Redistribusi Pupuk Jadi Penyeimbang dalam Mengantisipasi Krisis Pangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Redistribusi pupuk bersubsidi menjadi program penyeimbang yang ditempuh pemerintah dalam mengantisipasi krisis pangan yang kini mengancam dunia. Pasalnya, kebijakan penyaluran pupuk urea dan NPK itu dilakukan dengan sangat selektif dan menyasar komoditas pangan strategis yang mampu menimbulkan sensitivitas tinggi terhadap indeks harga konsumen.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda mengatakan, redistribusi pupuk bersubsidi menjadi opsi yang ideal untuk dieksekusi di tengah dinamika geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang menimbulkan krisis.
"Ini kebijakan yang bagus dari Presiden Joko Widodo apabila mau membenahi distribusi pupuk itu," kata dia.
Menurutnya, redistribusi juga menjadi program penyeimbang bagi Indonesia untuk terlibat aktif dalam mengantisipasi krisis pangan menyusul terhambatnya produksi pupuk global.
Terlebih, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Jerman meminta kepada komunitas global untuk memberikan pengecualian sanksi atas produk pangan dan pupuk asal Rusia.
"Nah ini yang bisa kita antisipasi agar produktivitas para petani ini bisa lebih baik, di tengah adanya ancaman krisis pangan, yang sekarang ini apa-apa mahal," ujarnya.
Sekadar informasi, terdapat 70 komoditas pangan yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Akan tetapi, mengingat besarnya ancaman krisis pangan dan keterbatasan fiskal, Panitia Kerja (Panja) Pupuk Bersubsidi merekomendasikan dilakukannya redistribusi.
Sejalan dengan itu pupuk bersubsidi wajib diprioritaskan untuk hasil pertanian yang masuk kategori kebutuhan pangan pokok dan komoditas berdampak terhadap inflasi atau komoditas strategis pertanian.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah menambahkan, untuk mengatasi tantangan krisis pangan diperlukan kebijakan yang bisa memastikan ketersediaan supply pangan, termasuk mendorong produksi pangan dalam negeri.
Sementara itu, upaya mendorong produksi pangan dalam negeri harus didukung dengan ketersediaan pupuk yang mencukupi. Oleh sebab itu, Piter menilai kebijakan redistribusi adalah langkah yang tepat dilakukan pemerintah.
"Jadi pemerintah memang harus memadukan upaya meningkatkan produksi pangan termasuk dengan memastikan ketersediaan dan distribusi pupuk," ujarnya.
Sementara itu Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan, bahwa berdasarkan data World Food Program, sebanyak 323 juta orang pada tahun 2022 menghadapi kerawanan pangan akut. Sejalan dengan itu, pemerintah berfokus pada upaya meningkatkan produksi pangan, serta mendorong normalisasi rantai pasok pangan dan pupuk global.
Indonesia juga menyampaikan pentingnya dukungan negara G20 untuk mereintegrasi ekspor gandum dari Ukraina serta ekspor komoditi pangan dan pupuk Rusia ke dalam rantai pasok global.
"Hal ini dilakukan melalui perlunya dukungan dari G7 dengan memfasilitasi ekspor gandum Ukraina agar dapat segera berjalan, dan mengkomunikasikan kepada dunia pentingnya komoditas pangan dan pupuk dari Rusia tidak terkena sanksi," jelas Menlu.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda mengatakan, redistribusi pupuk bersubsidi menjadi opsi yang ideal untuk dieksekusi di tengah dinamika geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang menimbulkan krisis.
"Ini kebijakan yang bagus dari Presiden Joko Widodo apabila mau membenahi distribusi pupuk itu," kata dia.
Menurutnya, redistribusi juga menjadi program penyeimbang bagi Indonesia untuk terlibat aktif dalam mengantisipasi krisis pangan menyusul terhambatnya produksi pupuk global.
Terlebih, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Jerman meminta kepada komunitas global untuk memberikan pengecualian sanksi atas produk pangan dan pupuk asal Rusia.
"Nah ini yang bisa kita antisipasi agar produktivitas para petani ini bisa lebih baik, di tengah adanya ancaman krisis pangan, yang sekarang ini apa-apa mahal," ujarnya.
Baca Juga
Sekadar informasi, terdapat 70 komoditas pangan yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Akan tetapi, mengingat besarnya ancaman krisis pangan dan keterbatasan fiskal, Panitia Kerja (Panja) Pupuk Bersubsidi merekomendasikan dilakukannya redistribusi.
Sejalan dengan itu pupuk bersubsidi wajib diprioritaskan untuk hasil pertanian yang masuk kategori kebutuhan pangan pokok dan komoditas berdampak terhadap inflasi atau komoditas strategis pertanian.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah menambahkan, untuk mengatasi tantangan krisis pangan diperlukan kebijakan yang bisa memastikan ketersediaan supply pangan, termasuk mendorong produksi pangan dalam negeri.
Sementara itu, upaya mendorong produksi pangan dalam negeri harus didukung dengan ketersediaan pupuk yang mencukupi. Oleh sebab itu, Piter menilai kebijakan redistribusi adalah langkah yang tepat dilakukan pemerintah.
"Jadi pemerintah memang harus memadukan upaya meningkatkan produksi pangan termasuk dengan memastikan ketersediaan dan distribusi pupuk," ujarnya.
Sementara itu Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan, bahwa berdasarkan data World Food Program, sebanyak 323 juta orang pada tahun 2022 menghadapi kerawanan pangan akut. Sejalan dengan itu, pemerintah berfokus pada upaya meningkatkan produksi pangan, serta mendorong normalisasi rantai pasok pangan dan pupuk global.
Indonesia juga menyampaikan pentingnya dukungan negara G20 untuk mereintegrasi ekspor gandum dari Ukraina serta ekspor komoditi pangan dan pupuk Rusia ke dalam rantai pasok global.
"Hal ini dilakukan melalui perlunya dukungan dari G7 dengan memfasilitasi ekspor gandum Ukraina agar dapat segera berjalan, dan mengkomunikasikan kepada dunia pentingnya komoditas pangan dan pupuk dari Rusia tidak terkena sanksi," jelas Menlu.
(akr)