AS Kerek Suku Bunga Acuan, Sri Mulyani Was-was Terjadi Krisis Keuangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mewaspadai, kenaikan Fed Rate atau suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) sebagai upaya mengendalikan inflasi di AS yang sudah mencapai 8%, inflasi Inggris melewati 9%, dan inflasi Eropa di atas 7%. Kondisi itu membuat negara itu menaikkan suku bunganya, yang pada akhirnya berdampak kepada negara berkembang.
"Inilah yang terjadi di AS dimana sekarang di seluruh dunia menggunakan dolar AS lebih dari 60% sehingga dolarisasi itu mempengaruhi. Setiap kebijakan Fed Funds Rate pasti akan mempengaruhi seluruh dunia," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPD RI di Jakarta, Selasa (7/6/2022).
Secara historis, AS dalam 40 tahun terakhir, ketika inflasi melonjak tinggi, maka akan direspon dengan kenaikan suku bunga. Berdasarkan chart data dari tahun 1970 hingga 2022, pada saat inflasi tinggi yang kemudian menyebabkan suku bunga naik adalah ketika terjadi perang di Iran-Irak, embargo minyak, dan waktu terjadinya berbagai situasi kenaikan pressure dari sisi harga minyak.
"Fed Funds Rate melakukan overshooting untuk memukul inflasi kembali turun. Namun, yang turun ke bawah tidak hanya inflasi, tetapi juga pertumbuhan ekonomi AS. Pada saat inflasi tinggi, dan bahkan ketika Fed Funds Ratenya mencapai 20%, bayangkan dari 0 bisa sampai setinggi itu," jelas Sri Mulyani.
Kepada Komite IV DPD RI, Sri Mulyani menyampaikan bahwa dalam lingkungan kebijakan mereka, terbiasa dengan harga dolar AS dengan suku bunga selalu rendah selama tahun 2010 hingga sekarang. Dia menyebutkan, di AS, suku bunganya pernah mencapai 5% hingga 20% pada saat inflasi pernah mencapai 14%.
"Kalau AS melakukan adjustment, maka akan terjadi resesi. Dari chart data, AS pernah mengalami negative growth beberapa kali, itulah yang disebut antara kombinasi antara inflasi dan resesi yang kemudian disebut sebagai stagflasi. Tahun ini, kita lihat suku bunganya masih di 0,25 dan kemarin Fed Funds Rate sudah naik 50%, dia akan menuju ke 3,5%," jelasnya.
Sambung dia mengatakan, ini artinya dolar AS menjadi sangat mahal. Dalam hal ini akan memberikan konsekuensi kepada seluruh dunia karena interest rate global akan mengalami kenaikan.
"Ini hanya di AS, tapi kalau saya kombinasikan dengan Eropa yang inflasinya juga 7%, maka tren ke atas itu tidak akan terhindarkan. Beberapa negara yang sudah mengalami inflasi dan sangat tinggi seperti AS, Eropa, Inggris, Korea Selatan, semuanya sudah mulai menaikkan suku bunga. Untuk emerging countries, naiknya lebih cepat karena mereka cannot afford behind the curve, kalau mereka lambat dibandingkan kenaikan suku bunga AS, maka capital outflow terjadi," papar Sri Mulyani.
Dia mengatakan, ini adalah risiko yang sangat berbeda dengan kondisi pandemi. Ketika pandemi, mantan Direktur Bank Dunia itu menyebutkan bahwa seluruh negara mengalami, seluruh kegiatan ekonomi berhenti, namun sebetulnya masing-masing masih memiliki daya tahan kecuali jika yang terkena itu rakyat bawah dan UMKM.
"Kalau sekarang begitu suku bunga mulai naik, maka yang terkena adalah korporasi dan sektor keuangan. Ini adalah tipikal potensi financial crisis. Karena berdasarkan historisnya, setiap suku bunga AS naik, pasti terjadi krisis di berbagai belahan dunia," tegas Sri.
"Inilah yang terjadi di AS dimana sekarang di seluruh dunia menggunakan dolar AS lebih dari 60% sehingga dolarisasi itu mempengaruhi. Setiap kebijakan Fed Funds Rate pasti akan mempengaruhi seluruh dunia," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPD RI di Jakarta, Selasa (7/6/2022).
Secara historis, AS dalam 40 tahun terakhir, ketika inflasi melonjak tinggi, maka akan direspon dengan kenaikan suku bunga. Berdasarkan chart data dari tahun 1970 hingga 2022, pada saat inflasi tinggi yang kemudian menyebabkan suku bunga naik adalah ketika terjadi perang di Iran-Irak, embargo minyak, dan waktu terjadinya berbagai situasi kenaikan pressure dari sisi harga minyak.
"Fed Funds Rate melakukan overshooting untuk memukul inflasi kembali turun. Namun, yang turun ke bawah tidak hanya inflasi, tetapi juga pertumbuhan ekonomi AS. Pada saat inflasi tinggi, dan bahkan ketika Fed Funds Ratenya mencapai 20%, bayangkan dari 0 bisa sampai setinggi itu," jelas Sri Mulyani.
Kepada Komite IV DPD RI, Sri Mulyani menyampaikan bahwa dalam lingkungan kebijakan mereka, terbiasa dengan harga dolar AS dengan suku bunga selalu rendah selama tahun 2010 hingga sekarang. Dia menyebutkan, di AS, suku bunganya pernah mencapai 5% hingga 20% pada saat inflasi pernah mencapai 14%.
"Kalau AS melakukan adjustment, maka akan terjadi resesi. Dari chart data, AS pernah mengalami negative growth beberapa kali, itulah yang disebut antara kombinasi antara inflasi dan resesi yang kemudian disebut sebagai stagflasi. Tahun ini, kita lihat suku bunganya masih di 0,25 dan kemarin Fed Funds Rate sudah naik 50%, dia akan menuju ke 3,5%," jelasnya.
Sambung dia mengatakan, ini artinya dolar AS menjadi sangat mahal. Dalam hal ini akan memberikan konsekuensi kepada seluruh dunia karena interest rate global akan mengalami kenaikan.
"Ini hanya di AS, tapi kalau saya kombinasikan dengan Eropa yang inflasinya juga 7%, maka tren ke atas itu tidak akan terhindarkan. Beberapa negara yang sudah mengalami inflasi dan sangat tinggi seperti AS, Eropa, Inggris, Korea Selatan, semuanya sudah mulai menaikkan suku bunga. Untuk emerging countries, naiknya lebih cepat karena mereka cannot afford behind the curve, kalau mereka lambat dibandingkan kenaikan suku bunga AS, maka capital outflow terjadi," papar Sri Mulyani.
Dia mengatakan, ini adalah risiko yang sangat berbeda dengan kondisi pandemi. Ketika pandemi, mantan Direktur Bank Dunia itu menyebutkan bahwa seluruh negara mengalami, seluruh kegiatan ekonomi berhenti, namun sebetulnya masing-masing masih memiliki daya tahan kecuali jika yang terkena itu rakyat bawah dan UMKM.
"Kalau sekarang begitu suku bunga mulai naik, maka yang terkena adalah korporasi dan sektor keuangan. Ini adalah tipikal potensi financial crisis. Karena berdasarkan historisnya, setiap suku bunga AS naik, pasti terjadi krisis di berbagai belahan dunia," tegas Sri.
(akr)