Terbitkan POJK Baru, OJK Dorong Fintech Lending Tingkatkan Kualitas dan Perlindungan Konsumen
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejak diatur dan mulai diawasi oleh asosiasi jasa keuangan yakni pada 2016, perkembangan industri layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yang dikenal sebagai Fintech P2P Lending mencatat pertumbuhan yang sangat tinggi.
Oleh karena itu, seiring perkembangannya yang sangat cepat, serta mengakomodir industri yang semakin cepat dan tuntutan industri ke depan, Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan baru. Peraturan terbaru yang dapat mengakomodasi kebutuhan ke depan tersebut yaitu POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Dengan diterbitkannya POJK terbaru, diharapkan menjadi penyempurna POJK lama. Selain itu diharapkan industri jasa keuangan ke depannya akan semakin baik dari sisi kualitas dan sisi perlindungan konsumen.
Salah satu yang dinilai sangat penting adalah terkait modal fintech lending. Dalam peraturan baru disebutkan yakni penyelenggara harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp25 miliar.
Sebelumnya, syarat minimal modal fintech lending saat minta perizinan ke OJK hanya senilai Rp2,5 miliar. Selain itu, perusahaan fintech lending juga harus menjaga ekuitas sebanyak Rp12,5 miliar yang pemenuhannya sesuai ketentuan dilakukan secara bertahap.
"Rp25 miliar ditetapkan melalui hasil riset, juga sudah dibicarakan secara intens dengan asosiasi. Kalau kurang dari Rp25 miliar perusahaan tidak bisa sustain, karena membeli IT yang cukup aman dan tepat. Saya kira nilai Rp2,5 miliar tidak cukup lagi sementara modal tidak boleh berasal dari pinjaman," ujar Moch Ihsanuddin, Deputi Komisioner Pengawas IKNB 2 OJK.
Tak hanya itu saja, perusahaan fintech P2P Lending juga harus menerapkan kualitas pendanaan mirip seperti perbankan yang terdiri 5 kategori tingkat kualitas pendanaan. Kelima kategori tersebut pertama lancar jika tidak terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan atau manfaat ekonomi pendanaan, kedua dalam perhatian khusus yakni terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan atau manfaat ekonomi pendanaan yang telah melampaui jatuh tempo sampai dengan 30 hari.
Selanjutnya ketiga kurang lancar dimana terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan atau manfaat ekonomi pendanaan yang telah melampaui 30 hari sampai dengan 60 hari, keempat diragukan terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan atau manfaat ekonomi pendanaan yang telah melampaui 60 hari sampai dengan 90 hari. Kelima macet dimana terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan atau manfaat ekonomi pendanaan yang telah melampaui 90 hari.
Hingga saat ini sebanyak 102 perusahaan fintech P2P Lending yang tercatat resmi di OJK dengan total 95 perusahaan fintech P2P Lending Konvensional dan 7 fintech P2P Lending Syariah. Total akumulasi pembiayaan syariah sendiri hingga Juni 2022 sebesar Rp5,16 Triliun atau hanya 1,29 persen dari seluruh akumulasi penyaluran P2P Lending.
"Kalau kita hitung pangsa pasar seluruh fintech artinya dari fintech P2P syariah ini pangsanya masih kecil sekali. Tapi saya kira juga tidak terlalu buruk, karena di sektor perbankan yang sudah advance, itu juga pangsa pasarnya ketika diharapkan mencapai 5 persen pun tidak mudah," kata Ihsan.
Lebih lanjut, Ihsan mengatakan perlu diketahui jika kehadiran dari P2P Lending Syariah memberikan manfaat besar bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Selain itu, aturan yang terkait dengan P2P syariah-pun tidak asal dibuat. Meskipun ini merupakan industri yang relatif baru. Dimana, fintech P2P Lending Syariah ini sudah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 117/DSN-MUI/II/2018.
"Sejak 2016 artinya tidak sampai dua tahun sudah punya fatwa sendiri tentang layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi yang berdasarkan prinsip syariah,” tuturnya
Tentunya dengan adanya fatwa ini diharapkan lebih memperkuat lagi khususnya di dewan pengawasan syariah yang diatur secara terperinci dimana OJK juga berwenang melakukan fit and proper terhadap dewan pengawas syariah tersebut.
