Antisipasi Krisis Global, Pengusaha Ingin Tetap Dapat Stimulus

Selasa, 19 Juli 2022 - 10:11 WIB
loading...
Antisipasi Krisis Global,...
Krisis global telah mendorong kenaikan harga pangan dan energi. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Kondisi krisis ekonomi di sejumlah negara di luar negeri sedikit banyak diyakini bakal berdampak ke Indonesia. Hal itu tentu harus direspons dengan baik disertai kebijakan yang komprehensif dari pemerintah.

Kalangan dunia usaha pun tidak menyangkal apabila gejolak ekonomi di tataran global membuat Indonesia ekstrawaspada. Untuk itu perlu antisipasi secepatnya agar iklim usaha tetap bisa terjaga dan tumbuh positif.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang mengungkapkan, para pengusaha berharap kebijakan-kebijakan pemerintah seperti relaksasi, stimulus, ataupun keringanan-keringanan pajak yang sebelumnya diberikan tetap diperpanjang.



Pasalnya, menurut dia, saat ini masa pandemi Covid-19 belum berakhir dan kondisi ekonomi dunia usaha masih sangat tertekan akibat dari perang Rusia-Ukraina. Selain itu Sarman juga berharap agar program bantuan sosial ke masyarakat yang diberikan pemerintah tetap berjalan untuk menjaga daya beli masyarakat.

“Untuk dunia usaha, bagi para pengusaha yang melakukan ekspor ke luar negeri harus mengambil langkah antisipatif karena gejolak ekonomi di negara-negara tujuan ekspor akan mengurangi barang-barang yang diimpor dari Indonesia,” kata dia.

Dia menyarankan, para pelaku usaha harus cerdik untuk melihat dan menjangkau pangsa pasar yang baru. Adapun bagi industri yang masih bergantung dengan bahan atau material impor, mau tidak mau harus bisa mengantisipasi gejolak krisis dengan mendapatkan sumber-sumber baru.

"Kita tahu misalnya seperti terigu, gandum misalnya, selama ini kita sangat bergantung dengan Rusia, Ukraina, juga Turki. Tapi saat ini kan sedang bergejolaknya. Artinya bisa saja ke depan impor kita dari sana semakin menurun. Jadi, perlu mencari alternatif-alternatif baru dari negara-negara mana untuk kita bisa kita melakukan impor gandum," ucap Sarman.

Dia berpandangan, untuk menyikapi hal tersebut, tentu peran pemerintah dan dunia usaha sangat strategis, terlebih lagi pemerintah. Menurut Sarman, pemerintah harus melakukan beberapa hal.Pertama, harus mencermati perkembangan ekonomi global setiap saat dan mengambil langkah-langkah taktis dan strategis berupa kebijakan yang probisnis dan dunia usaha.

Kedua, pemerintah bersama pelaku usaha haruslah mampu memanfaatkan potensi yang dimiliki Indonesia serta harus mampu menjaga daya beli masyarakat. Di samping itu, yang tak kalah penting adalah penyerapan anggaran pemerintah yang benar-benar tepat sasaran serta memaksimalkan pemanfaatan produk lokal.

Ketiga, kata Sarman, pemerintah harus bisa memastikan dan menjaga harga pokok pangan di Indonesia stabil dan terjangkau serta stok pangan pada posisi yang mumpuni.

"Menteri-menteri terkait itu harus betul-betul memantau pergerakan antara ketersediaan dan kebutuhan. Jangan lengah di masa seperti saat ini karena ini akan sangat memengaruhi daya beli masyarakat kita. Hal itu juga akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi kita. Karena kita tahu bahwa pertumbuhan ekonomi kita 60% ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Ini yang harus selalu dijaga," bebernya.

Sementara itu peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto mengatakan, tantangan ekonomi pada tahun ini belum berkurang bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini akibat tingkat ketidakpastian yang terjadi di sejumlah negara.

Adanya risiko ekonomi pada tahun ini, merujuk pada survei Bloomberg, Indonesia termasuk negara yang berpotensi mengalami resesi ekonomi walaupun dengan probabilitas yang relatif kecil, yakni 3%.

“Walaupun kecil, hasil survei Bloomberg ini bisa menjadi bahan masukan supaya tetap waspada di tengah meningkatnya optimisme pemulihan ekonomi. Namun saya yakin kita bisa terlepas dari jeratan potensi resesi jika pemerintah mampu menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional. Salah satu hal yang harus dijaga adalah potensi terjadinya inflasi di tengah kinerja ekonomi yang stagnan,” katanya.

Menurutnya, hal utama yang harus dilakukan adalah menjaga tingkat inflasi dan tetap mendorong roda perekonomian berjalan dengan optimal. Untuk itu harus ada kebijakan fiskal dan moneter yang sejalan sehingga pemerintah bisa menjaga stabilitas harga dan di sisi lain memberikan insentif kepada para pelaku industri agar perekonomian tetap berjalan.

“Terkait potensi terjadinya inflasi, pemerintah harus menjaga jangan sampai harga komoditas energi dan pangan naik terlalu tinggi. Untuk itu mau tidak mau pemerintah harus menambah subsidi, yang artinya menambah beban APBN dan mempersempit ruang fiskal. Langkah ini memang dilematis, namun untuk jangka pendek ini saya kira mau jadi hal yang rasional untuk dilakukan,” saran dia.

Dosen Universitas Mercu Buana (UMB) itu menambahkan, pemerintah juga bisa memberikan bantuan untuk UMKM dan usaha menengah besar baik bantuan langsung maupun melaluitax holidayataupun subsidi suku bunga.

Di sisi lain Bank Indonesia (BI) sebagai penjaga otoritas kebijakan moneter harus mampu menjaga stabilitas nilai tukar dan tingkat inflasi. Menurutnya, stabilitas nilai tukar dan inflasi bisa dijaga karena BI memiliki beberapa instrumen, di antaranya dengan menetapkan suku bunga acuan yang dapat menggerakkan perekonomian dan menjaga agar tidak terjadicapital outflow.

“Oleh karena itu, di tengah kenaikan inflasi dan naiknya suku bunga acuan beberapa negara termasuk The Fed, sudah saatnya BI menaikkan tingkat suku bunga acuannya,” ujarnya.

Jika pilihan itu yang diambil, menurut dia, sangat mungkin akan sedikit mengerem aktivitas perekonomian di sektor riil.

Sementara itu BI hingga kini masih memilih untuk menahan suku bunga acuan di level 3,5%. Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan terkendalinya inflasi, juga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah naiknya tekanan eksternal terkait meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara.

Adapun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan terus mencermati dinamika ekonomi global dan perkembangan geopolitik yang penuh ketidakpastian.

"Sampai dengan data Mei 2022 kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan terus meningkat untuk terus berkontribusi terhadap berlanjutnya pemulihan ekonomi nasional," ungkap Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot kepadaKORAN SINDO.

Dia pun menegaskan bahwa fungsi intermediasi perbankan pada Mei 2022 tercatat meningkat dengan kredit tumbuh 9,03% secarayear on year(yoy) didorong dengan peningkatan pada kredit usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan ritel. Mayoritas sektor utama kredit mencatatkan kenaikan terbesar pada sektor manufaktur sebesar 12,4% mtm dan sektor perdagangan 12,1% mtm.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1214 seconds (0.1#10.140)