Ancaman Perang Dingin AS-China Lebih Besar Ketimbang Virus

Senin, 22 Juni 2020 - 09:55 WIB
loading...
Ancaman Perang Dingin...
Ekonom berpengaruh Jeffrey Sachs mengatakan, perang dingin yang semakin dalam antara AS dan China akan menjadi ancaman global yang lebih besar bagi dunia daripada virus corona. Foto/Dok
A A A
NEW YORK - Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China terus memanas belakangan, dimana dampak ketegangan dua ekonomi terbesar di dunia itu menyebar secara global. Bahkan ekonom berpengaruh Jeffrey Sachs mengatakan, perang dingin yang semakin dalam antara AS dan China akan menjadi ancaman global yang lebih besar bagi dunia daripada virus corona.

Seperti dilansir BBC, hal itu disampaikan merujuk pada kondisi kedua negara yang terus berselisih. Keduanya sempat terlibat perang dagang belum lama ini, dimana Presiden AS Donald Trump kerap melontarkan ancaman soal hubungan dagang keduanya. Belum lama ini, Ia mengungkapkan bakal membatalkan kesepakatan perdagangan fase satu dan meningkatkan tarif pada China.

( )

Trump juga mendukung kontrol ekspor baru yang tangguh untuk perusahaan-perusahaan China yang membeli produk teknologi Amerika. Dua negara adidaya itu kembali bertikai, saat AS meyakini teori konspirasi yang mengklaim bahwa virus corona (COVID-19) adalah buatan manusia dan kabur dari laboratorium yang ada di kota Wuhan, sebagaimana dilaporkan South China Morning Post.

Sementara itu Sachs mengatakan, saat ini ekonomi dunia menuju periode gangguan besar tanpa kepemimpinan setelah pandemi virus corona atau Covid-19. "Kesenjangan antara dua kekuatan super akan memperburuk ini," ungkapnya memberikan peringatan.

( )

Profesor Universitas Columbia itu menyalahkan pemerintahan AS terkait permusuhan antar kedua negara. "AS adalah kekuatan untuk divisi, bukan untuk kerja sama," katanya dalam sebuah wawancara dengan BBC Asia Business Report.

"Ini adalah kekuatan untuk mencoba menciptakan perang dingin baru dengan China. Jika ini benar terwujud, -jika pendekatan semacam itu digunakan, maka kita tidak akan kembali normal, dan akan memicu kontroversi yang lebih besar dan bahaya yang lebih besar pada kenyataannya," paparnya.

Ketegangan

Pernyatan Sachs menyusul ketegangan antara AS dan China yang terus meningkat belakangan di beberapa bidang, bukan hanya perdagangan semata. Minggu lalu, misalnya, Presiden Trump menandatangani undang-undang yang mengesahkan sanksi AS terhadap pejabat China yang bertanggung jawab atas penindasan umat Islam di provinsi Xinjiang.

Dan dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal, Presiden Trump mengatakan ia menyakini China mungkin telah mendorong penyebaran virus internasional sebagai cara untuk mengacaukan perekonomian global. Selanjutnya perusahaan-perusahaan China, khususnya raksasa telekomunikasi China, Huawei juga menjadi target AS dimana menurut menurut Washington digunakan untuk membantu Beijing memata-matai para pelanggannya. China menyangkal ini, seperti halnya Huawei

Tetapi sikap keras Presiden Trump terhadap China dan Huawei mungkin telah menjadi bagian dari taktik politik untuk membuat dirinya kembali terpilih- setidaknya menurut sebuah buku yang ditulis oleh mantan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton. Profesor Sachs setuju bahwa menargetkan Huawei tidak hanya sekadar masalah keamanan.

"AS kehilangan langkahnya pada 5G, yang merupakan bagian penting dari ekonomi digital baru. Dan Huawei mengambil bagian lebih besar dan lebih besar dari pasar global. AS mengarang dalam pendapat saya, bahwa Huawei adalah ancaman global. Itu sebabnya AS mencoba memutuskan hubungan dengan Huawei," katanya.

Sebelumnya hal serupa juga disampaikan Shi Yinhong, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Renmin China dan penasihat Dewan Negara China, yang menilai hubungan China dan AS semakin memburuk. "Amerika Serikat dan China sebenarnya berada di era Perang Dingin yang baru," katanya kepada South China Morning Post beberapa waktu lalu.

"Berbeda dari Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, Perang Dingin baru antara AS dan China memiliki persaingan penuh dan decoupling yang cepat. Hubungan AS-China tidak lagi sama dengan beberapa tahun yang lalu, bahkan tidak sama dengan beberapa bulan yang lalu," ungkap Shi Yinhong

Konflik Meluas

Amerika bukan satu-satunya negara yang terlibat konflik dengan China. Minggu ini, ketegangan mencuat di perbatasan India-China, dengan sedikitnya 20 tentara India tewas dalam aksi kekerasan terburuk yang dialami kedua pihak dalam hampir 50 tahun.

Sementara itu, China telah secara aktif mendanai proyek-proyek ekonomi di Pakistan, Myanmar, Sri Lanka dan Nepal - tetangga terdekat India - yang telah menimbulkan kekhawatiran di Delhi bahwa Beijing berusaha untuk memotong pengaruhnya di kawasan itu.

Sachs mengakui, kebangkitan China menjadi perhatian bagi negara-negara tetangganya di Asia. "Apakah saya percaya bahwa China bisa berbuat lebih banyak untuk meringankan ketakutan yang sangat nyata? Ya," ungkapnya.

"Pilihan besar ada di tangan China. Jika China kooperatif, jika terlibat dalam diplomasi, kerja sama regional dan multilateralisme, dengan kata lain - kekuatan lunak - karena itu adalah negara yang sangat kuat .... maka saya berpikir bahwa Asia memiliki masa depan yang cerah," terang Sachs.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2064 seconds (0.1#10.140)