Perlu Dievaluasi, Formula Harga BBM Dinilai Rentan Permainan Trader
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu mengevaluasi formula harga bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi dasar dalam penetapan harga BBM subsidi maupun dasar dalam penetapan batas atas batas bawah bagi BBM umum atau nonsubsidi. Pasalnya, formula yang ada saat ini berpotensi membuat harga rentan terdampak permainan para trader BBM.
Hal itu diungkapkan Anggota Komite BPH Migas Periode 2017-2021 Muhammad Ibnu Fajar. Menurut dia, seharusnya biaya perolehan atau impor BBM tidak hanya berdasarkan indeks harga yang ditetapkan oleh lembaga pengindeks seperti Platts yang menjadi dasar harga MOPS (Mean of Platts Singapore). Kondisi itu, kata dia, sangat rentan dipermainkan oleh trader di Singpura, asal BBM yang dijual oleh Pertamina.
"Sebaiknya juga harus dipertimbangkan international crude price terendah sebagai variabel menghitung biaya perolehan," kata Muhammad Ibnu Fajar, dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/4/2022).
Ibnu menjelaskan, perbaikan serta evaluasi terhadap mekanisme penyaluran BBM subsidi maupun penugasan harus dilakukan. Hal bertujuan untuk menghindari masalah ketika terjadi kondisi seperti sekarang saat harga minyak dunia melonjak tapi tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah kerugian badan usaha akibat ditahannya harga BBM.
Pemerintah menurutnya harus siap dengan kondisi di lapangan dan untuk konsisten mengikuti perubahan biaya perolehan. "Ini penting untuk menghindari kerugian badan usaha yang menjalankan penugasan untuk menyalurlam BBM jenis tertentu dan BBM penugasan," tuturnya.
Selain dari sisi konsistensi penetapan harga, menurutnya pemerintah juga sudah sewajarnya tidak pilih kasih dalam mengimplementasikan regulasi. Perlakuan yang equal atau sama rata untuk semua badan usaha terhadap penugasan penyaluran BBM oleh pemerintah, tidak hanya dibebankan kepada Pertamina saja.
"Volume penugasan penyaluran BBM diberikan secara proporsional kepada seluruh badan usaha berdasarkan volume penjualan mereka per tahun," ujarnya.
Selama ini hanya dua badan usaha yang memgemban tugas menyalurkan BBM tertentu atau jenis solar yakni Pertamina dan PT AKR Corporindo Tbk. Namun volume BBM yang ditugaskan kepada kedua perusahaan tersebut gap-nya terlalu jauh.
Ibnu juga menyarankan agar jumlah pemberian subisidi sebaiknya tidak sama diseluruh Indonesia, melainkan diatur secara proporsional berdasarkan berdasarkan tingkat ekonomi masing-masing daerah. "Misalnya, daerah tertinggal tentu harus lebih mendapatkan subsidi dibandingkan Jakarta atau kota besar lainnya," kata dia.
Sebelumnya, BPH Migas mencatat penyaluran BBM jenis solar subsidi telah melebihi kuota. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah adanya lonjakan permintaan karena gap harga antara solar subsidi dan non subsidi teralalu jauh. Harga solar subsidi mencapai Rp5.150 per liter, sedangkan harga solar nonsubsidi (Dexlite) mencapai Rp12.950-an per liter dan Pertamina Dex Rp13.700 per liter.
Gap harga itulah yang membuat pembeli solar nonsubsidi beralih ke solar subsidi. Belum lagi penyalahgunaan oleh kendaraan tambang dan perkebunan yang membeli solar subsidi. Namun Polri dan BPH Migas bekerja sama dengan Pertamina bisa mengendalikan penyalahgunaan penggunaan BBM subsidi tersebut.
BPH Migas tahun ini memberikan penugasan kepada Pertamina Patra Niaga dan AKR Corporindo untuk menyalurkan 15,1 juta kiloliter (KL) BBM bersubsidi jenis Solar. Namun, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR pada 14 April 2022 lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengajukan usulan tambahan kuota untuk solar subsidi 2 juta KL sehingga total kuota subsidi 2022 mencapai 17 juta KL. Sedangkan BBM jenis Pertalite (RON 90) yang masuk Penugasan, dinaikkan kuotanya dari 23 juta KL menjadi 28 juta KL.
