Perjalanan Batik Lasem ke Era Modern lewat Ekonomi Kreatif
loading...
A
A
A
REMBANG - Batik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan budaya Indonesia. Banyak daerah di Indonesia memiliki corak batiknya masing-masing yang menggambarkan keragaman sosial dan adat istiadat setempat.
Terlebih, batik adalah warisan budaya yang telah diakui keberadaannya oleh dunia internasional. Pada 2 Oktober 2009, salah satu badan PBB, UNESCO, menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpiece of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity). Tanggal 2 Oktober pun kini kita rayakan sebagai Hari Batik Nasional.
Banyaknya ragam batik di nusantara juga membawa tantangan tersendiri, khususnya terkait pelestarian motif-motif yang kini mungkin kurang dikenal masyarakat.
Salah satunya adalah batik Lasem. Batik asal Lasem, Kabupaten Rembang , ini memiliki ciri khas perpaduan motif batik Jawa dan corak Tiongkok, hasil dari akulturasi budaya sejak akhir abad ke-14 Masehi ketika armada di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho sempat bersinggah di nusantara.
Batik Lasem menikmati puncak popularitas sekitar tahun 1970. Pada masa itu, batik Lasem termasuk enam besar di Indonesia, disandingkan dengan batik Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Banyumas, dan Cirebon. Bahkan, saat itu batik Lasem sudah menjangkau pasar internasional.
Namun, popularitas tersebut tergerus zaman seiring berubahnya selera konsumen. Penetapan Hari Batik pada tahun 2009 sempat kembali mendongkrak batik Lasem, namun geliat tersebut tidak bertahan lama.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Rembang pun berupaya untuk menjaga denyut batik Lasem dengan memfasilitasi dan mendorong kegiatan industri. Batik tulis Lasem pun diangkat sebagai salah satu kurikulum sekolah oleh Pemerintah Kabupaten Rembang.
Sinergi untuk Batik Lasem
Relevansi menjadi salah satu tantangan untuk merambah pasar yang lebih luas. Bagaimana menerapkan corak khas batik Lasem ke produk yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dan memenuhi permintaan konsumen.
Wawasan tersebut mendasari sinergi antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Rembang, dengan PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna) melalui mitra tanggung jawab sosial perusahaan Business and Export Development Organization (BEDO), dan pemangku kepentingan lainnya.
Pengrajin batik Lasem dihubungkan dengan desainer untuk mendapatkan pelatihan dan pembinaan. Tidak hanya itu, mereka juga diberikan keterampilan wirausaha dan kemampuan pemasaran.
“Pengembangan batik Lasem menjadi aneka ragam pakaian siap pakai merupakan salah satu upaya untuk memperkenalkan batik Lasem ke khalayak yang lebih luas,"" ujar Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Jawa Tengah, Siti Atikoh.
Lebih lagi, pengrajin batik Lasem yang ikut pelatihan juga dibuatkan suatu merek yang menaungi mereka, “Batik Lasemku”. Hal ini diperkenalkan pada perhelatan Rembang Fashion Parade pada 2 November 2021 di mana 14 UMKM batik dan sembilan desainer menampilkan hasil desain baju Batik Lasem yang diolah menjadi beragam busana siap pakai.
Dengan menjadikan pelaku ekonomi kreatif sebagai penggerak, hal ini diharapkan mampu turut mendorong perekonomian daerah serta melestarikan motif batik tersebut. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo turut menyampaikannya dalam pembukaan Rembang Fashion Parade.
Ia berharap Batik Lasem di Rembang kembali bangkit sehingga dapat memicu perekonomian Kabupaten Rembang dan sekitarnya. Selain mendukung rangkaian program tersebut, Dekranasda Jawa Tengah, Sampoerna, dan BEDO juga bekerja sama untuk menulis buku bertajuk “Memadukan Keberagaman – Dokumentasi Motif Modifikasi Batik Tulis Lasem”. Dengan melibatkan budayawan dan komunitas batik setempat, buku tersebut diharapkan dapat melestarikan kekayaan motif batik Lasem.