Lihat Juga: Perkuat Pengawasan Sektor Jasa Keuangan, OJK Terbitkan Peraturan tentang Perintah Tertulis
Oleh karena itu, seiring perkembangannya yang sangat cepat, serta mengakomodir industri yang semakin cepat dan tuntutan industri ke depan, Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan baru. Peraturan terbaru yang dapat mengakomodasi kebutuhan ke depan tersebut yaitu POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Dengan diterbitkannya POJK terbaru, diharapkan menjadi penyempurna POJK lama. Selain itu diharapkan industri jasa keuangan ke depannya akan semakin baik dari sisi kualitas dan sisi perlindungan konsumen.
Salah satu yang dinilai sangat penting adalah terkait modal fintech lending. Dalam peraturan baru disebutkan yakni penyelenggara harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp25 miliar.
Sebelumnya, syarat minimal modal fintech lending saat minta perizinan ke OJK hanya senilai Rp2,5 miliar. Selain itu, perusahaan fintech lending juga harus menjaga ekuitas sebanyak Rp12,5 miliar yang pemenuhannya sesuai ketentuan dilakukan secara bertahap.
"Rp25 miliar ditetapkan melalui hasil riset, juga sudah dibicarakan secara intens dengan asosiasi. Kalau kurang dari Rp25 miliar perusahaan tidak bisa sustain, karena membeli IT yang cukup aman dan tepat. Saya kira nilai Rp2,5 miliar tidak cukup lagi sementara modal tidak boleh berasal dari pinjaman," ujar Moch Ihsanuddin, Deputi Komisioner Pengawas IKNB 2 OJK.
Tak hanya itu saja, perusahaan fintech P2P Lending juga harus menerapkan kualitas pendanaan mirip seperti perbankan yang terdiri 5 kategori tingkat kualitas pendanaan. Kelima kategori tersebut pertama lancar jika tidak terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan atau manfaat ekonomi pendanaan, kedua dalam perhatian khusus yakni terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan atau manfaat ekonomi pendanaan yang telah melampaui jatuh tempo sampai dengan 30 hari.
Selanjutnya ketiga kurang lancar dimana terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan atau manfaat ekonomi pendanaan yang telah melampaui 30 hari sampai dengan 60 hari, keempat diragukan terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan atau manfaat ekonomi pendanaan yang telah melampaui 60 hari sampai dengan 90 hari. Kelima macet dimana terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan atau manfaat ekonomi pendanaan yang telah melampaui 90 hari.
Hingga saat ini sebanyak 102 perusahaan fintech P2P Lending yang tercatat resmi di OJK dengan total 95 perusahaan fintech P2P Lending Konvensional dan 7 fintech P2P Lending Syariah. Total akumulasi pembiayaan syariah sendiri hingga Juni 2022 sebesar Rp5,16 Triliun atau hanya 1,29 persen dari seluruh akumulasi penyaluran P2P Lending.
"Kalau kita hitung pangsa pasar seluruh fintech artinya dari fintech P2P syariah ini pangsanya masih kecil sekali. Tapi saya kira juga tidak terlalu buruk, karena di sektor perbankan yang sudah advance, itu juga pangsa pasarnya ketika diharapkan mencapai 5 persen pun tidak mudah," kata Ihsan.
Lebih lanjut, Ihsan mengatakan perlu diketahui jika kehadiran dari P2P Lending Syariah memberikan manfaat besar bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Selain itu, aturan yang terkait dengan P2P syariah-pun tidak asal dibuat. Meskipun ini merupakan industri yang relatif baru. Dimana, fintech P2P Lending Syariah ini sudah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 117/DSN-MUI/II/2018.
"Sejak 2016 artinya tidak sampai dua tahun sudah punya fatwa sendiri tentang layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi yang berdasarkan prinsip syariah,” tuturnya
Tentunya dengan adanya fatwa ini diharapkan lebih memperkuat lagi khususnya di dewan pengawasan syariah yang diatur secara terperinci dimana OJK juga berwenang melakukan fit and proper terhadap dewan pengawas syariah tersebut.
Lihat Juga: Perkuat Pengawasan Sektor Jasa Keuangan, OJK Terbitkan Peraturan tentang Perintah Tertulis
(srf)