Hal itu diungkapkan Anggota Komite BPH Migas Periode 2017-2021 Muhammad Ibnu Fajar. Menurut dia, seharusnya biaya perolehan atau impor BBM tidak hanya berdasarkan indeks harga yang ditetapkan oleh lembaga pengindeks seperti Platts yang menjadi dasar harga MOPS (Mean of Platts Singapore). Kondisi itu, kata dia, sangat rentan dipermainkan oleh trader di Singpura, asal BBM yang dijual oleh Pertamina.
"Sebaiknya juga harus dipertimbangkan international crude price terendah sebagai variabel menghitung biaya perolehan," kata Muhammad Ibnu Fajar, dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/4/2022).
Ibnu menjelaskan, perbaikan serta evaluasi terhadap mekanisme penyaluran BBM subsidi maupun penugasan harus dilakukan. Hal bertujuan untuk menghindari masalah ketika terjadi kondisi seperti sekarang saat harga minyak dunia melonjak tapi tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah kerugian badan usaha akibat ditahannya harga BBM.
Pemerintah menurutnya harus siap dengan kondisi di lapangan dan untuk konsisten mengikuti perubahan biaya perolehan. "Ini penting untuk menghindari kerugian badan usaha yang menjalankan penugasan untuk menyalurlam BBM jenis tertentu dan BBM penugasan," tuturnya.
Selain dari sisi konsistensi penetapan harga, menurutnya pemerintah juga sudah sewajarnya tidak pilih kasih dalam mengimplementasikan regulasi. Perlakuan yang equal atau sama rata untuk semua badan usaha terhadap penugasan penyaluran BBM oleh pemerintah, tidak hanya dibebankan kepada Pertamina saja.
"Volume penugasan penyaluran BBM diberikan secara proporsional kepada seluruh badan usaha berdasarkan volume penjualan mereka per tahun," ujarnya.
Selama ini hanya dua badan usaha yang memgemban tugas menyalurkan BBM tertentu atau jenis solar yakni Pertamina dan PT AKR Corporindo Tbk. Namun volume BBM yang ditugaskan kepada kedua perusahaan tersebut gap-nya terlalu jauh.
Ibnu juga menyarankan agar jumlah pemberian subisidi sebaiknya tidak sama diseluruh Indonesia, melainkan diatur secara proporsional berdasarkan berdasarkan tingkat ekonomi masing-masing daerah. "Misalnya, daerah tertinggal tentu harus lebih mendapatkan subsidi dibandingkan Jakarta atau kota besar lainnya," kata dia.
Sebelumnya, BPH Migas mencatat penyaluran BBM jenis solar subsidi telah melebihi kuota. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah adanya lonjakan permintaan karena gap harga antara solar subsidi dan non subsidi teralalu jauh. Harga solar subsidi mencapai Rp5.150 per liter, sedangkan harga solar nonsubsidi (Dexlite) mencapai Rp12.950-an per liter dan Pertamina Dex Rp13.700 per liter.
Gap harga itulah yang membuat pembeli solar nonsubsidi beralih ke solar subsidi. Belum lagi penyalahgunaan oleh kendaraan tambang dan perkebunan yang membeli solar subsidi. Namun Polri dan BPH Migas bekerja sama dengan Pertamina bisa mengendalikan penyalahgunaan penggunaan BBM subsidi tersebut.
BPH Migas tahun ini memberikan penugasan kepada Pertamina Patra Niaga dan AKR Corporindo untuk menyalurkan 15,1 juta kiloliter (KL) BBM bersubsidi jenis Solar. Namun, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR pada 14 April 2022 lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengajukan usulan tambahan kuota untuk solar subsidi 2 juta KL sehingga total kuota subsidi 2022 mencapai 17 juta KL. Sedangkan BBM jenis Pertalite (RON 90) yang masuk Penugasan, dinaikkan kuotanya dari 23 juta KL menjadi 28 juta KL.
(fai)