“Kedekatan kami dengan Rembang yang telah terbangun mendorong kami untuk dapat berkontribusi kepada pelestarian budayanya, serta mendorong kemajuan perekonomian setempat,” kata Kepala Urusan Eksternal Sampoerna, Ishak Danuningrat.
Terlebih, batik adalah warisan budaya yang telah diakui keberadaannya oleh dunia internasional. Pada 2 Oktober 2009, salah satu badan PBB, UNESCO, menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpiece of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity). Tanggal 2 Oktober pun kini kita rayakan sebagai Hari Batik Nasional.
Banyaknya ragam batik di nusantara juga membawa tantangan tersendiri, khususnya terkait pelestarian motif-motif yang kini mungkin kurang dikenal masyarakat.
Salah satunya adalah batik Lasem. Batik asal Lasem, Kabupaten Rembang , ini memiliki ciri khas perpaduan motif batik Jawa dan corak Tiongkok, hasil dari akulturasi budaya sejak akhir abad ke-14 Masehi ketika armada di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho sempat bersinggah di nusantara.
Batik Lasem menikmati puncak popularitas sekitar tahun 1970. Pada masa itu, batik Lasem termasuk enam besar di Indonesia, disandingkan dengan batik Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Banyumas, dan Cirebon. Bahkan, saat itu batik Lasem sudah menjangkau pasar internasional.
Namun, popularitas tersebut tergerus zaman seiring berubahnya selera konsumen. Penetapan Hari Batik pada tahun 2009 sempat kembali mendongkrak batik Lasem, namun geliat tersebut tidak bertahan lama.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Rembang pun berupaya untuk menjaga denyut batik Lasem dengan memfasilitasi dan mendorong kegiatan industri. Batik tulis Lasem pun diangkat sebagai salah satu kurikulum sekolah oleh Pemerintah Kabupaten Rembang.
Sinergi untuk Batik Lasem
Relevansi menjadi salah satu tantangan untuk merambah pasar yang lebih luas. Bagaimana menerapkan corak khas batik Lasem ke produk yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dan memenuhi permintaan konsumen.
Wawasan tersebut mendasari sinergi antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Rembang, dengan PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna) melalui mitra tanggung jawab sosial perusahaan Business and Export Development Organization (BEDO), dan pemangku kepentingan lainnya.
Pengrajin batik Lasem dihubungkan dengan desainer untuk mendapatkan pelatihan dan pembinaan. Tidak hanya itu, mereka juga diberikan keterampilan wirausaha dan kemampuan pemasaran.
“Pengembangan batik Lasem menjadi aneka ragam pakaian siap pakai merupakan salah satu upaya untuk memperkenalkan batik Lasem ke khalayak yang lebih luas,"" ujar Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Jawa Tengah, Siti Atikoh.
Lebih lagi, pengrajin batik Lasem yang ikut pelatihan juga dibuatkan suatu merek yang menaungi mereka, “Batik Lasemku”. Hal ini diperkenalkan pada perhelatan Rembang Fashion Parade pada 2 November 2021 di mana 14 UMKM batik dan sembilan desainer menampilkan hasil desain baju Batik Lasem yang diolah menjadi beragam busana siap pakai.
Dengan menjadikan pelaku ekonomi kreatif sebagai penggerak, hal ini diharapkan mampu turut mendorong perekonomian daerah serta melestarikan motif batik tersebut. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo turut menyampaikannya dalam pembukaan Rembang Fashion Parade.
Ia berharap Batik Lasem di Rembang kembali bangkit sehingga dapat memicu perekonomian Kabupaten Rembang dan sekitarnya. Selain mendukung rangkaian program tersebut, Dekranasda Jawa Tengah, Sampoerna, dan BEDO juga bekerja sama untuk menulis buku bertajuk “Memadukan Keberagaman – Dokumentasi Motif Modifikasi Batik Tulis Lasem”. Dengan melibatkan budayawan dan komunitas batik setempat, buku tersebut diharapkan dapat melestarikan kekayaan motif batik Lasem.
“Kedekatan kami dengan Rembang yang telah terbangun mendorong kami untuk dapat berkontribusi kepada pelestarian budayanya, serta mendorong kemajuan perekonomian setempat,” kata Kepala Urusan Eksternal Sampoerna, Ishak Danuningrat.
(akr)