara (Ukraina Rusia) ini, di antaranya amonia, UAN dan amonium nitrat yang digunakan dalam pupuk; neon, paladium, dan platinum yang digunakan untuk membuat microchip yang penting buat produksi mobil.

Lalu nikel yang biasanya dipakai dalam pembuatan barang konsumen tahan lama dan lebih dari 80% minyak nabati bunga matahari yang digunakan di dapur rumah tangga di negara India.

Menurut Nomura, perusahaan barang konsumsi bakal meneruskan biaya input yang lebih tinggi kepada konsumen dan kelangkaan pasokan komoditas meningkatkan harga produk di India yang juga sibuk bergulat dengan dampak buruk lonjakan harga minyak mentah yang menjadi lebih mahal secara global.

Diketahui India mengimpor lebih dari 85% minyak yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energinya dan Morgan Stanley menyatakan, bahwa "lonjakan harga minyak 25% baru-baru ini akan memperluas defisit transaksi berjalan India sebesar 75 basis poin dan inflasi sebesar 100 basis poin secara tahunan."

Sejak 1 Februari, ketika Menteri Keuangan India mengasumsikan harga minyak global sekitar USD75 per barel dalam perhitungan anggaran pemerintah periodes 2022-2023. Kenaikan tak terduga harga minyak global dan depresiasi rupee India telah menyebabkan kenaikan tagihan impor yang tak terduga, yang mengarah ke peningkatan defisit fiskal negara itu.

Di sisi lain pendapatan pemerintah juga berkurang apabila dibandingkan dengan pengeluarannya. Invasi Rusia ke Ukraina bisa berdampak USD23 miliar pada rekening pemerintah. Dampaknya terhadap anggaran pemerintah telah menjadi bencana besar.

Karena harga saham menukik, pemerintah India berpikir untuk menunda IPO Life Insurance Corporation (LIC), penawaran mega terbesar di India, yang merupakan bagian terbesar dari program penjualan aset senilai USD10,4 miliar di negara itu yang bertujuan untuk menghentikan defisit anggaran untuk tahun keuangan yang berakhir pada 31 Maret.

Pemerintah juga menghadapi dilema kebijakan apakah akan menaikkan harga bahan bakar dalam negeri (bensin, solar, LPG), dimana bila hal itu dilakukan akan memberikan efek ganda. Bak bola salju, hal itu selanjutnya akan meningkatkan biaya transportasi dan biaya operasional untuk bisnis.



Di sisi lain, pemerintah dapat mengurangi pajak atau memotong bea cukai atas impor minyak untuk melindungi konsumen dan bisnis dalam negeri. Tetapi dengan demikian, pendapatannya akan turun yang mengharuskannya menyeimbangkan penurunan pendapatan dengan mengambil langkah-langkah untuk membatasi pengeluaran, termasuk langkah-langkah kebijakan yang telah diusulkan untuk merangsang pertumbuhan.

Karena kebuntuan kebijakan yang tak terhindarkan ini, pemerintah India berjuang dengan sedikit ruang untuk bermanuver dalam memastikan profitabilitas bisnis, mendapatkan pendapatan mata uang asing dan untuk mencegah permintaan domestik terpukul.

Saat ini di Asia, India telah menjadi negara yang paling terpukul, di mana inflasi telah meningkat menjadi lebih dari 13%, tingkat pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan turun dari 8,2% menjadi 7,8%. Ditambah ada kekhawatiran stagflasi yang sangat ditakuti dalam ekonominya, karena tekanan inflasi global dari perang ini.

(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1193 seconds (0.1#10.140)