Pertamina Tomboki Solar Rp7.800 per Liter, Perlu Ada Kompensasi Berbasis Regulasi

Rabu, 30 Maret 2022 - 21:16 WIB
loading...
Pertamina Tomboki Solar...
Kelangkaan solar bersubsdi menyebabkan antrean panjang mobil di SPBU, menjadi pemandangan baru di Kota Palembang yang terlihat sepekan ini. Foto/Mushaful Imam
A A A
JAKARTA - Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII baru-baru ini terungkap bahwa akibat kenaikan harga minyak saat ini, PT Pertamina (Persero) terpaksa menomboki selisih harga jual solar bersubsidi sebesar Rp7.800 per liter. Pasalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mensubsidi solar sebesar Rp500 per liter.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam RDP tersebut menjelaskan, harga jual solar bersubsidi sebesar Rp5.150 per liter saat ini jauh di bawah harga keekonomiannya sebesar Rp12.950 per liter.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyoroti persoalan tersebut dengan serius. Berkaca dari persoalan tersebut, kata dia, pemberian kompensasi BBM perlu berbasis regulasi. Hal itu sejalan dengan subsidi yang juga berbasis regulasi, yakni Undang-Undang (UU) APBN. "Jadi (kompensasi BBM) seharusnya ada payung hukumnya," kata Komaidi, di Jakarta, Rabu (30/3/2022).



Dia menambahkan, pemberian kompensasi BBM tidak hanya penting untuk kesehatan keuangan Pertamina, namun juga bagi kelangsungan penyediaan BBM di dalam negeri. Hal itu tampak dari masalah kelangkaan solar yang terjadi belakangan ini. Kelangkaan solar bersubsidi yang berlarut-larut, kata Komaidi, buruk untuk stabilitas ekonomi dan juga sosial masyarakat. "Dampaknya bisa meluas dan tidak terkendali. Saya kira penting ini menjadi perhatian," tegasnya.

Karena itu, kata Komaidi, saat ini yang paling utama adalah mengatasi masalah kelangkaan solar. Dia menyarankan agar kuota solar bersubsidi ditambah terlebih dulu untuk mengatasi kelangkaan. Namun, imbuh dia, risiko penambahan kuota jelas, yaitu perlu tambahan subsidi.

Sebelumnya, Dirut Pertamina Nicke Widyawati juga meminta pemerintah untuk mengatur barang subsidi. Hal ini dinilai penting karena harga BBM yang dijual Pertamina masih jauh di bawah harga keekonomian. "Yang disubsidi pemerintah itu hanya Rp500 per liter. Sisanya dibayarkan melalui kompensasi yang penuh ketidakpastian. Pertamina mengeluarkan uang dulu, ini berpengaruh ke cashflow perusahaan," paparnya di hadapan DPR.

Menurut Nicke, di saat harga minyak sedang naik seperti sekarang ini, maka di satu sisi pemerintah berkewajiban menjaga harga jual BBM agar dapat terjangkau oleh masyarakat. Namun, hal ini juga tidak bisa terus menerus dilakukan. Dia menerangkan, ketika konsumen melihat ada perbedaan besar harga antara BBM subsidi dengan BBM nonsubsidi, maka terjadi pergeseran konsumsi ke produk bersubsidi. Hal ini pada akhirnya akan membebani APBN.

"Ini kan subsidinya tidak tepat sasaran. Makanya, hari ini jadi masalah. Solusi permanennya sebaiknya memang subsidi langsung sehingga tepat sasaran," cetusnya.

Sementara itu, untuk menjaga kesehatan keuangan Pertamina, Komisi VII mendesak pemerintah segera melunasi kompensasi yang belum dibayarkan yang nilainya ratusan triliun. Apalagi pemerintah juga memutuskan untuk menahan harga BBM yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, yakni Pertalite dan Pertamax.

"Komisi VII mendesak pemerintah agar kompensasi kepada Pertamina yang bernilai Rp100 triliun segera dibayarkan guna mencegah krisis likuiditas yang dapat mengganggu pengadaan dan penyaluran BBM nasional," ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno.

Pemerintah telah meminta Pertamina dan PLN untuk menahan harga jual BBM dan tarif listrik pada 2020 dan 2021. Untuk itu, pemerintah harus membayar kompensasi total Rp109 triliun ke dua BUMN itu. "Secara total dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban Rp 109 triliun. Ini sampai akhir 2021," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, di Jakarta, Senin (28/3).



Sepanjang 2020, kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah karena menahan kenaikan harga BBM dan tarif listrik adalah Rp63,8 triliun. Pemerintah mencicil di tahun berikutnya sebesar Rp47,9 triliun. Khusus BBM masih ada sisa yang harus dibayarkan sebesar Rp15,9 triliun.

Kemudian pada 2021, harga kembali ditahan walaupun dari sisi global mulai ada kenaikan harga minyak dunia. Hal ini akhirnya menambah jumlah kompensasi yang harus dibayarkan sebesar Rp93,1 triliun. Total kompensasi yang harus dibayarkan saat ini adalah Rp109 triliun, meliputi Rp84,4 triliun untuk BBM dan Rp24,6 triliun untuk listrik.

Nicke sebelumnya meminta dukungan DPR dan pemangku kepentingan lain di saat kondisi Pertamina tengah mendapat tekanan dari berbagai sisi, terutama untuk bisnis hilir. Munculnya kelangkaan solar subsidi adalah contoh nyata dari tekanan eksternal yang membuat Pertamina pada akhirnya juga ikut tertekan.

Nicke mengatakan, di tengah tekanan berat akibat kenaikan harga minyak mentah dunia tersebut, perusahaan harus tetap menjaga ketahanan stok BBM jenis solar selama 21 hari. "Tapi untuk menjaga stok 21 hari ini, Pertamina harus menaruh USD6 miliar. Jadi cukup besar bagi cash flow kita untuk menjaga ketahanan suplai ini," jelasnya.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1746 seconds (0.1#10.140)